Rabu, 17 Juni 2009

Satu Milyar Duapuluh Satu




Adalah waktu itu tengah malam di bukit Sukawana. Berempat kami membangun sebuah tenda, menghangatkan tubuh di sekeliling api unggun sambil memanggang sosis yang ditusuk ranting cemara. Di belakang kami, bayang gelap Gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu. Di hadapan, terhampar kerlip lampu kota Bandung penuh warna dan warni. Ada biru laut. Ada kuning langsat. Ada pink tua. Juga ada hijau botol. Botolnya botol saos.

Sementara langit, tidak ada yang dapat diceritakan tentangnya. Seperti bintik jerawat di wajah kamu, langit malam ditaburi semilyar duapuluh dua bintang. Baru usai saya hitung semua, satu persatu. Lalu kembali mengulangnya dari awal. Kali ini masing-masing saya beri nama.

Dan bulan, di manakah kamu berada?

Begitu saya bertanya dalam hati. Lupa, jika saat itu akhir bulan. Pantas saja dompet terasa tipis sekali di pantat.

Acara yang sungguh membosankan mengingat tidak ada satu pun yang membawa gitar. Apalagi harmonika. Tapi, sekalipun seseorang membawa harmonika, tidak ada satupun diantara kami yang bisa memainkannya. Jangankan meniup harmonika, bersiul saja kami sumbang.

Setelah usai memberi nama pada bintang-bintang di langit (tentu, saya beri nama kamu pada yang paling terang), seseorang akhirnya membuka suara.

Yaitu, saya sendiri.

“Menurut kalian, apa yang paling menarik di dunia ini?”

.

.

Tak ada yang menjawab. Diam semua. Ada yang terlihat begitu mengantuk, membiarkan sosis panggangannya hangus hitam. Ada yang melamun, memandang ke arah semilyar duapuluh satu bintang (iya, sudah saya simpan satu untuk kamu sebagai oleh-oleh pulang). Mungkin sedang memikirkan pacarnya. Mungkin selingkuhannya. Dan ada yang duduk berjongkok memunggungi kami, menghadapkan tubuhnya ke arah gunung. Sama-sama melamun. Atau sedang pundung?

Sepertinya pertanyaan saya tentang hal yang paling menarik di dunia ini sama sekali tidak menarik bagi mereka. Tak tega diri ini mengganggu keasyikan masing-masing. Tapi, setelah dipikir ulang, lebih baik tega daripada bengong.

“Kamu,” kata saya pada teman nomor satu sambil menunjuk ke arah wajahnya menggunakan sosis hangus, “lakukan sesuatu untuk menghibur kita semua.”

Maka jadilah area api unggun ini sebagai panggung hiburan.

“Untuk menghibur hati yang murung, ijinkanlah saya menyumbangkan sebuah lagu.”

Teman nomor satu ini memang punya suara yang mumpuni. Merdu sangat. Juga khas. Nafasnya pun amat kuat. Jika beliau menyanyi, burung-burung pun akan diam khidmad medengarkan. Daun-daun berguguran, tak kuasa menahan berat suaranya. Lalu air mata kita akan mengalir tanpa terasa. Dan ingatan pun terbang menuju berbagai peristiwa. Kekasih yang pergi, keluarga yang ditinggalkan, serta gaduh seisi rumah saat merayakan lebaran.

Sudah beberapa kali dia menjuarai Festival Bintang Radio dan Televisi. Tawaran untuk masuk ke dapur rekaman bukannya tidak pernah datang, tapi justru sebaliknya. Ia tolak satu persatu setiap kontrak yang disodorkan.

“Saya cuma ingin berduet…
…Dan saya menunggu pasangan yang benar-benar tepat.”

Dan suasana di bukit Sukawana menjadi syahdu sewaktu beliau membawakan Perfect Day. Mata kami mulai basah di Merepih Alam. Lalu, kerinduan pada ayah menjadi menggebu sewaktu beliau mendendangkan lagu Daddy. Terpaksa saya menghentikannya sebelum kami semua ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan memeluk ayah kami.

“Berikutnya,” kata saya pada teman nomor dua yang kedapatan sedang menyeka air mata.

Tahu benar bahwa saya tidak suka menunggu, teman saya mengeluarkan sesuatu dari tasnya: sebuah saklar. Dia berdiri, sebentar membersihkan tanah di pantat, lalu menghadap ke arah hamparan kota. Bibirnya tersenyum, kini. Tersenyum simpul. Tapi dia sungguh keliru jika mengira manis senyumannya. Namun demikian, itu sungguh senyum yang sangat misterius dan membuat penasaran.

“Lihat,” dia bilang.

Tombol saklar pun ditekan. Terdengar suara klik, dan satu-persatu lampu kota Bandung dan sekitarnya padam. Jutaan lampu padam. Padam tak bersisa. Dibuatnya Bandung gelap gulita. Juga Cimahi, Soreang dan Kabupaten Bandung Barat. Juga Banjaran. Juga Ujungberung. Juga Jatinangor.

Juga rumah kamu.

“Belum selesai,” katanya lagi, seakan masih ada kejutan lain.

Suara klik kembali terdengar. Tapi tidak ada sesuatu yang terjadi. Kami tidak melihat ada perubahan sesuatu apa.

“Lihat ke arah timur.”

Serta merta kami bertiga menggerakkan kepala. Tapi dasar mereka yang tidak terbiasa dengan mata angin, maka pandangan mereka berbeda-beda arahnya. Ada yang ke atas ke bawah. Dan ada yang ke semak-semak. Hanya saya, dan cuma saya yang mengarahkan pandangan dengan benar. Cuma saya yang tahu bagaimana menentukan arah timur di malam hari dengan benar. Karena sangat mudah. Amat mudah.

Untuk menentukan di mana itu timur, kamu cukup dengan mengetahui arah barat terlebih dahulu. Lalu, putar tubuhmu dengan sudut 180 derajat celcius.

Dan di sana, di arah timur sana, samar-samar saya melihat sebuah lampu menyala, menerangi sebuah rumah. Hanya satu, lain tidak.

Saya tahu pemilik rumah itu.

Rumah pacarnya.

.

Sungguh menarik. Menarik sekali. Lain waktu akan saya pinjam saklar tersebut. Akan saya padamkan lampu rumah kamu. Ya, hanya rumah kamu. Lalu saya datang ke sana dengan membawa sebatang lilin dan senter. Lalu kita berdua akan candle light dinner.

Setelah meminta si anak Direktur PLN mengembalikan lampu-lampu kota ke sedia kala, saya menunjuk teman nomor tiga.

“Giliran kamu. Berceritalah.”

Nah, teman satu ini rajanya mendongeng. Beliau punya koleksi dongeng klasik yang nyaris tak terbatas. Dari manca negara. Berbagai daerah. Maka, dimulailah cerita nasib buruk tukang celup yang terkenal itu.

Alkisah, seorang pencuri sedang beraksi. Mengendap-endap ia pada atap sebuah rumah yang diincarnya. Dasar nasib buruk, atap rumah tersebut tiba-tiba roboh, tidak kuat menahan beban tubuhnya. Ia pun jatuh dan mati.

Anggota keluarga si pencuri tidak menerima kejadian tersebut, lalu menuntut si pemilik rumah ke pengadilan. Alasannya: Gara-gara atap rumah yang tidak kuat, saudara/ ayah/ putera/ menantu kami meninggal dunia. Sang hakim yang adil mengabulkan tuntutannya, menjatuhkan hukuman gantung sampai mati pada si pemilik rumah.
Tapi si pemilik rumah membela diri.

“Bukan salah saya, Pak Hakim.Ini salah tukang kayu yang membuat atap. Dia yang membuat atap rumah saya tidak kuat.”

Maka sang hakim pun memanggil tukang kayu dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tapi si tukang kayu membela diri.

“Ini salah si janda tetangga saya yang berbaju hijau, Pak Hakim. Gara-gara baju hijaunya yang menyala, perhatian saya terbagi sewaktu membuat atap rumah.”

Maka sang hakim memanggil si janda dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Si janda pun membela diri.

“Ini salah tukang celup, Pak Hakim. Saya meminta baju saya dicelup warna coklat, jadinya malah hijau muda.”

Maka tukang celup pun dipanggil. Tidak bisa membela diri, sang hakim menjatuhkan hukuman mati pada si tukang celup dengan cara digantung. Seorang algojo ditugaskan untuk melaksanakan eksekusi. Tapi dasar algojo, tiang gantungannya terlalu pendek bagi si tukang celup yang bertubuh tinggi itu. Akibatnya, meski tali gantungan sudah melingkar di leher, tapi tukang celup tidak mati-mati juga. Lalu sang algojo melaporkan masalah tersebut pada sang hakim.

Kata hakim, “Bodoh kamu. Cari saja tukang celup pendek.”

Maka, seorang tukang celup bertubuh pendek pun ditangkap dan dihukum gantung sampai mati.








Sebuah dongeng pengantar tidur yang sangat ciamik. Kami berempat mimpi indah malam itu. Senyum tipis menyungging di masing-masing wajah kami.











Sukawana, 10 Maret 2001







4 komentar:

Anonymous mengatakan...

horor andy

Anonymous mengatakan...

siapa itu "kamu" yg diberikan namanya utk bintang yg paling terang,, yg diambilkan satu bintang sebagai oleh-oleh pulang,, yg akan dipadamkan lampu rumahnya dan kamu kan datang dengan sebatang lilin itu..

Berharap "kamu" adalah aku

Anonymous mengatakan...

siapa itu "saya" yang berani-beraninya curi satu bintang di langitan...

.icut.chacot.icha.ica.nisa. mengatakan...

wow...
segitunya...hadoohhh..meleleh