Minggu, 28 Desember 2008

Resolusi Tahun Baru




Selama delapan tahun terakhir, malam pergantian tahun saya lewati dengan tidur nyenyak dibarengi mimpi indah. Tidak ada itu pesta kembang api, hura-hura, euforia dan romantisme harapan tahun yang baru saja datang. Dalam hal ini, hati saya dingin dan datar saja. Nyaris memandang itu semua secara sinis, malah. Karena itu, tidak pernah saya repot-repot menyusun resolusi.

Tahun baru adalah hari libur sedunia. Tanggal merah. Merah hati. Hati-hati di jalan, sayang.

Resolusi adalah tingkat ketajaman sebuah gambar atau image. 800 x 480 adalah resolusi monitor laptop Asus EEPC milik saya yang kecil dan imut. Juga lucu. Tapi kalau marah, galaknya tiada dua.



Hanya saja, ada beberapa hal yang ingin saya lakukan di tahun mendatang. Hal-hal yang sulit saya lakukan di tahun sebelumnya. Ada sesuatu yang ingin saya kejar dan saya raih. Sungguh, ini bukan karena tahun baru, namun karena kesempatan yang baru ada di tahun ini. Kesibukan berkurang, waktu banyak luang. Jika mereka, kamu, kalian bersikeras menyebutnya "resolusi tahun baru", anggap saja itu benar. Tak mau saya berdebat. Orang bijak bilang bahwa orang picik lebih suka berdebat. Orang yang dituduh picik bilang bahwa orang yang mengaku bijak pandai mencari alasan dan menyusun kata-kata mutiara. Dan saya bilang, jangan ribut. Malu sama tetangga.


#1 National Geographic
Saya ingin mulai membaca majalah tersebut secara berkala. Jatuh cinta saya pada foto-foto di sana. Tentang dunia-dunia yang suatu saat ingin saya kunjungi. Alam liar. Hutan perawan. Sungai belia. Gunung janda.

#2 Lari pagi dan Fitness
Ini bukan karena saya cowok metro. Atau kecentilan. Bukan bangga, tapi mandi saja cuma satu kali per 24 jam. Ada pun kenapa saya berencana rajin lari pagi 2 kali seminggu dan mengikuti program fitness, itu tidak lebih karena saya ingin selalu bugar. Saya ingin tampak sehat dan segar meski di usia enampuluh tahun kelak. Tidak bikin malu cucu saya kalau kami berjalan beriringan.

#3 Kompromi
Pemaaf adalah sifat dasar saya. Bisa dibilang, susunan darah dan syaraf, struktur daging dan tulang saya disusun oleh maaf. Ransom maaf saya berlebih. Saya berikan pada siapa saja yang meminta. Tapi kompromi adalah soal lain. Kompromi adalah memaafkan kesalahan orang lain di mana orang itu tidak berhenti melakukan kesalahannya. Juga tidak menyesalinya. Memberi maaf tanpa diminta, mungkin istilah yang lebih tepat. Ini yang saya sulit lakukan. Saya benci orang yang menyakiti diri sendiri. Saya sangat benci orang yang menyakiti orang lain.
Orang bijak bilang, dalam beberapa hal, kompromi boleh dilakukan. Orang picik bilang, si orang bijak kali ini benar. Saya bilang, baiklah. Saya nurut saja.

#4 Belajar dan Mengajar
Sejak lulus sarjana, nyaris saya tidak pernah menggali ilmu kuliah lebih dalam dan mempelajari hal-hal baru. Saya pikir, saya sudah cukup pintar. Saya terlalu lugu telah mengira kepintaran saya sudah melebihi zaman ini. Karenanya, saya akan mulai kembali aktif membuka buku dan paper ilmiah, membacanya, mempelajarinya. Jika saya temukan kesalahan, akan saya koreksi. Lalu akan saya bagi ilmu itu dengan cuma-cuma. Untuk siapa saja yang meminta. Tua muda, tidak peduli. Bahkan dicuri pun, silakan saja. Saya tidak pernah pelit akan harta dan ilmu.
Saya cuma pelit kalau dimintai tanggung jawab. Belum merasakan enaknya, masa sudah diminta tanggung jawab.

# Berhenti merokok



















Ah, itu sih...
Mmmm....
Yah, siapa tahu...




Selamat Tahun Baru 1430 H.






“Drop the last year into the silent limbo of the past. Let it go, for it was imperfect, and thank God that it can go.”
[Brooks Atkinson]

Resolusi Tahun Baru




Selama delapan tahun terakhir, malam pergantian tahun saya lewati dengan tidur nyenyak dibarengi mimpi indah. Tidak ada itu pesta kembang api, hura-hura, euforia dan romantisme harapan tahun yang baru saja datang. Dalam hal ini, hati saya dingin dan datar saja. Nyaris memandang itu semua secara sinis, malah. Karena itu, tidak pernah saya repot-repot menyusun resolusi.

Tahun baru adalah hari libur sedunia. Tanggal merah. Merah hati. Hati-hati di jalan, sayang.

Resolusi adalah tingkat ketajaman sebuah gambar atau image. 800 x 480 adalah resolusi monitor laptop Asus EEPC milik saya yang kecil dan imut. Juga lucu. Tapi kalau marah, galaknya tiada dua.



Hanya saja, ada beberapa hal yang ingin saya lakukan di tahun mendatang. Hal-hal yang sulit saya lakukan di tahun sebelumnya. Ada sesuatu yang ingin saya kejar dan saya raih. Sungguh, ini bukan karena tahun baru, namun karena kesempatan yang baru ada di tahun ini. Kesibukan berkurang, waktu banyak luang. Jika mereka, kamu, kalian bersikeras menyebutnya "resolusi tahun baru", anggap saja itu benar. Tak mau saya berdebat. Orang bijak bilang bahwa orang picik lebih suka berdebat. Orang yang dituduh picik bilang bahwa orang yang mengaku bijak pandai mencari alasan dan menyusun kata-kata mutiara. Dan saya bilang, jangan ribut. Malu sama tetangga.


#1 National Geographic
Saya ingin mulai membaca majalah tersebut secara berkala. Jatuh cinta saya pada foto-foto di sana. Tentang dunia-dunia yang suatu saat ingin saya kunjungi. Alam liar. Hutan perawan. Sungai belia. Gunung janda.

#2 Lari pagi dan Fitness
Ini bukan karena saya cowok metro. Atau kecentilan. Bukan bangga, tapi mandi saja cuma satu kali per 24 jam. Ada pun kenapa saya berencana rajin lari pagi 2 kali seminggu dan mengikuti program fitness, itu tidak lebih karena saya ingin selalu bugar. Saya ingin tampak sehat dan segar meski di usia enampuluh tahun kelak. Tidak bikin malu cucu saya kalau kami berjalan beriringan.

#3 Kompromi
Pemaaf adalah sifat dasar saya. Bisa dibilang, susunan darah dan syaraf, struktur daging dan tulang saya disusun oleh maaf. Ransom maaf saya berlebih. Saya berikan pada siapa saja yang meminta. Tapi kompromi adalah soal lain. Kompromi adalah memaafkan kesalahan orang lain di mana orang itu tidak berhenti melakukan kesalahannya. Juga tidak menyesalinya. Memberi maaf tanpa diminta, mungkin istilah yang lebih tepat. Ini yang saya sulit lakukan. Saya benci orang yang menyakiti diri sendiri. Saya sangat benci orang yang menyakiti orang lain.
Orang bijak bilang, dalam beberapa hal, kompromi boleh dilakukan. Orang picik bilang, si orang bijak kali ini benar. Saya bilang, baiklah. Saya nurut saja.

#4 Belajar dan Mengajar
Sejak lulus sarjana, nyaris saya tidak pernah menggali ilmu kuliah lebih dalam dan mempelajari hal-hal baru. Saya pikir, saya sudah cukup pintar. Saya terlalu lugu telah mengira kepintaran saya sudah melebihi zaman ini. Karenanya, saya akan mulai kembali aktif membuka buku dan paper ilmiah, membacanya, mempelajarinya. Jika saya temukan kesalahan, akan saya koreksi. Lalu akan saya bagi ilmu itu dengan cuma-cuma. Untuk siapa saja yang meminta. Tua muda, tidak peduli. Bahkan dicuri pun, silakan saja. Saya tidak pernah pelit akan harta dan ilmu.
Saya cuma pelit kalau dimintai tanggung jawab. Belum merasakan enaknya, masa sudah diminta tanggung jawab.

# Berhenti merokok



















Ah, itu sih...
Mmmm....
Yah, siapa tahu...




Selamat Tahun Baru 1430 H.






“Drop the last year into the silent limbo of the past. Let it go, for it was imperfect, and thank God that it can go.”
[Brooks Atkinson]

Rabu, 24 Desember 2008

Pernah, dong ah...



Ada sebuah catatan yang masih segar dalam ingatan saya tentang sebuah kejadian. Kami duduk di sebuah meja bernaungkan tenda parasol. Jalan Bali nomor satu. Tepat tiga tahun lalu.

Apa yang bisa dibicarakan dua manusia selama dua belas jam tanpa henti?

Hidup, masa lalu dan mimpi.

Kamu, seorang perempuan yang paling saya percaya. Perempuan yang tak bisa berhenti untuk terus dicintai banyak orang. Dan saya, juga mereka, tidak pernah khawatir akan kamu buat terluka.

Kamu, perempuan yang kecantikannya tidak bisa ditangkap kamera. Canon, Philips, Minolta. Perempuan yang cintanya kamu bagi tanpa pandang bulu. Bulu kaki, bulu mata, hidung dan ketiak. Perempuan yang hatinya untuk semua yang mengenal tanpa pandang warna kulit. Putih, kuning, cokelat, abu, merah jambu. Perempuan yang begitu dikagumi anak-anak, diminati remaja, dimimpikan lelaki dewasa. Para orangtua berebut menjadikanmu mantu mereka.

Kamu, perempuan yang paling saya hormati. Hormat pramuka, hormat bendera. Perempuan yang paling sering mendengar saya tertawa, dan satu-satunya yang saya perlihatkan air mata.

Kamu, perempuan yang pernah saya ceritakan pada dunia.




Pernahkah saya katakan bahwa saya merasa begitu beruntung?













Tentu saja pernah…



Mmmm…


Sepertinya, belum…

Eh,








Pernah ngga, sih?



“I think we make a real sharp couple of coconuts - I’m dumb, you’re shy, whaddaya think, huh?”
[Rocky Balboa, Rocky]


Pernah, dong ah...



Ada sebuah catatan yang masih segar dalam ingatan saya tentang sebuah kejadian. Kami duduk di sebuah meja bernaungkan tenda parasol. Jalan Bali nomor satu. Tepat tiga tahun lalu.

Apa yang bisa dibicarakan dua manusia selama dua belas jam tanpa henti?

Hidup, masa lalu dan mimpi.

Kamu, seorang perempuan yang paling saya percaya. Perempuan yang tak bisa berhenti untuk terus dicintai banyak orang. Dan saya, juga mereka, tidak pernah khawatir akan kamu buat terluka.

Kamu, perempuan yang kecantikannya tidak bisa ditangkap kamera. Canon, Philips, Minolta. Perempuan yang cintanya kamu bagi tanpa pandang bulu. Bulu kaki, bulu mata, hidung dan ketiak. Perempuan yang hatinya untuk semua yang mengenal tanpa pandang warna kulit. Putih, kuning, cokelat, abu, merah jambu. Perempuan yang begitu dikagumi anak-anak, diminati remaja, dimimpikan lelaki dewasa. Para orangtua berebut menjadikanmu mantu mereka.

Kamu, perempuan yang paling saya hormati. Hormat pramuka, hormat bendera. Perempuan yang paling sering mendengar saya tertawa, dan satu-satunya yang saya perlihatkan air mata.

Kamu, perempuan yang pernah saya ceritakan pada dunia.




Pernahkah saya katakan bahwa saya merasa begitu beruntung?













Tentu saja pernah…



Mmmm…


Sepertinya, belum…

Eh,








Pernah ngga, sih?



“I think we make a real sharp couple of coconuts - I’m dumb, you’re shy, whaddaya think, huh?”
[Rocky Balboa, Rocky]


Selasa, 23 Desember 2008

Pergi, Jangan, Jangan Pergi



bandung adalah setetes embun
yang tergelincir dari dedaunan
setelah hujan turun semalam
juga matahari pagi
yang tak pernah disambut hangat
oleh penghuninya

bandung adalah santai
dan terlambat itu biasa saja
sekaligus macet, semrawut
dengan sistem lalu-lintas yang ruwet

bandung adalah hijaunya pinus
merah bunga mawar
dan warna-warni lampu malam
bitambah hitam asap knalpot
tercampur aroma sampah kota
yang sering lupa terangkut

bandung adalah sejuk, damai, tenang
yang terusik hingar-bingar
para geng motor

bandung adalah derai tawa dan air mata
plus amarah viking
seusai persib kalah tanding


bandung adalah surga berbelanja
tempat lidah berwisata
dan perut dimanja
awal kisah-kisah cinta romantis
juga perselingkuhan terjadi di sana

bandung adalah sarang seniman
penulis dan cendikiawan
termasuk tanah kelahiran pemusik
yang kemudian ditinggal pergi
demi nasib lebih baik

bandung adalah kota pelajar
dan pusat pendidikan
yang juga minim lapangan pekerjaan

bandung adalah paradoks
terkadang dibenci,
tidak jarang dirindu



Sejak 1984...







Sewaktu kuliah, saya begitu kukuh untuk berjuang di kota ini, tidak sekedar bertahan.

Tapi menurut Google Search, yang saya cari tidak ada di Bandung.

Haruskah saya tinggalkan ini semua? Demi...?






Pergi, jangan, jangan pergi...








“Nobody can go back and start a new beginning, but anyone can start today and make a new ending.”
[
Maria Robinson]

Pergi, Jangan, Jangan Pergi



bandung adalah setetes embun
yang tergelincir dari dedaunan
setelah hujan turun semalam
juga matahari pagi
yang tak pernah disambut hangat
oleh penghuninya

bandung adalah santai
dan terlambat itu biasa saja
sekaligus macet, semrawut
dengan sistem lalu-lintas yang ruwet

bandung adalah hijaunya pinus
merah bunga mawar
dan warna-warni lampu malam
bitambah hitam asap knalpot
tercampur aroma sampah kota
yang sering lupa terangkut

bandung adalah sejuk, damai, tenang
yang terusik hingar-bingar
para geng motor

bandung adalah derai tawa dan air mata
plus amarah viking
seusai persib kalah tanding


bandung adalah surga berbelanja
tempat lidah berwisata
dan perut dimanja
awal kisah-kisah cinta romantis
juga perselingkuhan terjadi di sana

bandung adalah sarang seniman
penulis dan cendikiawan
termasuk tanah kelahiran pemusik
yang kemudian ditinggal pergi
demi nasib lebih baik

bandung adalah kota pelajar
dan pusat pendidikan
yang juga minim lapangan pekerjaan

bandung adalah paradoks
terkadang dibenci,
tidak jarang dirindu



Sejak 1984...







Sewaktu kuliah, saya begitu kukuh untuk berjuang di kota ini, tidak sekedar bertahan.

Tapi menurut Google Search, yang saya cari tidak ada di Bandung.

Haruskah saya tinggalkan ini semua? Demi...?






Pergi, jangan, jangan pergi...








“Nobody can go back and start a new beginning, but anyone can start today and make a new ending.”
[
Maria Robinson]

Senin, 22 Desember 2008

Ember



lalu kusingkap rahasia pada mereka

tentang persahabatan kita
yang kuanyam dengan jerami rindu untuk segera bertemu
dan kenangan perjumpaan singkat lalu

ini bukan kisah cinta, kataku
mengutip ucapanmu

kami sekedar berbicara
dalam bahasa yang serupa
dan tiap bait kata yang tersusun
dari guguran abjadnya yang semula berserakan

ia adalah air yang mengalir, sahutku
yang bermuara pada laut garam
juga menguap menjadi awan
lalu menghilang beserta hujan




















gunakan ember besar, usul mereka
tampung dia…



Anyone who says sunshine brings happiness has never danced in the rain.”
[Anonymous]

Ember



lalu kusingkap rahasia pada mereka

tentang persahabatan kita
yang kuanyam dengan jerami rindu untuk segera bertemu
dan kenangan perjumpaan singkat lalu

ini bukan kisah cinta, kataku
mengutip ucapanmu

kami sekedar berbicara
dalam bahasa yang serupa
dan tiap bait kata yang tersusun
dari guguran abjadnya yang semula berserakan

ia adalah air yang mengalir, sahutku
yang bermuara pada laut garam
juga menguap menjadi awan
lalu menghilang beserta hujan




















gunakan ember besar, usul mereka
tampung dia…



Anyone who says sunshine brings happiness has never danced in the rain.”
[Anonymous]

Sabtu, 20 Desember 2008

Untuk Rini di Cimahi



Bandung, 25 Oktober 2005


Dear, Rini.

Beribu maaf, kamu harus menunggu begitu lama untuk dapat menerima surat balasan ini. Kebiasaan buruk menunda segala sesuatu memang sudah menjadi kekurangan saya yang paling mendasar.

Sekali lagi… maafkan.

Ada kelegaan luar biasa sewaktu saya membaca surat kamu. Ternyata, kamu menyukai novel itu. Bahkan, kamu ceritakan juga tentang tokoh Pram yang kamu suka. Sungguh, bertambah lagi satu alasan bagi saya untuk terus menulis. Terimakasih.

Jadi, bagaimana kabar kamu? Sudah tidak jemu lagi menunggu?

Setiap orang pernah mencintai dan kemudian terluka. Termasuk saya, tentunya. Mungkin sudah dua-tiga kali. Bahkan mungkin lebih. Tapi, itu tidak berarti membuat saya terbiasa untuk mengalaminya. Tetap saja terasa perih. Sampai saat ini pun, gerimis di hati saya masih merintik. Terkadang menggelitik.

Sekedar berbagi, always, Laila saya tulis ketika diri ini merasa begitu sepi. Saya merasa sendiri dan kehilangan akan sesuatu yang belum sempat saya punya. Sesuatu yang istimewa dan berharga. Sesuatu, yang mereka menyebutnya seseorang. Dan kamu sudah mengenalnya dalam tulisan saya, bukan? Rupanya, tanpa sadar, seseorang itulah yang telah menumbuhkan inspirasi dalam diri saya untuk menulis cerita tersebut.

Bagaimana, Rin? Kamu menyukai Laila?

Dear, Rini.
Memang benar bahwa menulis surat sudah menjadi hal yang ditinggalkan. Tapi, entah kenapa, menerima sepucuk surat dengan tertera nama kita terasa jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekedar e-mail atau sms. Jadi, tidak ada rasa keberatan untuk membaca dan membalas surat kamu.


Salam,

Andi Eriawan




















Nah, Rini.
Maafkan, saya ya.
Setelah tiga tahun yang lalu saya tulis surat balasan ini,
saya belum juga sempat ke Kantor Pos...





Sempat, sih. Empat-lima kali.

Tapi...




Ah, pokoknya maafkan saja saya, lah.
Kita kan' akrab.









“Fighters have rules, too. Friendship, trust, integrity. Always keep your promise. Without rules we wouldn’t survive long.”
[Yu Shu Lien, Crouching Tiger Hidden Dragon]


Untuk Rini di Cimahi



Bandung, 25 Oktober 2005


Dear, Rini.

Beribu maaf, kamu harus menunggu begitu lama untuk dapat menerima surat balasan ini. Kebiasaan buruk menunda segala sesuatu memang sudah menjadi kekurangan saya yang paling mendasar.

Sekali lagi… maafkan.

Ada kelegaan luar biasa sewaktu saya membaca surat kamu. Ternyata, kamu menyukai novel itu. Bahkan, kamu ceritakan juga tentang tokoh Pram yang kamu suka. Sungguh, bertambah lagi satu alasan bagi saya untuk terus menulis. Terimakasih.

Jadi, bagaimana kabar kamu? Sudah tidak jemu lagi menunggu?

Setiap orang pernah mencintai dan kemudian terluka. Termasuk saya, tentunya. Mungkin sudah dua-tiga kali. Bahkan mungkin lebih. Tapi, itu tidak berarti membuat saya terbiasa untuk mengalaminya. Tetap saja terasa perih. Sampai saat ini pun, gerimis di hati saya masih merintik. Terkadang menggelitik.

Sekedar berbagi, always, Laila saya tulis ketika diri ini merasa begitu sepi. Saya merasa sendiri dan kehilangan akan sesuatu yang belum sempat saya punya. Sesuatu yang istimewa dan berharga. Sesuatu, yang mereka menyebutnya seseorang. Dan kamu sudah mengenalnya dalam tulisan saya, bukan? Rupanya, tanpa sadar, seseorang itulah yang telah menumbuhkan inspirasi dalam diri saya untuk menulis cerita tersebut.

Bagaimana, Rin? Kamu menyukai Laila?

Dear, Rini.
Memang benar bahwa menulis surat sudah menjadi hal yang ditinggalkan. Tapi, entah kenapa, menerima sepucuk surat dengan tertera nama kita terasa jauh lebih menyenangkan dibandingkan sekedar e-mail atau sms. Jadi, tidak ada rasa keberatan untuk membaca dan membalas surat kamu.


Salam,

Andi Eriawan




















Nah, Rini.
Maafkan, saya ya.
Setelah tiga tahun yang lalu saya tulis surat balasan ini,
saya belum juga sempat ke Kantor Pos...





Sempat, sih. Empat-lima kali.

Tapi...




Ah, pokoknya maafkan saja saya, lah.
Kita kan' akrab.









“Fighters have rules, too. Friendship, trust, integrity. Always keep your promise. Without rules we wouldn’t survive long.”
[Yu Shu Lien, Crouching Tiger Hidden Dragon]


Kamis, 18 Desember 2008

Cicip-cicip Novel Ke Empat


Sejak aku bisa mengingat tentang kakakku, Ruski adalah seorang anak lelaki yang nakal dan mata duitan. Sejak duduk di kelas tiga sekolah dasar, dia sudah terbiasa bergelantungan di atas KRD yang melintasi jalur Cicalengka-Padalarang, mengorek uang recehan yang tertanam di jalan aspal, mencongkel timah ban mobil dan sering meminta uang untuk buku pelajaran yang tidak pernah dibelikannya. Bila disuruh melakukan sesuatu oleh orangtua kami, Ruski selalu meminta bayaran di muka. Belanja ke warung, limapuluh. Ke kantor pos, seratus. Puasa Ramadhan, seratus per hari. Sejak kelas lima tahun lalu, dia mulai mencuri rokok milik Bapak dan menghisapnya di gardu listrik belakang komplek rumah kami. Dan Mamah sudah terbiasa diomeli para tetangga atau orangtua murid sekolah karena Ruski telah memberi pengaruh buruk bagi anak-anak mereka.

Kedua orangtua kami bukan tidak pernah memarahi kakakku. Namun, entah kenapa, cubitan dan omelan tidak mempan terhadapnya. Jika Mamah sampai menghentikan uang saku Ruski, maka akan ada satu-dua ekor ikan mas koki menghilang dari akuarium dan beberapa koleksi kaset Bapak berpindah tangan ke tukang loak di Pasar Cihapit. Jika dikurung di kamar mandi, maka air bak akan dikuras habis. Pernah suatu kali Ruski dilarang menonton tivi selama satu minggu. Maka yang terjadi adalah menghilangnya antena tivi sehingga kami sekeluarga tidak bisa menonton selama satu minggu.

Tapi setiap kali kami membicarakan masa-masa itu di tahun-tahun berikutnya, Ruski selalu menampik bahwa dia adalah teladan yang buruk bagi aku, adiknya. Dan lagi-lagi dia akan mengingatkan aku tentang kejadian, kami menyebutnya September Berdarah, di mana Ruski menjadi sosok pahlawan bagi seluruh anggota keluarga. Kalau sudah begitu, aku akan terdiam kehabisan kata-kata sambil memandang sebal kakakku yang tampak besar kepala. Kemudian aku mengancam akan memberi tahu Bapak tempat persembunyian rokoknya. Dan seperti biasa, kami pun kembali berbaikan.

Bapak pernah bercerita bahwa kenakalan Ruski berasal dari darah kakekku, Rusmana, seorang jawara yang ikut pemberontakan DI/TII di Sumedang yang kemudian turun gunung hanya karena jatuh cinta pada nenekku. Mereka mengungsi ke kawasan Muararajeun yang dulu masih berupa rawa-rawa dan mendirikan rumah di sana. Tigapuluh tahun kemudian, mereka digusur oleh pemerintah kota. Kakekkulah yang berjuang paling depan untuk mendapatkan ganti rugi pembebasan tanah dengan harga yang sangat tinggi.

Tapi kemudian Mamah menyangkal. Menurutnya, kenakalan Ruski lebih disebabkan oleh kelahirannya yang prematur dengan berat hanya dua kilo gram. Tidak lebih dan tidak kurang. Kondisinya begitu lemah sampai-sampai ia harus diinfus selama tiga hari. Tidak hanya sampai di situ. Ruski sempat pinsan dan dokter memberi kejutan listrik untuk menyadarkannya. Jadi, mungkin akibat voltase yang terlalu besar, Ruski tumbuh dalam kondisi kelebihan energi.

Bersambung.






Semoga bisa terbit di tahun 2009.

Semoga...








“Whatever you do, just don’t listen to anything I say.”
[Joe Fox, You've Got Mail]


Cicip-cicip Novel Ke Empat


Sejak aku bisa mengingat tentang kakakku, Ruski adalah seorang anak lelaki yang nakal dan mata duitan. Sejak duduk di kelas tiga sekolah dasar, dia sudah terbiasa bergelantungan di atas KRD yang melintasi jalur Cicalengka-Padalarang, mengorek uang recehan yang tertanam di jalan aspal, mencongkel timah ban mobil dan sering meminta uang untuk buku pelajaran yang tidak pernah dibelikannya. Bila disuruh melakukan sesuatu oleh orangtua kami, Ruski selalu meminta bayaran di muka. Belanja ke warung, limapuluh. Ke kantor pos, seratus. Puasa Ramadhan, seratus per hari. Sejak kelas lima tahun lalu, dia mulai mencuri rokok milik Bapak dan menghisapnya di gardu listrik belakang komplek rumah kami. Dan Mamah sudah terbiasa diomeli para tetangga atau orangtua murid sekolah karena Ruski telah memberi pengaruh buruk bagi anak-anak mereka.

Kedua orangtua kami bukan tidak pernah memarahi kakakku. Namun, entah kenapa, cubitan dan omelan tidak mempan terhadapnya. Jika Mamah sampai menghentikan uang saku Ruski, maka akan ada satu-dua ekor ikan mas koki menghilang dari akuarium dan beberapa koleksi kaset Bapak berpindah tangan ke tukang loak di Pasar Cihapit. Jika dikurung di kamar mandi, maka air bak akan dikuras habis. Pernah suatu kali Ruski dilarang menonton tivi selama satu minggu. Maka yang terjadi adalah menghilangnya antena tivi sehingga kami sekeluarga tidak bisa menonton selama satu minggu.

Tapi setiap kali kami membicarakan masa-masa itu di tahun-tahun berikutnya, Ruski selalu menampik bahwa dia adalah teladan yang buruk bagi aku, adiknya. Dan lagi-lagi dia akan mengingatkan aku tentang kejadian, kami menyebutnya September Berdarah, di mana Ruski menjadi sosok pahlawan bagi seluruh anggota keluarga. Kalau sudah begitu, aku akan terdiam kehabisan kata-kata sambil memandang sebal kakakku yang tampak besar kepala. Kemudian aku mengancam akan memberi tahu Bapak tempat persembunyian rokoknya. Dan seperti biasa, kami pun kembali berbaikan.

Bapak pernah bercerita bahwa kenakalan Ruski berasal dari darah kakekku, Rusmana, seorang jawara yang ikut pemberontakan DI/TII di Sumedang yang kemudian turun gunung hanya karena jatuh cinta pada nenekku. Mereka mengungsi ke kawasan Muararajeun yang dulu masih berupa rawa-rawa dan mendirikan rumah di sana. Tigapuluh tahun kemudian, mereka digusur oleh pemerintah kota. Kakekkulah yang berjuang paling depan untuk mendapatkan ganti rugi pembebasan tanah dengan harga yang sangat tinggi.

Tapi kemudian Mamah menyangkal. Menurutnya, kenakalan Ruski lebih disebabkan oleh kelahirannya yang prematur dengan berat hanya dua kilo gram. Tidak lebih dan tidak kurang. Kondisinya begitu lemah sampai-sampai ia harus diinfus selama tiga hari. Tidak hanya sampai di situ. Ruski sempat pinsan dan dokter memberi kejutan listrik untuk menyadarkannya. Jadi, mungkin akibat voltase yang terlalu besar, Ruski tumbuh dalam kondisi kelebihan energi.

Bersambung.






Semoga bisa terbit di tahun 2009.

Semoga...








“Whatever you do, just don’t listen to anything I say.”
[Joe Fox, You've Got Mail]


Rabu, 17 Desember 2008

Janji Bangun Tidur


Pagi ini saya terbangun dalam kondisi tubuh yang lemah. Lemah gemulai. Seperti bencong. Pandangan mata berkunang-kunang dan hidung basah tidak kepalang. Tissue berserakan di sisi ranjang. Serangan virus influenza sudah memasuki hari ke tiga, sementara belum satu pun obat farmasi yang tertelan tenggorokan saya.

Masih sedikit tenang, sebenarnya. Sebab rokok dan kopi belum berubah rasanya di lidah.

Pada awalnya, saya pikir ini sugesti belaka bahwa saya sedang sakit. Namun rupanya saya sudah tidak setangguh dahulu. Sewaktu lari pagi, beladiri, bulutangkis, lari sore, fitness dan naik gunung masih menjadi kegiatan sehari-hari. Saat push-up limapuluh setiap bangun tidur, barbel lima kilo sebelum naik kasur.

Jika terserang flu, cukup dengan tidur dan segelas teh panas tawar, kondisi tubuh akan kembali normal.

Ah...
Sebagai seseorang yang dianugerahi kesehatan yang luar biasa selama tahunan ke belakang, saya terlalu jarang mengucapkan syukur pada-Nya.

Maafkan, ya Tuhan. Tolong Engkau kembalikan kekuatan yang sebelumnya Engkau titipkan. Berikutnya akan saya jaga baik-baik dan pelihara sungguh-sungguh. Takkan ada lagi begadang tak penting itu.






Selamat berkarya, Andi.
Libur akhir tahun masih lama...




"Good health is the most important thing. More than success, more than money, more than power."
[Hyman Roth, The Godfather: Part II]



Janji Bangun Tidur


Pagi ini saya terbangun dalam kondisi tubuh yang lemah. Lemah gemulai. Seperti bencong. Pandangan mata berkunang-kunang dan hidung basah tidak kepalang. Tissue berserakan di sisi ranjang. Serangan virus influenza sudah memasuki hari ke tiga, sementara belum satu pun obat farmasi yang tertelan tenggorokan saya.

Masih sedikit tenang, sebenarnya. Sebab rokok dan kopi belum berubah rasanya di lidah.

Pada awalnya, saya pikir ini sugesti belaka bahwa saya sedang sakit. Namun rupanya saya sudah tidak setangguh dahulu. Sewaktu lari pagi, beladiri, bulutangkis, lari sore, fitness dan naik gunung masih menjadi kegiatan sehari-hari. Saat push-up limapuluh setiap bangun tidur, barbel lima kilo sebelum naik kasur.

Jika terserang flu, cukup dengan tidur dan segelas teh panas tawar, kondisi tubuh akan kembali normal.

Ah...
Sebagai seseorang yang dianugerahi kesehatan yang luar biasa selama tahunan ke belakang, saya terlalu jarang mengucapkan syukur pada-Nya.

Maafkan, ya Tuhan. Tolong Engkau kembalikan kekuatan yang sebelumnya Engkau titipkan. Berikutnya akan saya jaga baik-baik dan pelihara sungguh-sungguh. Takkan ada lagi begadang tak penting itu.






Selamat berkarya, Andi.
Libur akhir tahun masih lama...




"Good health is the most important thing. More than success, more than money, more than power."
[Hyman Roth, The Godfather: Part II]



Minggu, 14 Desember 2008

Airmata, Aisa...


Teruntuk Aisa,

seorang anak perempuan
yang tak pernah bisa berhenti
untuk dicintai

Aisa Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak menangis tadi malam.

Jika ditanya kenapa, Bapak akan kesulitan menjawabnya. Kepedihan selalu datang dan pergi, atau datang dan hinggap. Entah harus memulai dari mana. Segala sebab-musabab tidaklah sesederhana kata-kata. Seperti persamaan polinomial pangkat enam saja. Siapapun akan kesulitan mencari akar-akarnya. Tapi, alasan apa pun tidaklah penting, Aisa. Bukankah airmata juga merupakan pelembut jiwa? Lalu kenapa kita harus disibukkan dengan mencari sumbernya?

Kamu tahu, Sayang. Bapak berani bertaruh bahwa kamu nyaris tidak pernah menemukan ibumu menangis. Bukan. Dia memang tangguh, tapi bukan karena itu. Ibumu adalah seorang perempuan yang sangat pandai dalam menyembunyikan kesedihannya. Teramat pandai. Dia bisa saja tersenyum dan tertawa di keramaian orang, padahal mungkin saja kesedihan tengah mengendap di dasar hatinya. Bapak saja baru satu-dua kali melihat air mata ibumu mengalir. Itu pun akibat tingkah-polah ayahmu ini.

Ya. Bapak kadang-kadang menyebalkan juga, Aisa. Maafkan.


Tapi Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak menangis tadi malam.



“Perhaps our eyes need to be washed by our tears once in a while, so that we can see life with a clearer view again.”
[Alex Tan]


Airmata, Aisa...


Teruntuk Aisa,

seorang anak perempuan
yang tak pernah bisa berhenti
untuk dicintai

Aisa Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak menangis tadi malam.

Jika ditanya kenapa, Bapak akan kesulitan menjawabnya. Kepedihan selalu datang dan pergi, atau datang dan hinggap. Entah harus memulai dari mana. Segala sebab-musabab tidaklah sesederhana kata-kata. Seperti persamaan polinomial pangkat enam saja. Siapapun akan kesulitan mencari akar-akarnya. Tapi, alasan apa pun tidaklah penting, Aisa. Bukankah airmata juga merupakan pelembut jiwa? Lalu kenapa kita harus disibukkan dengan mencari sumbernya?

Kamu tahu, Sayang. Bapak berani bertaruh bahwa kamu nyaris tidak pernah menemukan ibumu menangis. Bukan. Dia memang tangguh, tapi bukan karena itu. Ibumu adalah seorang perempuan yang sangat pandai dalam menyembunyikan kesedihannya. Teramat pandai. Dia bisa saja tersenyum dan tertawa di keramaian orang, padahal mungkin saja kesedihan tengah mengendap di dasar hatinya. Bapak saja baru satu-dua kali melihat air mata ibumu mengalir. Itu pun akibat tingkah-polah ayahmu ini.

Ya. Bapak kadang-kadang menyebalkan juga, Aisa. Maafkan.


Tapi Sayang, ada yang berbeda kali ini.
Bapak menangis tadi malam.



“Perhaps our eyes need to be washed by our tears once in a while, so that we can see life with a clearer view again.”
[Alex Tan]


Rabu, 10 Desember 2008


“Andi, apakah setelah menikah nanti kamu akan selingkuh?”

Tadi malam, pertanyaan tersebut diajukan kepada saya oleh seorang calon ibu yang tengah hamil tiga bulan. Bukan. Bukan saya si pelaku penghamilan, tapi suaminya sendiri, tentu saja. Saat ini si suami sedang bertugas di negeri nabi berasal. Tak perlulah kita lakukan test DNA. Buang-buang waktu dan uang berharga.

“Tidak.”

Begitulah jawaban saya. Saya menjawabnya begitu cepat. Sangat cepat. Kurang dari satu detik. Tanpa menimbang. Tanpa berpikir. Tanpa merengut, menggerakkan alis, atau mengerutkan dahi. Kuping saya tidak bergerak dan sudut mata tidak berkedut. Air muka saya tidak berubah. Refleks saja. Seperti seorang jagoan silat yang menangkis serangan tiba-tiba dari arah belakang.

”Andi bohong.”

Begitulah reaksi si penanya. Cepat juga. Seakan-akan, dia sudah menyiapkan opsinya sejak awal. Jika jawaban Ya, maka begini. Jika Tidak, maka begitu. Bagai jagoan kungfu yang bisa menangkis semua jurus musuh. Rupa-rupanya beliau memang tidak sedang bertanya. Atau sekedar iseng-iseng survey belaka.

Beliau sedang bimbang dengan apa yang coba diyakininya. Dilanda ragu. Bingung dan cemas. Khawatir. Gundah. Gulana.

Si calon ibu sudah saya kenal sejak beliau masih duduk di kelas 5 SD. Saya menyaksikan sendiri bagaimana dia tumbuh dan membesar. Tinggi dan melebar. Selama tahunan, beliau memang sudah kenyang dengan bualan saya. Bukan buaian. BUALAN. Ibarat berjalan, selalu saja dia terjatuh di lubang-lubang yang saya buat.

Kemudian kali ini dia menuduh saya berbohong.

”Laki-laki kan di mana-mana juga sama. Termasuk Andi.”

Dengan cepat saya bilang begini,

”Kamu boleh saja menuduh saya kelak akan selingkuh. Tapi, jangan sekali-kali menyamakan saya dengan laki-laki kebanyakan.”

Sejujurnya, saya sendiri tidak begitu mengerti akan apa yang saya bilang di atas. Sungguh. Karena lagi-lagi, yang berperan dalam menjawabnya adalah sensor saraf sumsum tulang belakang. Refleks belaka. Apakah artinya,

Saya memang pembohong, tapi saya tidak akan pernah berselingkuh.

Atau,

Selingkuh saya berbeda dengan selingkuh laki-laki lain.

Sungguh. Saya tidak tahu mana yang benar. Mungkin sama saja. Mungkin beda. Ah, tidaklah patut saya berpusing-pusing dalam masalah ini. Lain kali saja saya pikirkan lebih jauh.

Yang genting saat ini adalah bahwa si ibu hamil muda sedang butuh sokongan moral dari saya. Mungkin dalam pikirannya, jika seorang Andi saja tidak selingkuh, maka dengan sendirinya, sang suami yang baik hati itu tentu akan setia. Dan beliau dapat menunggu suami pulang dengan hati yang tenang.

*sigh

Tak apa-apa. Biarlah kali ini saya dijadikan sebuah patokan. Sebuah standard. Barometer di mana saya berada pada nilai minimal. Maka dengan penuh kesabaran, dedikasi dan hati yang tulus, saya katakan padanya bahwa,

”Saya seorang yang setia. Takkan berselingkuh ria.”

”Apa buktinya?”

”Selama lebih dari 13 tahun, saya masih setia berteman dengan kakakmu, bukan?”

”Apa hubungannya?”

”Sama lelaki saja saya setia, apalagi dengan seorang perempuan cantik, seksi, solehah, dan pandai yang kelak saya nikahi?”



Dan si ibu hamil yang sudah bukan gadis itu pun kini merasa lebih mantap dalam menunggu sang suami pulang.




Jangan lupa oleh-oleh bagian untuk saya, ya.

Onta.



“Only the person who has faith in himself is able to be faithful to others.”
[Erich Formm]






“Andi, apakah setelah menikah nanti kamu akan selingkuh?”

Tadi malam, pertanyaan tersebut diajukan kepada saya oleh seorang calon ibu yang tengah hamil tiga bulan. Bukan. Bukan saya si pelaku penghamilan, tapi suaminya sendiri, tentu saja. Saat ini si suami sedang bertugas di negeri nabi berasal. Tak perlulah kita lakukan test DNA. Buang-buang waktu dan uang berharga.

“Tidak.”

Begitulah jawaban saya. Saya menjawabnya begitu cepat. Sangat cepat. Kurang dari satu detik. Tanpa menimbang. Tanpa berpikir. Tanpa merengut, menggerakkan alis, atau mengerutkan dahi. Kuping saya tidak bergerak dan sudut mata tidak berkedut. Air muka saya tidak berubah. Refleks saja. Seperti seorang jagoan silat yang menangkis serangan tiba-tiba dari arah belakang.

”Andi bohong.”

Begitulah reaksi si penanya. Cepat juga. Seakan-akan, dia sudah menyiapkan opsinya sejak awal. Jika jawaban Ya, maka begini. Jika Tidak, maka begitu. Bagai jagoan kungfu yang bisa menangkis semua jurus musuh. Rupa-rupanya beliau memang tidak sedang bertanya. Atau sekedar iseng-iseng survey belaka.

Beliau sedang bimbang dengan apa yang coba diyakininya. Dilanda ragu. Bingung dan cemas. Khawatir. Gundah. Gulana.

Si calon ibu sudah saya kenal sejak beliau masih duduk di kelas 5 SD. Saya menyaksikan sendiri bagaimana dia tumbuh dan membesar. Tinggi dan melebar. Selama tahunan, beliau memang sudah kenyang dengan bualan saya. Bukan buaian. BUALAN. Ibarat berjalan, selalu saja dia terjatuh di lubang-lubang yang saya buat.

Kemudian kali ini dia menuduh saya berbohong.

”Laki-laki kan di mana-mana juga sama. Termasuk Andi.”

Dengan cepat saya bilang begini,

”Kamu boleh saja menuduh saya kelak akan selingkuh. Tapi, jangan sekali-kali menyamakan saya dengan laki-laki kebanyakan.”

Sejujurnya, saya sendiri tidak begitu mengerti akan apa yang saya bilang di atas. Sungguh. Karena lagi-lagi, yang berperan dalam menjawabnya adalah sensor saraf sumsum tulang belakang. Refleks belaka. Apakah artinya,

Saya memang pembohong, tapi saya tidak akan pernah berselingkuh.

Atau,

Selingkuh saya berbeda dengan selingkuh laki-laki lain.

Sungguh. Saya tidak tahu mana yang benar. Mungkin sama saja. Mungkin beda. Ah, tidaklah patut saya berpusing-pusing dalam masalah ini. Lain kali saja saya pikirkan lebih jauh.

Yang genting saat ini adalah bahwa si ibu hamil muda sedang butuh sokongan moral dari saya. Mungkin dalam pikirannya, jika seorang Andi saja tidak selingkuh, maka dengan sendirinya, sang suami yang baik hati itu tentu akan setia. Dan beliau dapat menunggu suami pulang dengan hati yang tenang.

*sigh

Tak apa-apa. Biarlah kali ini saya dijadikan sebuah patokan. Sebuah standard. Barometer di mana saya berada pada nilai minimal. Maka dengan penuh kesabaran, dedikasi dan hati yang tulus, saya katakan padanya bahwa,

”Saya seorang yang setia. Takkan berselingkuh ria.”

”Apa buktinya?”

”Selama lebih dari 13 tahun, saya masih setia berteman dengan kakakmu, bukan?”

”Apa hubungannya?”

”Sama lelaki saja saya setia, apalagi dengan seorang perempuan cantik, seksi, solehah, dan pandai yang kelak saya nikahi?”



Dan si ibu hamil yang sudah bukan gadis itu pun kini merasa lebih mantap dalam menunggu sang suami pulang.




Jangan lupa oleh-oleh bagian untuk saya, ya.

Onta.



“Only the person who has faith in himself is able to be faithful to others.”
[Erich Formm]





Selasa, 09 Desember 2008

Jumpalitan


Teruntuk Litan,

seorang perempuan
yang padanya ingin kutitipkan
cinta yang utuh,
tali erat persahabatan,
keping demi keping kenangan,
rasa percaya,
jendela masa depan,
pintu menuju masa lalu,
keluhan dan kesahan,
derai tawa serta air mata,
sebentuk rindu,
segenggam cemburu,
juga gairah menggebu…

Hanya untuk Litan,
seorang perempuan di mana
setiap bait kata yang diucapkannya,
setiap lirik lagu yang disukainya,
setiap syair puisi yang mengendap di hatinya,
telah membuat lelaki ini
selalu menyebutkan namanya
setiap kali ia berdoa

yang jarang itu
yang sekedarnya itu
yang kadang-kadang itu

Litan,
tahukah kamu
lelaki ini
punya seribu pertanyaan
melayang berterbangan
di kepalanya
memiliki sejuta harapan
mengendap hinggap
di dadanya
semilyar mimpi
menyelam dalam
di hatinya

tentang kamu
jika kamu ingin tahu

namun sayang,
ia bukan siapa-siapa
tidak dimilikinya talenta
seperti para penyair itu
tidak dipunyainya motor besar
seperti pembalap itu
dan jangan ditanya
ia bisa menyanyi atau tidak

dirinya hanyalah seorang lelaki
yang bertekad menjaganya baik-baik
dan memeliharanya sungguh-sungguh
cinta yang utuh,
tali erat persahabatan,
keping demi keping kenangan,
rasa percaya,
jendela masa depan,
pintu menuju masa lalu,
keluhan dan kesahan,
derai tawa serta air mata,
sebentuk rindu,
segenggam cemburu,
juga gairah menggebu…

yang kamu titipkan
jika lelaki ini diberi kesempatan




Mereka yang mengenal saya sungguh tahu bahwa saya adalah seorang lelaki pejuang. Itu tidak diragukan lagi. Jika menginginkan sesuatu, saya akan mengejarnya. Tak peduli berapa lama waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang harus keluar.

Hutan golok, laut pedang. Saya tidak peduli. Hajar!

Namun, kali ini sungguh berbeda.

Ada misi yang harus saya selesaikan terlebih dahulu. Begitu banyak yang menaruh harapan pada lelaki sombong ini. Ada tanggungjawab yang harus diembannya. Saya, tidak lagi hidup hanya demi seseorang.

Para pujangga selalu berkata: jika cinta, kejar. Buktikan.
Tapi sahut pendekar: bukan laki-laki sejati mereka yang mengkhianati harapan.

*sigh

Mungkin dengan begini, saya akan betul-betul kehilangan. Dan harapan yang semula kecil itu, terhapus benar-benar. Dan saya tak punya kesempatan lagi mendapatkan porsi hati kamu yang paling besar. Lalu mereka akan mencibir: kalau saja kamu berangkat ke sana…

Jika kamu ingin pergi, saya tidak kuasa menahan.
Takkan saya merengek lagi.
Biar saya pelototi inbox kosong itu sampai bosan.
Kamu, saya bebaskan.



Sampai Jumpalitan…







Jumpalitan


Teruntuk Litan,

seorang perempuan
yang padanya ingin kutitipkan
cinta yang utuh,
tali erat persahabatan,
keping demi keping kenangan,
rasa percaya,
jendela masa depan,
pintu menuju masa lalu,
keluhan dan kesahan,
derai tawa serta air mata,
sebentuk rindu,
segenggam cemburu,
juga gairah menggebu…

Hanya untuk Litan,
seorang perempuan di mana
setiap bait kata yang diucapkannya,
setiap lirik lagu yang disukainya,
setiap syair puisi yang mengendap di hatinya,
telah membuat lelaki ini
selalu menyebutkan namanya
setiap kali ia berdoa

yang jarang itu
yang sekedarnya itu
yang kadang-kadang itu

Litan,
tahukah kamu
lelaki ini
punya seribu pertanyaan
melayang berterbangan
di kepalanya
memiliki sejuta harapan
mengendap hinggap
di dadanya
semilyar mimpi
menyelam dalam
di hatinya

tentang kamu
jika kamu ingin tahu

namun sayang,
ia bukan siapa-siapa
tidak dimilikinya talenta
seperti para penyair itu
tidak dipunyainya motor besar
seperti pembalap itu
dan jangan ditanya
ia bisa menyanyi atau tidak

dirinya hanyalah seorang lelaki
yang bertekad menjaganya baik-baik
dan memeliharanya sungguh-sungguh
cinta yang utuh,
tali erat persahabatan,
keping demi keping kenangan,
rasa percaya,
jendela masa depan,
pintu menuju masa lalu,
keluhan dan kesahan,
derai tawa serta air mata,
sebentuk rindu,
segenggam cemburu,
juga gairah menggebu…

yang kamu titipkan
jika lelaki ini diberi kesempatan




Mereka yang mengenal saya sungguh tahu bahwa saya adalah seorang lelaki pejuang. Itu tidak diragukan lagi. Jika menginginkan sesuatu, saya akan mengejarnya. Tak peduli berapa lama waktu, tenaga, pikiran dan biaya yang harus keluar.

Hutan golok, laut pedang. Saya tidak peduli. Hajar!

Namun, kali ini sungguh berbeda.

Ada misi yang harus saya selesaikan terlebih dahulu. Begitu banyak yang menaruh harapan pada lelaki sombong ini. Ada tanggungjawab yang harus diembannya. Saya, tidak lagi hidup hanya demi seseorang.

Para pujangga selalu berkata: jika cinta, kejar. Buktikan.
Tapi sahut pendekar: bukan laki-laki sejati mereka yang mengkhianati harapan.

*sigh

Mungkin dengan begini, saya akan betul-betul kehilangan. Dan harapan yang semula kecil itu, terhapus benar-benar. Dan saya tak punya kesempatan lagi mendapatkan porsi hati kamu yang paling besar. Lalu mereka akan mencibir: kalau saja kamu berangkat ke sana…

Jika kamu ingin pergi, saya tidak kuasa menahan.
Takkan saya merengek lagi.
Biar saya pelototi inbox kosong itu sampai bosan.
Kamu, saya bebaskan.



Sampai Jumpalitan…







Sabtu, 06 Desember 2008

Masturbasi Emosional dan Spiritual


Istilah ini saya pinjam dari seorang teman kantor ketika kami membicarakan betapa maraknya berbagai training motivasi. Tujuan setiap program adalah sama, meningkatkan motivasi para peserta agar mereka dapat lebih bersemangat, baik dalam konteks bekerja, menjalankan kehidupan sampai mengejar kekayaan. Juga meningkatkan keimanan.

Saya sendiri bukan tidak pernah mengikuti berbagai training seperti itu. Di tahun-tahun pertama kuliah, entah berapa banyak jenis training motivasi yang pernah saya ikuti. Termasuk doa-doa bersama yang mencucurkan air mata. Setiap kali lulus dari program tersebut, saya serasa lahir kembali dengan jiwa baru. Merasa lebih bersih dan bersemangat.

Begitu juga ketika saya menonton film atau membaca novel dengan cerita yang demikian menggugah. Hati saya tersentuh, tidak jarang sampai menangis. Pengaruhnya begitu luar biasa sehingga ketika usai menontonnya atau menutup halaman terakhir, saya bertekad untuk mencontoh nilai-nilai yang terkandung di sana, mengidolakan para tokohnya dan mengikuti jalan hidup mereka.

Yang menjadi masalah adalah… berapa lama hal itu bisa bertahan?

Kalau sekedar pemuasan batin dan pengkayaan informasi di kepala, tanpa diikuti tindakan yang nyata secara berkesinambungan, istilah maturbasi emosional dan masturbasi spiritual menjadi sangat cocok, bukan?





Tuhan,
Saya tidak mau lagi.








Kampung Cilutung
Garut
seusai membaca Into the Wild
yang ke dua kalinya




“How can you be in hell, when you are in my heart?”
[Balian of Ibelin, Kingdom of Heaven]

Masturbasi Emosional dan Spiritual


Istilah ini saya pinjam dari seorang teman kantor ketika kami membicarakan betapa maraknya berbagai training motivasi. Tujuan setiap program adalah sama, meningkatkan motivasi para peserta agar mereka dapat lebih bersemangat, baik dalam konteks bekerja, menjalankan kehidupan sampai mengejar kekayaan. Juga meningkatkan keimanan.

Saya sendiri bukan tidak pernah mengikuti berbagai training seperti itu. Di tahun-tahun pertama kuliah, entah berapa banyak jenis training motivasi yang pernah saya ikuti. Termasuk doa-doa bersama yang mencucurkan air mata. Setiap kali lulus dari program tersebut, saya serasa lahir kembali dengan jiwa baru. Merasa lebih bersih dan bersemangat.

Begitu juga ketika saya menonton film atau membaca novel dengan cerita yang demikian menggugah. Hati saya tersentuh, tidak jarang sampai menangis. Pengaruhnya begitu luar biasa sehingga ketika usai menontonnya atau menutup halaman terakhir, saya bertekad untuk mencontoh nilai-nilai yang terkandung di sana, mengidolakan para tokohnya dan mengikuti jalan hidup mereka.

Yang menjadi masalah adalah… berapa lama hal itu bisa bertahan?

Kalau sekedar pemuasan batin dan pengkayaan informasi di kepala, tanpa diikuti tindakan yang nyata secara berkesinambungan, istilah maturbasi emosional dan masturbasi spiritual menjadi sangat cocok, bukan?





Tuhan,
Saya tidak mau lagi.








Kampung Cilutung
Garut
seusai membaca Into the Wild
yang ke dua kalinya




“How can you be in hell, when you are in my heart?”
[Balian of Ibelin, Kingdom of Heaven]

Kamis, 04 Desember 2008

I Love Goat


Dari semua hewan yang terdapat di seluruh permukaan bumi, saya sangat bersyukur Tuhan menciptakan kambing.

Sate, steak, gulai. Ah, sedapnya.

Sampai-sampai saya berpikir bahwa… ini mungkin hidangan kiriman dari warung-warung di surga. Pernah suatu kali saya habiskan 40 tusuk sate kambing dalam waktu kurang dari satu jam. Saya potong-potong sendiri itu kambing. Saya tusuk-tusuk penuh nafsu. Lalu saya panggang. Bumbu maranggi tidak terlupa disertakan: kecap, bawang, cabe ijo. Malam harinya dilanjutkan dengan pesta lamb chop. Jangan tanya berapa yang masuk ke dalam perut.


Idul Adha 2 tahun lalu.
Salah satu hari terbaik di sepanjang hidup saya.




Tapi siapapun bisa saja bilang,
”Saya juga sangat suka kambing, Andi.”
”Sate kambing favorit saya, lho. Bener!”
”Saya sangat suka steak kambing.”




Komentar saya terhadap mereka adalah,
”Huh! Yeah, rite!!!”

Berkata, ”Saya suka kambing”, menurut saya tidak ada bedanya dengan ngomong Saya suka kamu”, atau, ”I love you.”

Kebanyakan omong kosong belaka tanpa disertai pembuktian terlebih dahulu. Tanpa sertifikat lulus uji. Berkata tanpa benar-benar mengerti akan konsekuensinya, tanpa mengukur berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk melunturkan perasaan itu.

Berbeda sekali dengan saya. Ketika saya nyatakan bahwa saya suka kambing, maka itu memang benar demikian. Bagaimana lagi, saya sudah menunjukkan bukti-bukti nyata.

Pertama, sejak duduk di bangku SD, saya sudah memilih sendiri kambing yang akan dipotong untuk hewan kurban. Saya berkeliling tanpa lelah di sepanjang Jalan Katamso dan Pahlawan Bandung sampai diperoleh kambing terbaik yang sesuai dengan harganya. Tanduk, paha, tinggi, bulu. Saya teliti semua. Termasuk agresivitas mereka. Semakin suka menyeruduk, semakin yahud.

Ke dua, sejak SMA, saya sudah terbiasa memotong sendiri leher mereka, mengulitinya, dan memotongnya hingga kecil-kecil. Tangan saya sudah sering belepotan darah mereka.

Ke tiga, di masa kuliah, selama dua tahun berturut-turut, saya berperan sebagai pedagang kambing. Dari mulai mencari suplier, membangun kandang, berhadapan dengan konsumen, sampai mengantarkan para kambing ke tempat-tempat pemotongan. Pakai apa? Pakai motor. Saya duduk dibonceng. Supir tentu depan. Sementara kambing saya peluk di tengah. Kami sungguh mesra. Orang-orang di sepanjang jalan selalu menatap kami penuh kagum dan iri.

Ke empat, di masa yang sama, saya jual kotoran mereka yang banyaknya satu bak mobil penuh kepada para petani.

Ke lima, ini yang paling penting. Tidak. Saya tidak bau kambing.




Karena itu, siapa diantara mereka yang berani bilang bahwa, ”Saya cinta kamu”, eh, ”Saya suka kambing”, tanpa bukti-bukti terdahulu?
Sini, saya seruduk!




Selamat Idul Adha 1429H
Mari kita berpesta daging...




“Fear the goat from the front, the horse from the rear, and man from all sides.”
[Anonimous]




I Love Goat


Dari semua hewan yang terdapat di seluruh permukaan bumi, saya sangat bersyukur Tuhan menciptakan kambing.

Sate, steak, gulai. Ah, sedapnya.

Sampai-sampai saya berpikir bahwa… ini mungkin hidangan kiriman dari warung-warung di surga. Pernah suatu kali saya habiskan 40 tusuk sate kambing dalam waktu kurang dari satu jam. Saya potong-potong sendiri itu kambing. Saya tusuk-tusuk penuh nafsu. Lalu saya panggang. Bumbu maranggi tidak terlupa disertakan: kecap, bawang, cabe ijo. Malam harinya dilanjutkan dengan pesta lamb chop. Jangan tanya berapa yang masuk ke dalam perut.


Idul Adha 2 tahun lalu.
Salah satu hari terbaik di sepanjang hidup saya.




Tapi siapapun bisa saja bilang,
”Saya juga sangat suka kambing, Andi.”
”Sate kambing favorit saya, lho. Bener!”
”Saya sangat suka steak kambing.”




Komentar saya terhadap mereka adalah,
”Huh! Yeah, rite!!!”

Berkata, ”Saya suka kambing”, menurut saya tidak ada bedanya dengan ngomong Saya suka kamu”, atau, ”I love you.”

Kebanyakan omong kosong belaka tanpa disertai pembuktian terlebih dahulu. Tanpa sertifikat lulus uji. Berkata tanpa benar-benar mengerti akan konsekuensinya, tanpa mengukur berapa kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk melunturkan perasaan itu.

Berbeda sekali dengan saya. Ketika saya nyatakan bahwa saya suka kambing, maka itu memang benar demikian. Bagaimana lagi, saya sudah menunjukkan bukti-bukti nyata.

Pertama, sejak duduk di bangku SD, saya sudah memilih sendiri kambing yang akan dipotong untuk hewan kurban. Saya berkeliling tanpa lelah di sepanjang Jalan Katamso dan Pahlawan Bandung sampai diperoleh kambing terbaik yang sesuai dengan harganya. Tanduk, paha, tinggi, bulu. Saya teliti semua. Termasuk agresivitas mereka. Semakin suka menyeruduk, semakin yahud.

Ke dua, sejak SMA, saya sudah terbiasa memotong sendiri leher mereka, mengulitinya, dan memotongnya hingga kecil-kecil. Tangan saya sudah sering belepotan darah mereka.

Ke tiga, di masa kuliah, selama dua tahun berturut-turut, saya berperan sebagai pedagang kambing. Dari mulai mencari suplier, membangun kandang, berhadapan dengan konsumen, sampai mengantarkan para kambing ke tempat-tempat pemotongan. Pakai apa? Pakai motor. Saya duduk dibonceng. Supir tentu depan. Sementara kambing saya peluk di tengah. Kami sungguh mesra. Orang-orang di sepanjang jalan selalu menatap kami penuh kagum dan iri.

Ke empat, di masa yang sama, saya jual kotoran mereka yang banyaknya satu bak mobil penuh kepada para petani.

Ke lima, ini yang paling penting. Tidak. Saya tidak bau kambing.




Karena itu, siapa diantara mereka yang berani bilang bahwa, ”Saya cinta kamu”, eh, ”Saya suka kambing”, tanpa bukti-bukti terdahulu?
Sini, saya seruduk!




Selamat Idul Adha 1429H
Mari kita berpesta daging...




“Fear the goat from the front, the horse from the rear, and man from all sides.”
[Anonimous]




Senin, 01 Desember 2008

Memory Salon Memory


ada yang mengetuk di balik pintu

desau angin, rintik hujan, gemerisik daun
mengirim berita
kau takkan pernah tiba

siapa yang mengendap di atas atap?
tikus rumah dan kucing malam, rupanya
kata mereka
kau tidak lagi singgah

lalu apa yang mengintip di balik jendela
sejenis jin, mirip manusia, jelek rupa
bisiknya
lupakan saja

Bandung, 16-04-2004




Dengan segala kerendahan hati, saya akui bahwa Tuhan telah menganugerahi saya daya ingat yang luar biasa. Bukan pada nama, tanggal atau hafalan. Juga kesalahan orang lain. Apalagi tagihan hutang. Hutang bukan untuk diingat, tapi... dibayar.

Yang saya maksud di sini adalah, daya ingat saya akan sebuah kejadian sangat sulit dicari tandingannya. Pada detil-detil kecil. Aroma yang tercium. Cara makan. Menjentikkan jari. Mengibaskan rambut. Sifat dan sikap.

Untuk mengingat, saya cukup menjatuhkan diri. Tapi untuk melupakan, saya harus merangkak.

Tulisan dengan huruf miring di atas saya buat empat tahun setengah yang lalu. Saya masih begitu muda waktu itu. Masih lucu-lucunya. Bikin gemes, pokoknya. Tapi, tidak. Bukan ini yang hendak saya ceritakan. Memang penting, tapi lain kali saja saya beberkan lebih dalam.

Saya menulisnya di kantin kampus. Waktu itu, belum setahun sejak saya lulus kuliah. Saya duduk sendiri di salah satu bangku. Perut sudah terisi, tenggorokan sudah basah. Rokok menyala setengah. Kantin cukup ramai oleh mahasiswa. Juga mahasiswi. Sebagian dari mereka cukup cantik, enak diintip diam-diam. Sebagian lagi cantik sekali, sedap dipandang.

Tiba-tiba saja muncul sebuah ide brilian di kepala saya. Sebuah hasil pemikiran yang sangat jenius. Sulit dicarikan tandingannya. Patut diberi penghargaan. Layak mendapatkan Oscar atau Nobel. Jika dibukukan, saya yakin Pulitzer menanti. Minimal Ramon Magsaysay Award pasti di tangan.

Saya tidak perlu susah payah berusaha untuk melupakan. Tapi saya cukup merekayasa memori baru. Saya ciptakan ingatan yang berbeda. Yang jauh lebih menyenangkan, tentu saja. Dengan demikian, hal abu-abu yang pernah saya alami bisa berubah penuh warna ketika saya mengenangnya.

Mereka bilang itu menipu diri, saya bilang ini menghibur hati. Mereka mengejek bahwa saya mengkhayal, saya katakan ini imajinasi. Mereka bilang hadapi saja kenyataan, saya jawab: jangan ganggu. Saya sedang bermimpi.









“Memory can change the shape of a room; it can change the color of a car. And memories can be distorted. They’re just an interpretation, they’re not a record, and they’re irrelevant if you have the facts.”
[Leonard Shelby, Memento]








Memory Salon Memory


ada yang mengetuk di balik pintu

desau angin, rintik hujan, gemerisik daun
mengirim berita
kau takkan pernah tiba

siapa yang mengendap di atas atap?
tikus rumah dan kucing malam, rupanya
kata mereka
kau tidak lagi singgah

lalu apa yang mengintip di balik jendela
sejenis jin, mirip manusia, jelek rupa
bisiknya
lupakan saja

Bandung, 16-04-2004




Dengan segala kerendahan hati, saya akui bahwa Tuhan telah menganugerahi saya daya ingat yang luar biasa. Bukan pada nama, tanggal atau hafalan. Juga kesalahan orang lain. Apalagi tagihan hutang. Hutang bukan untuk diingat, tapi... dibayar.

Yang saya maksud di sini adalah, daya ingat saya akan sebuah kejadian sangat sulit dicari tandingannya. Pada detil-detil kecil. Aroma yang tercium. Cara makan. Menjentikkan jari. Mengibaskan rambut. Sifat dan sikap.

Untuk mengingat, saya cukup menjatuhkan diri. Tapi untuk melupakan, saya harus merangkak.

Tulisan dengan huruf miring di atas saya buat empat tahun setengah yang lalu. Saya masih begitu muda waktu itu. Masih lucu-lucunya. Bikin gemes, pokoknya. Tapi, tidak. Bukan ini yang hendak saya ceritakan. Memang penting, tapi lain kali saja saya beberkan lebih dalam.

Saya menulisnya di kantin kampus. Waktu itu, belum setahun sejak saya lulus kuliah. Saya duduk sendiri di salah satu bangku. Perut sudah terisi, tenggorokan sudah basah. Rokok menyala setengah. Kantin cukup ramai oleh mahasiswa. Juga mahasiswi. Sebagian dari mereka cukup cantik, enak diintip diam-diam. Sebagian lagi cantik sekali, sedap dipandang.

Tiba-tiba saja muncul sebuah ide brilian di kepala saya. Sebuah hasil pemikiran yang sangat jenius. Sulit dicarikan tandingannya. Patut diberi penghargaan. Layak mendapatkan Oscar atau Nobel. Jika dibukukan, saya yakin Pulitzer menanti. Minimal Ramon Magsaysay Award pasti di tangan.

Saya tidak perlu susah payah berusaha untuk melupakan. Tapi saya cukup merekayasa memori baru. Saya ciptakan ingatan yang berbeda. Yang jauh lebih menyenangkan, tentu saja. Dengan demikian, hal abu-abu yang pernah saya alami bisa berubah penuh warna ketika saya mengenangnya.

Mereka bilang itu menipu diri, saya bilang ini menghibur hati. Mereka mengejek bahwa saya mengkhayal, saya katakan ini imajinasi. Mereka bilang hadapi saja kenyataan, saya jawab: jangan ganggu. Saya sedang bermimpi.









“Memory can change the shape of a room; it can change the color of a car. And memories can be distorted. They’re just an interpretation, they’re not a record, and they’re irrelevant if you have the facts.”
[Leonard Shelby, Memento]