Selasa, 27 Januari 2009

Bahaya Alkohol

Sudah berapa lama kita tidak saling menyapa?
Hush, tidak usah dihitung.
Akan habis jari tangan plus kaki kamu, nanti.
Mungkin akan butuh sempoa.
Dalam hitung-menghitung,
kamu memang bukan bagiannya.

Karena itu, kamu diam saja, ya.
Kali ini biarkan saya bercerita.
Duduk manis sana.
Hey, jangan jauh-jauh.
Saya ngga mau kalau mesti teriak-teriak, nantinya.

Begini.
Kamu masih ingat waktu pertama kali kita ketemu?
...
Ah, lama sekali kamu menjawab.
Sudah tidak pandai berhitung,
juga tidak pandai mengingat.
Baiklah, saya kasih tahu.
Tapi cuma kali ini, ya.
Kali lain, tidak.

Waktu itu,
...
Hey, kamu jangan melamun!
Dengar baik-baik.

Waktu pertama kali kita ketemu,
kita masih sama-sama bloon.
Ah, salah.
Saya masih sedikit lebih pintar, sebenarnya.
Hanya sedikit, jangan protes.

Kenapa saya sebut bloon?
Tidak usah dijawab.
Kan sudah saya bilang, saya tidak mau disela.

Kenapa saya sebut bloon?
Karena dahulu
masing-masing kita merasa diri ini sudah pintar.
Merasa sudah tahu segala sesuatunya.
Entah tersambat oleh apa,
kita seringkali terburu-buru mengambil kesimpulan
atas apa yang kita alami.

Diberi kesenangan, dikiranya anugerah.
Dikasih kesulitan, disangka tengah dicoba-Nya.

Tidak tahu bahwa bisa saja keadaan justru sebaliknya, bukan?

...

Apa? Sampai saat ini, kamu masih tidak tahu hal sesederhana itu?

Tuh, kan, persis seperti yang tadi saya bilang.
Saya memang sedikit lebih pintar.
Bahkan, jauh lebih pintar.

Iya, dari kamu.

Kesimpulannya?
Aih.
Kenapa segala sesuatu harus disimpulkan, sih?
Tidakkah kamu pernah biarkan sesuatu berjalan apa adanya
dan menitipkannya pada waktu?




Apa?
Kamu ngga ngerti maksud omongan saya?
Aih.
Kenapa segala sesuatu harus buru-buru dimengerti, sih?






Apa? Saya ngalor-ngidul?







Ditulis dalam kondisi di bawah pengaruh alkohol...

Bahaya Alkohol

Sudah berapa lama kita tidak saling menyapa?
Hush, tidak usah dihitung.
Akan habis jari tangan plus kaki kamu, nanti.
Mungkin akan butuh sempoa.
Dalam hitung-menghitung,
kamu memang bukan bagiannya.

Karena itu, kamu diam saja, ya.
Kali ini biarkan saya bercerita.
Duduk manis sana.
Hey, jangan jauh-jauh.
Saya ngga mau kalau mesti teriak-teriak, nantinya.

Begini.
Kamu masih ingat waktu pertama kali kita ketemu?
...
Ah, lama sekali kamu menjawab.
Sudah tidak pandai berhitung,
juga tidak pandai mengingat.
Baiklah, saya kasih tahu.
Tapi cuma kali ini, ya.
Kali lain, tidak.

Waktu itu,
...
Hey, kamu jangan melamun!
Dengar baik-baik.

Waktu pertama kali kita ketemu,
kita masih sama-sama bloon.
Ah, salah.
Saya masih sedikit lebih pintar, sebenarnya.
Hanya sedikit, jangan protes.

Kenapa saya sebut bloon?
Tidak usah dijawab.
Kan sudah saya bilang, saya tidak mau disela.

Kenapa saya sebut bloon?
Karena dahulu
masing-masing kita merasa diri ini sudah pintar.
Merasa sudah tahu segala sesuatunya.
Entah tersambat oleh apa,
kita seringkali terburu-buru mengambil kesimpulan
atas apa yang kita alami.

Diberi kesenangan, dikiranya anugerah.
Dikasih kesulitan, disangka tengah dicoba-Nya.

Tidak tahu bahwa bisa saja keadaan justru sebaliknya, bukan?

...

Apa? Sampai saat ini, kamu masih tidak tahu hal sesederhana itu?

Tuh, kan, persis seperti yang tadi saya bilang.
Saya memang sedikit lebih pintar.
Bahkan, jauh lebih pintar.

Iya, dari kamu.

Kesimpulannya?
Aih.
Kenapa segala sesuatu harus disimpulkan, sih?
Tidakkah kamu pernah biarkan sesuatu berjalan apa adanya
dan menitipkannya pada waktu?




Apa?
Kamu ngga ngerti maksud omongan saya?
Aih.
Kenapa segala sesuatu harus buru-buru dimengerti, sih?






Apa? Saya ngalor-ngidul?







Ditulis dalam kondisi di bawah pengaruh alkohol...

Sabtu, 24 Januari 2009

Gong Xi Fat Choi




Sebagai pemerhati kebudayaan Tiongkok dan Jurus Kungfu, ijinkanlah saya menyapa kamu dari seberang lautan. Di sana kamu pasti sedang menikmati kue keranjang dan menebak-nebak isi angpao.

Gong Xi Fat Choi
Selamat Tahun Baru Imlek

Saya juga ingin mengucapkan salam kepada mereka, orang-orang yang sudah menginspirasi saya.

#1 Pendekar Pemanah Rajawali Kwe Cheng
Meski IQ di bawah rata-rata, namun sifat ksatriamu telah menginspirasi saya sejak saya remaja. Dari dirimulah saya tahu bagaimana seorang laki-laki itu harus bersikap. Kesetiaan pada negeri dan apa yang diyakini.

#2 Pendekar Hina Kelana Ling Hu Chong
Karena kamulah saya hidup dengan prinsip Blak-Blakan: Blak nangkarak-Blak nangkuban. Kamulah yang menginspirasi saya untuk selalu menertawakan dunia. Usah peduli dengan semua tuntutan soial yang merepotkan dan tidak ada ujungnya itu. Xiao Ao Jiang Hu Zhi.

#3 Pendekar Siau Hi Ji
Sangat pintar, juga teramat licik. Sesuai arti nama kamu, ikan kecil yang terlepas dari jaring, kamu selalu selamat dari marabahaya. Tidak pernah berputus asa.

#4 Pendekar Harum Chu Liu Xiang
Ah, laki-laki mana yang tidak mau seperti kamu yang selalu dikelilingi gadis-gadis cantik dan wangi.

#5 Putri Iblis Ren Ying Ying
Kecantikanmu, kebaikan hatimu dan ketulusan dalam mencintai seorang laki-laki telah membuat saya tersungkur. Sungguh. Seandainya saya terlahir di awal abad 15, sudah saya nikahi kamu. Saya kejar selalu. Dan akan saya singkirkan semua yang menghalangi, termasuk si Ren Wo Xing atau pun Dong Fang Bu Bai.

#6 Gadis Mongol Zhao Min
Sekiranya saya menjadi suami kamu, tentu saya akan selalu direpotkan. Sudah kurus kering badan saya. Kamu begitu cantik, tapi juga teramat licik. Panjang akal dengan seribu jalan keluar. Tidak pernah mau kalah. Pencemburu sejati. Tapi… tapi… kamu selalu perjuangkan apa yang kamu inginkan. Tidak peduli itu calon suami orang, kamu rebut juga.
Ah, seharusnya kita menjadi pasangan serasi, bukan?



Kepada kalian semua, Gong Xi Fat Choi.
Semoga di tahun kerbau ini kita berlimpahan angpao.
Xie Xie…



Ai Sing Man Thian Sia. Rasa cinta membanjiri kaki langit.
[Pepatah Tiongkok]



Gong Xi Fat Choi




Sebagai pemerhati kebudayaan Tiongkok dan Jurus Kungfu, ijinkanlah saya menyapa kamu dari seberang lautan. Di sana kamu pasti sedang menikmati kue keranjang dan menebak-nebak isi angpao.

Gong Xi Fat Choi
Selamat Tahun Baru Imlek

Saya juga ingin mengucapkan salam kepada mereka, orang-orang yang sudah menginspirasi saya.

#1 Pendekar Pemanah Rajawali Kwe Cheng
Meski IQ di bawah rata-rata, namun sifat ksatriamu telah menginspirasi saya sejak saya remaja. Dari dirimulah saya tahu bagaimana seorang laki-laki itu harus bersikap. Kesetiaan pada negeri dan apa yang diyakini.

#2 Pendekar Hina Kelana Ling Hu Chong
Karena kamulah saya hidup dengan prinsip Blak-Blakan: Blak nangkarak-Blak nangkuban. Kamulah yang menginspirasi saya untuk selalu menertawakan dunia. Usah peduli dengan semua tuntutan soial yang merepotkan dan tidak ada ujungnya itu. Xiao Ao Jiang Hu Zhi.

#3 Pendekar Siau Hi Ji
Sangat pintar, juga teramat licik. Sesuai arti nama kamu, ikan kecil yang terlepas dari jaring, kamu selalu selamat dari marabahaya. Tidak pernah berputus asa.

#4 Pendekar Harum Chu Liu Xiang
Ah, laki-laki mana yang tidak mau seperti kamu yang selalu dikelilingi gadis-gadis cantik dan wangi.

#5 Putri Iblis Ren Ying Ying
Kecantikanmu, kebaikan hatimu dan ketulusan dalam mencintai seorang laki-laki telah membuat saya tersungkur. Sungguh. Seandainya saya terlahir di awal abad 15, sudah saya nikahi kamu. Saya kejar selalu. Dan akan saya singkirkan semua yang menghalangi, termasuk si Ren Wo Xing atau pun Dong Fang Bu Bai.

#6 Gadis Mongol Zhao Min
Sekiranya saya menjadi suami kamu, tentu saya akan selalu direpotkan. Sudah kurus kering badan saya. Kamu begitu cantik, tapi juga teramat licik. Panjang akal dengan seribu jalan keluar. Tidak pernah mau kalah. Pencemburu sejati. Tapi… tapi… kamu selalu perjuangkan apa yang kamu inginkan. Tidak peduli itu calon suami orang, kamu rebut juga.
Ah, seharusnya kita menjadi pasangan serasi, bukan?



Kepada kalian semua, Gong Xi Fat Choi.
Semoga di tahun kerbau ini kita berlimpahan angpao.
Xie Xie…



Ai Sing Man Thian Sia. Rasa cinta membanjiri kaki langit.
[Pepatah Tiongkok]



Kamis, 22 Januari 2009

Don't Ask Me Why, Please...



Nyaris setiap orang yang mengaku perhatian pada saya selalu bilang begini,

“Andi, tolong ya, itu janggutnya dipotong.”
“Baiklah akan saya tolong. Janggut siapa yang harus saya potong?”




Disebabkan saya adalah seorang laki-laki yang tidak suka berbuat sesuatu hanya demi menyenangkan orang lain, maka janggut saya pun selamat selama ini. Panjang dan subur. Lebat dan rimbun. Meski, dibandingkan orang Arab, janganlah dibandingkan. Bandingkanlah dengan Ahmad Dani.

“Janggut ini tempat bergelantungnya para malaikat,” kata saya membela diri.
“Iya. Malaikat pencabut nyawa, pencatat amal buruk, peniup sangsakala hari kiamat.”

Tetap saja, meski dibilang begitu, janggut saya tetap bergantung di dagu.



Sebenarnya. kenapa sampai memelihara janggut?
Jangan tanya. Tidak akan saya berikan jawabannya. Dan baru-baru ini, saya mulai belajar untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diawali dengan kata kenapa.
Kenapa?
Karena saya selalu saja menjawab dengan asal setiap kali ditanya demikian. Asbun. Asal Buntit.
Kenapa?
Karena, toh, apapun jawaban saya, mereka akan mendebatnya. Kadang mencibir.
Kenapa?
Karena manusia kebanyakan sulit untuk menerima jawaban-jawaban paling sederhana dan atau bersifat sangat pribadi. Sewaktu bertanya kenapa, pasti bukan karena ingin tahu. Mereka sudah punya jawabannya sendiri atau sekedar menguji. Lalu memaksa agar jawaban sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran. Bahkan terkadang, apapun alasan yang diberikan, toh tidak akan didengar.
Kenapa?
Karena mungkin waktu kecil, orangtua mereka jarang di rumah dan mereka dibesarkan oleh tetangga.
Kenapa?
Karena orangtuanya sibuk cari uang buat biaya kuliah mereka belasan tahun ke depan. Buat beli mobil, rumah dan berlibur ke Timbuktu.


Tuh kan, kalau saya ditanya kenapa, jawaban saya ngalor ngidul selalu.

Tapi, hari ini, saya memutuskan bahwa mulai nanti malam, janggut saya harus sudah dipotong habis tak bersisa.
Kenapa?
Bukan karena ingin memenuhi keinginan orang lain. Atau keinginan kamu. Bukan pula karena dalam rangka memenuhi nazar setelah naik jabatan. Apalagi patah hati. Ini tidak lain disebabkan sebuah insiden yang sering saya alami. Janggut saya selalu menyangkut di resleting jaket.

Dan usah ditanya bagaimana repotnya saya melepaskan satu persatu itu bulu janggut setiap kali tersangkut.





Ah, tidak akan lagi saya adu mirip dengan Ahmad Dhani.





“Once the people begin to reason, all is lost.”
[Voltaire]


Don't Ask Me Why, Please...



Nyaris setiap orang yang mengaku perhatian pada saya selalu bilang begini,

“Andi, tolong ya, itu janggutnya dipotong.”
“Baiklah akan saya tolong. Janggut siapa yang harus saya potong?”




Disebabkan saya adalah seorang laki-laki yang tidak suka berbuat sesuatu hanya demi menyenangkan orang lain, maka janggut saya pun selamat selama ini. Panjang dan subur. Lebat dan rimbun. Meski, dibandingkan orang Arab, janganlah dibandingkan. Bandingkanlah dengan Ahmad Dani.

“Janggut ini tempat bergelantungnya para malaikat,” kata saya membela diri.
“Iya. Malaikat pencabut nyawa, pencatat amal buruk, peniup sangsakala hari kiamat.”

Tetap saja, meski dibilang begitu, janggut saya tetap bergantung di dagu.



Sebenarnya. kenapa sampai memelihara janggut?
Jangan tanya. Tidak akan saya berikan jawabannya. Dan baru-baru ini, saya mulai belajar untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diawali dengan kata kenapa.
Kenapa?
Karena saya selalu saja menjawab dengan asal setiap kali ditanya demikian. Asbun. Asal Buntit.
Kenapa?
Karena, toh, apapun jawaban saya, mereka akan mendebatnya. Kadang mencibir.
Kenapa?
Karena manusia kebanyakan sulit untuk menerima jawaban-jawaban paling sederhana dan atau bersifat sangat pribadi. Sewaktu bertanya kenapa, pasti bukan karena ingin tahu. Mereka sudah punya jawabannya sendiri atau sekedar menguji. Lalu memaksa agar jawaban sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran. Bahkan terkadang, apapun alasan yang diberikan, toh tidak akan didengar.
Kenapa?
Karena mungkin waktu kecil, orangtua mereka jarang di rumah dan mereka dibesarkan oleh tetangga.
Kenapa?
Karena orangtuanya sibuk cari uang buat biaya kuliah mereka belasan tahun ke depan. Buat beli mobil, rumah dan berlibur ke Timbuktu.


Tuh kan, kalau saya ditanya kenapa, jawaban saya ngalor ngidul selalu.

Tapi, hari ini, saya memutuskan bahwa mulai nanti malam, janggut saya harus sudah dipotong habis tak bersisa.
Kenapa?
Bukan karena ingin memenuhi keinginan orang lain. Atau keinginan kamu. Bukan pula karena dalam rangka memenuhi nazar setelah naik jabatan. Apalagi patah hati. Ini tidak lain disebabkan sebuah insiden yang sering saya alami. Janggut saya selalu menyangkut di resleting jaket.

Dan usah ditanya bagaimana repotnya saya melepaskan satu persatu itu bulu janggut setiap kali tersangkut.





Ah, tidak akan lagi saya adu mirip dengan Ahmad Dhani.





“Once the people begin to reason, all is lost.”
[Voltaire]


Senin, 19 Januari 2009

Kampung Halaman Aisa

Aisa,
Pernahkah kamu melihat bintang jatuh?


Tak usah dijawab, sayang.
Karena bapak tahu jawabannya adalah pernah.
Pasti pernah.
Dan sandainya ternyata bapak barusan sok tahu,
maafkan, ya.
Maukah kamu memaafkan bapakmu satu-satunya ini?
Yang tak ada duanya itu...
Yang kasihnya padamu melimpah seperti banjir itu...
Yang sayangnya padamu tak dapat dikalkulasi itu...
Janganlah karena bapak sudah sok tahu,
lantas hubungan kita berakhir sampai di sini.

Ada pun kenapa bapak mengajukan pertanyaan tadi,
itu tidak ada hubungannya dengan surat bapak kali ini.
Bapak hendak bercerita tentang kampung halaman dari mana bapak berasal.
Asal usul dan bagaimana ayahmu ini dibesarkan.

Maafkan jika bapak sudah tidak nyambung, sayang.
Maukah kamu sekali lagi memaafkan?

Aih.
Bapak harap kamu tidak malu punya ayah seperti bapak.
Sudah sok tahu, tidak nyambung pula...

Bagaimana lagi,
kebiasaan itu sudah tumbuh sejak bapak masih SMA.
Belasan tahun yang lalu.
Waktu bapak masih gagah-gagahnya.

SMA itu Sekolah Menengah Atas, sayang.
Seragamnya putih abu.
Yah, sekedar informasi sambil lalu.
Bapak ceritakan di sini karena bapak tidak tahu
apakah namanya nanti di zamanmu.

Kembali ke cerita bapak tentang bintang jatuh,
semalam bapak melihatnya.
Bapak melihat bintang jatuh.
Jatuh dia dari langit malam.
Segera bapak tangkap
lalu bapak serahkan.


Bukan, Aisa.
Bukan diserahkan pada yang berwajib.
Tapi pada ibumu.
Makin senang dia pada bapak.


Juga makin cinta, tentunya.

Kampung Halaman Aisa

Aisa,
Pernahkah kamu melihat bintang jatuh?


Tak usah dijawab, sayang.
Karena bapak tahu jawabannya adalah pernah.
Pasti pernah.
Dan sandainya ternyata bapak barusan sok tahu,
maafkan, ya.
Maukah kamu memaafkan bapakmu satu-satunya ini?
Yang tak ada duanya itu...
Yang kasihnya padamu melimpah seperti banjir itu...
Yang sayangnya padamu tak dapat dikalkulasi itu...
Janganlah karena bapak sudah sok tahu,
lantas hubungan kita berakhir sampai di sini.

Ada pun kenapa bapak mengajukan pertanyaan tadi,
itu tidak ada hubungannya dengan surat bapak kali ini.
Bapak hendak bercerita tentang kampung halaman dari mana bapak berasal.
Asal usul dan bagaimana ayahmu ini dibesarkan.

Maafkan jika bapak sudah tidak nyambung, sayang.
Maukah kamu sekali lagi memaafkan?

Aih.
Bapak harap kamu tidak malu punya ayah seperti bapak.
Sudah sok tahu, tidak nyambung pula...

Bagaimana lagi,
kebiasaan itu sudah tumbuh sejak bapak masih SMA.
Belasan tahun yang lalu.
Waktu bapak masih gagah-gagahnya.

SMA itu Sekolah Menengah Atas, sayang.
Seragamnya putih abu.
Yah, sekedar informasi sambil lalu.
Bapak ceritakan di sini karena bapak tidak tahu
apakah namanya nanti di zamanmu.

Kembali ke cerita bapak tentang bintang jatuh,
semalam bapak melihatnya.
Bapak melihat bintang jatuh.
Jatuh dia dari langit malam.
Segera bapak tangkap
lalu bapak serahkan.


Bukan, Aisa.
Bukan diserahkan pada yang berwajib.
Tapi pada ibumu.
Makin senang dia pada bapak.


Juga makin cinta, tentunya.

Selasa, 13 Januari 2009

Stupid Things




Sebagai pemerhati perilaku manusia, saya begitu banyak menemukan hal-hal konyol dari mereka. Sebagian terlalu sensitif untuk dibicarakan. Sebagian lagi layak untuk saya tertawakan.

#1 Jodoh

Bagi mereka yang bukan atheis, jodoh itu adalah created by God. Jodoh dipercaya sebagai aturan-Nya. Tak ada itu manusia campur tangan mengurusi. Katanya.

Namun, ada dua hal yang sangat konyol di sini. Pertama, jika sepasang manusia baru saja menikah, statement bahwa mereka berjodoh seringkali terburu-buru disandangkan. Padahal kan perjalanan justru baru dimulai. Kedua, jika berhubungan dengan jodoh, kebanyakan orang pasif sekali sifatnya. Terutama pada mereka yang berjenis kelamin perempuan. Lebih banyak menunggu. Berbeda sekali jika sedang mencari rizki. Banting tulang, siang malam plus begadang. Begitu juga yang berhubungan dengan mati. Mati-matian mereka menghindari.

Padahal… jodoh, rizki dan mati… berbedakah aturan mainnya?

#2 Komitmen

Saya selalu ingin tertawa pada setiap adegan dialog begini,
“Dia ngga mau pacaran. Soalnya belum mau berkomitmen.”

Sebentar, saya tertawa dulu.
“Huahahahahhaha….”

Sungguh, konyol sekali kalian. Eh, mereka. Konyol sekali mereka yang menganggap bahwa terdapat komitmen dalam hubungan yang dinamakan pacaran, sementara tidak pernah disebut-sebut istilah komitmen dalam berteman. Dalam persahabatan bertahun-tahun. Dalam hubungan kakak-adik, anak-orangtua.

Terkadang mereka setia sekali pada pacar, tapi tidak pada perusahaan yang padanya mereka diperlakukan sopan, gaji mencukupi disertai perlindungan kesehatan. Hanya karena tawaran gaji yang lebih besar dan jenis pekerjaan yang lebih menantang dari perusahaan lain, kabur begitu saja. Yah, masih lebih baik jika memberikan 1 month notice. Ada say goodbye. Datang tampak wajah, pulang kelihatan pantatnya. Tapi, itu kan hak. Saya setuju saja. Mangut-mangut kepala saya.

Namun, maksud saya di sini adalah, pada perusahaan tempat kita bekerja saja kita bisa keluar demi tawaran lebih baik. Meski, sebelumnya kita sudah menandatangani kontrak di atas materai berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Karena itu, apa anehnya jika berpaling dari pacar lama demi pacar baru yang konon lebih baik? Apalagi, “komitmen” pada pacar kan cuma di mulut saja. Tidak ada itu materai 6000 dan tanda tangan para saksi.

Berbeda dengan pernikahan. Komitmen diberikan pada pihak pasangan, negara, dan tentu saja… Tuhan di atas sana. Silakan saja kalau kamu berani melanggar. Saya sih ngga.

Karena itu, kamu jangan larut dalam sedih jika tiba-tiba diputuskan pacar yang sudah berkomitmen bertahun-tahun. Kesimpulannya, mungkin kalian tidak berjodoh.


















Sebuah kesimpulan konyol.






Stupid Things




Sebagai pemerhati perilaku manusia, saya begitu banyak menemukan hal-hal konyol dari mereka. Sebagian terlalu sensitif untuk dibicarakan. Sebagian lagi layak untuk saya tertawakan.

#1 Jodoh

Bagi mereka yang bukan atheis, jodoh itu adalah created by God. Jodoh dipercaya sebagai aturan-Nya. Tak ada itu manusia campur tangan mengurusi. Katanya.

Namun, ada dua hal yang sangat konyol di sini. Pertama, jika sepasang manusia baru saja menikah, statement bahwa mereka berjodoh seringkali terburu-buru disandangkan. Padahal kan perjalanan justru baru dimulai. Kedua, jika berhubungan dengan jodoh, kebanyakan orang pasif sekali sifatnya. Terutama pada mereka yang berjenis kelamin perempuan. Lebih banyak menunggu. Berbeda sekali jika sedang mencari rizki. Banting tulang, siang malam plus begadang. Begitu juga yang berhubungan dengan mati. Mati-matian mereka menghindari.

Padahal… jodoh, rizki dan mati… berbedakah aturan mainnya?

#2 Komitmen

Saya selalu ingin tertawa pada setiap adegan dialog begini,
“Dia ngga mau pacaran. Soalnya belum mau berkomitmen.”

Sebentar, saya tertawa dulu.
“Huahahahahhaha….”

Sungguh, konyol sekali kalian. Eh, mereka. Konyol sekali mereka yang menganggap bahwa terdapat komitmen dalam hubungan yang dinamakan pacaran, sementara tidak pernah disebut-sebut istilah komitmen dalam berteman. Dalam persahabatan bertahun-tahun. Dalam hubungan kakak-adik, anak-orangtua.

Terkadang mereka setia sekali pada pacar, tapi tidak pada perusahaan yang padanya mereka diperlakukan sopan, gaji mencukupi disertai perlindungan kesehatan. Hanya karena tawaran gaji yang lebih besar dan jenis pekerjaan yang lebih menantang dari perusahaan lain, kabur begitu saja. Yah, masih lebih baik jika memberikan 1 month notice. Ada say goodbye. Datang tampak wajah, pulang kelihatan pantatnya. Tapi, itu kan hak. Saya setuju saja. Mangut-mangut kepala saya.

Namun, maksud saya di sini adalah, pada perusahaan tempat kita bekerja saja kita bisa keluar demi tawaran lebih baik. Meski, sebelumnya kita sudah menandatangani kontrak di atas materai berisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Karena itu, apa anehnya jika berpaling dari pacar lama demi pacar baru yang konon lebih baik? Apalagi, “komitmen” pada pacar kan cuma di mulut saja. Tidak ada itu materai 6000 dan tanda tangan para saksi.

Berbeda dengan pernikahan. Komitmen diberikan pada pihak pasangan, negara, dan tentu saja… Tuhan di atas sana. Silakan saja kalau kamu berani melanggar. Saya sih ngga.

Karena itu, kamu jangan larut dalam sedih jika tiba-tiba diputuskan pacar yang sudah berkomitmen bertahun-tahun. Kesimpulannya, mungkin kalian tidak berjodoh.


















Sebuah kesimpulan konyol.






Sabtu, 10 Januari 2009

Turun

 
  
 
Sejak hari Jumat kemarin, saya resmi pindah ruangan kerja. Sebuah projek lama yang sudah bertahun-tahun tidak juga tuntas membutuhkan tenaga saya. Juga pikiran, tentunya. Sekiranya kelak butuh dana pun, sudah saya siapkan beberapa juta. Hanya doa yang mungkin sulit saya berikan. Doa kan harus tulus. Tanpa pamrih. Tanpa embel-embel. Hanya mereka yang saya cinta saja yang tidak pernah lupa saya doakan. 


Saya pindah meja, dari lantai 3 turun ke lantai 1. Semoga, ini bukan tanda-tanda menurunnya karir saya. Tapi, memangnya sejak kapan saya mengejar karir, bukan?

Saya cuma berencana bahwa dalam 5 tahun bekerja, saya sudah bisa menjabat sebagai manajer. Dua tahun kemudian, Kepala Divisi. Lalu di usia 35, menjadi Direktur Utama termuda dalam sejarah perusahaan.

Tapi, kemudian apa? 

Saya tahu bahwa ujung-ujungnya, saya hanya akan merasa hampa. Makan yang terenak adalah sewaktu perut lapar. Setelah penuh terisi...?


Karena itulah, tadi malam saya banyak berpikir dan berpikir. Larut saya dalam alam pikiran yang saya ciptakan sendiri. Sampai-sampai, mengantuk saya dibuatnya. Tahu-tahu, saya sudah  terbangun jam lima pagi. Lupa apa saja yang dipikirkan semalam.

Sampai akhirnya saya temukan sebuah surat yang ditujukan kepada saya. Si pengirim adalah seorang kawan lama. Teman dekat di masa lalu. Sahabat terbaik. Manis dia punya sikap, cantik dia punya wajah. Sopan pula tutur katanya. Kalau sedang bicara, semua orang pasti diam memperhatikan. Jika menangis, semua orang siap memukuli si penyebab kesedihan. Jika lapar, semua yang bisa dimakan, dia makan. 

Di dalam surat tesebut, dia menulis begini:

Andi, setiap kali kamu merasa hampa... setiap kali kamu merasa kehilangan arah dan tujuan, maka cobalah kamu pejamkan mata sesaat. Lalu tanyakan dirimu: Memangnya, selama ini, kamu punya arah dan tujuan? 







Nah...
Setelah dipikir-pikir, rupa-rupanya memang selama ini tidak pernah saya tetapkan arah dan tujuan hidup. Selidik punya selidik, saya serasa berjalan hanya mengikuti langkah kaki. Lurus dan belok bisa kapan saja, di mana saja, terserah saya. Atau bisa juga dibilang, tujuan saya hanyalah target 1-3 tahun di depan. 


Tidak. 
Saya tidak sedang merasa hampa. Tidak pula resah.
Tadi malam, saya hanya berpikir bahwa... mungkin sudah waktunya menyusun sebuah grand planning hidup di masa depan. Tahun ini, 3 tahun lagi, 10 tahun ke depan. Masa pensiun. Pasca pensiun... 


Dikubur di mana....


Kapling sorga atau neraka...


*sigh...


Hidup macam apa yang selalu disesuaikan dengan rencana?
Tidak ada yang lebih membosankan dari sebuah film yang alur dan endingnya mudah tertebak...






Dalam satu setengah tahun ke depan, saya harus sudah resign.





“I put all my genius into my life; I put only my talent into my works.”


Turun

 
  
 
Sejak hari Jumat kemarin, saya resmi pindah ruangan kerja. Sebuah projek lama yang sudah bertahun-tahun tidak juga tuntas membutuhkan tenaga saya. Juga pikiran, tentunya. Sekiranya kelak butuh dana pun, sudah saya siapkan beberapa juta. Hanya doa yang mungkin sulit saya berikan. Doa kan harus tulus. Tanpa pamrih. Tanpa embel-embel. Hanya mereka yang saya cinta saja yang tidak pernah lupa saya doakan. 


Saya pindah meja, dari lantai 3 turun ke lantai 1. Semoga, ini bukan tanda-tanda menurunnya karir saya. Tapi, memangnya sejak kapan saya mengejar karir, bukan?

Saya cuma berencana bahwa dalam 5 tahun bekerja, saya sudah bisa menjabat sebagai manajer. Dua tahun kemudian, Kepala Divisi. Lalu di usia 35, menjadi Direktur Utama termuda dalam sejarah perusahaan.

Tapi, kemudian apa? 

Saya tahu bahwa ujung-ujungnya, saya hanya akan merasa hampa. Makan yang terenak adalah sewaktu perut lapar. Setelah penuh terisi...?


Karena itulah, tadi malam saya banyak berpikir dan berpikir. Larut saya dalam alam pikiran yang saya ciptakan sendiri. Sampai-sampai, mengantuk saya dibuatnya. Tahu-tahu, saya sudah  terbangun jam lima pagi. Lupa apa saja yang dipikirkan semalam.

Sampai akhirnya saya temukan sebuah surat yang ditujukan kepada saya. Si pengirim adalah seorang kawan lama. Teman dekat di masa lalu. Sahabat terbaik. Manis dia punya sikap, cantik dia punya wajah. Sopan pula tutur katanya. Kalau sedang bicara, semua orang pasti diam memperhatikan. Jika menangis, semua orang siap memukuli si penyebab kesedihan. Jika lapar, semua yang bisa dimakan, dia makan. 

Di dalam surat tesebut, dia menulis begini:

Andi, setiap kali kamu merasa hampa... setiap kali kamu merasa kehilangan arah dan tujuan, maka cobalah kamu pejamkan mata sesaat. Lalu tanyakan dirimu: Memangnya, selama ini, kamu punya arah dan tujuan? 







Nah...
Setelah dipikir-pikir, rupa-rupanya memang selama ini tidak pernah saya tetapkan arah dan tujuan hidup. Selidik punya selidik, saya serasa berjalan hanya mengikuti langkah kaki. Lurus dan belok bisa kapan saja, di mana saja, terserah saya. Atau bisa juga dibilang, tujuan saya hanyalah target 1-3 tahun di depan. 


Tidak. 
Saya tidak sedang merasa hampa. Tidak pula resah.
Tadi malam, saya hanya berpikir bahwa... mungkin sudah waktunya menyusun sebuah grand planning hidup di masa depan. Tahun ini, 3 tahun lagi, 10 tahun ke depan. Masa pensiun. Pasca pensiun... 


Dikubur di mana....


Kapling sorga atau neraka...


*sigh...


Hidup macam apa yang selalu disesuaikan dengan rencana?
Tidak ada yang lebih membosankan dari sebuah film yang alur dan endingnya mudah tertebak...






Dalam satu setengah tahun ke depan, saya harus sudah resign.





“I put all my genius into my life; I put only my talent into my works.”


Kamis, 08 Januari 2009

Aisa Adinda



Teruntuk Aisa

yang kecantikannya
mampu mengganggu
mimpi raja-raja





Di luar sana, hujan begitu deras, Aisa.
Membasahi semua yang terkena curahnya.
Termasuk jemuran bapak.
Tiga kemeja dan dua celana plus dalamannya.
Mungkin besok masih bapak kenakan baju yang sama dengan hari ini.
Tapi bukan itu yang hendak bapak ceritakan.
Tak mau bapak membuatmu malu karena mengetahui ayahnya tidak rajin mencuci pakaiannya sendiri.

Aisa Adinda Kita, pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana kedua orangtuamu berjumpa?
Seperti apa semua asal mula hingga takdir menghadirkanmu ke dunia?
Adakah kamu merasa ingin tahu?

Pasanglah sabuk pengaman, sayang.
Akan begitu banyak goncangan.



Kisah ini dimulai dari sebuah lagu berjudul Aubrey.
Jatuh cinta bapak pada lagu itu.
Jatuh hati bapak pada nama si gadis.
Bermimpi bapak bisa berjumpa.
Dicari kesana kemari, namun tak pernah ada.
Di pantai. Di gunung.
Di sudut-sudut paling sunyi.
Di tengah keramaian.
Tidak juga bapak temukan.


Tapi cinta kemudian mendua.
Pada Mandy.
Pernah pula Jude, Michelle dan Lucy.

Dan Kartika...
juga Widuri...

Satu hal yang harus kamu tahu, Aisa, bahwa cinta bapak tidak ada habis-habisnya.
Satu persatu bapak bagi sama besarnya. Sama porsinya.
Karena itu, sayang, jika cinta adalah mata uang, kamu memiliki ayah terkaya di dunia.
Sudah kaya, dermawan pula.

Tidakkah kamu merasa bangga?





I never knew her, but I loved her just the same.
I loved her name...
[Aubrey, Bread]

Aisa Adinda



Teruntuk Aisa

yang kecantikannya
mampu mengganggu
mimpi raja-raja





Di luar sana, hujan begitu deras, Aisa.
Membasahi semua yang terkena curahnya.
Termasuk jemuran bapak.
Tiga kemeja dan dua celana plus dalamannya.
Mungkin besok masih bapak kenakan baju yang sama dengan hari ini.
Tapi bukan itu yang hendak bapak ceritakan.
Tak mau bapak membuatmu malu karena mengetahui ayahnya tidak rajin mencuci pakaiannya sendiri.

Aisa Adinda Kita, pernahkah kamu bertanya-tanya bagaimana kedua orangtuamu berjumpa?
Seperti apa semua asal mula hingga takdir menghadirkanmu ke dunia?
Adakah kamu merasa ingin tahu?

Pasanglah sabuk pengaman, sayang.
Akan begitu banyak goncangan.



Kisah ini dimulai dari sebuah lagu berjudul Aubrey.
Jatuh cinta bapak pada lagu itu.
Jatuh hati bapak pada nama si gadis.
Bermimpi bapak bisa berjumpa.
Dicari kesana kemari, namun tak pernah ada.
Di pantai. Di gunung.
Di sudut-sudut paling sunyi.
Di tengah keramaian.
Tidak juga bapak temukan.


Tapi cinta kemudian mendua.
Pada Mandy.
Pernah pula Jude, Michelle dan Lucy.

Dan Kartika...
juga Widuri...

Satu hal yang harus kamu tahu, Aisa, bahwa cinta bapak tidak ada habis-habisnya.
Satu persatu bapak bagi sama besarnya. Sama porsinya.
Karena itu, sayang, jika cinta adalah mata uang, kamu memiliki ayah terkaya di dunia.
Sudah kaya, dermawan pula.

Tidakkah kamu merasa bangga?





I never knew her, but I loved her just the same.
I loved her name...
[Aubrey, Bread]

Senin, 05 Januari 2009

OrangOrang Jalan Bali



“Mana yang kamu pilih, Ndi, menjadi Jutawan Dot Com atau Jutawan Dot Net?”








Itu adalah salah satu dari sekian juta pertanyaan tidak penting yang diajukan teman-teman saya selama ini. Dan setiap kali kami berkumpul, memang tidak ada hal yang kami anggap penting. Tidak satu pun. Joker tertinggal 13 tahun dari kami dengan Why So Serious-nya.

”Bagaimana kalau di kantor istri saya?” Zoel mengajukan usul tempat untuk kami mijit yang penting-penting alias miting. Markas di jalan Bali sudah digusur. Kami butuh sebuah tempat baru dalam rangka menjadi Jutawan Dot Co Dot ID.

”Jangan,” kali ini saya yang bersuara. ”Di sana banyak gadis muda yang masih single. Berbahaya.”

”Kenapa berbahaya? Memangnya saya ngga akan setia sama istri saya?” tanya Yusuf, seorang ayah dari satu balita.

”Di kamar kamu saja, Zoel. Yang di rumah ortu kamu itu. Lokasinya strategis, dekat ke mana-mana. Terutama, dekat ke dapur mama kamu. Lumayan bisa minta gorengan,” saya memberi usul lain. Sewaktu kami sekolah dan kuliah, kamarnya kami jadikan tempat bersua.

”Ngga mungkin. Di sana ada ranjang pengantin adik saya. King size pula ukurannya. Terlalu sempit buat kita berdiskusi dan berdebat kusir.”

”Kalau saya sih ngga masalah, mau di mana pun sama saja jauhnya,” celutuk Agan, seorang teman yang rumahnya di wilayah kabupaten dekat gunung, bermil-mil jauhnya dari pusat kota Bandung.

Sementara itu, Pepen hanya diam membisu, mangut-mangut saja. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali menghitung dollar yang masuk secara real time di account miliknya. Hari itu saja dia mendapatkan 30 dollar asli amerika tanpa bersusah-payah. Tanpa berkeringat. Tanpa menipu. Tanpa tercampur alkohol dan narkoba. Beliau memang Jutawan Dot Com pertama diantara kami semua. Dari beliau pula ide ini tumbuh dan berkembang. Tinggi dan melebar. Mekar dan berbunga.

Setelah alot dalam beradu argumentasi, pilihan pun jatuh pada kantor si Zoel punya istri.

Sesungguhnya, jujur punya jujur, saya bukannya keberatan untuk mijit yang penting-penting di sana. Hanya saja, istri Zoel dan kolega-koleganya tersebut konon menganut itu paham feminisme. Dan sepanjang yang saya tahu tentang kaum feminis, mereka doyan memakan kepala laki-laki. Terutama laki-laki bujangan dan sok aksi seperti saya ini.

Kesepakatan pun dicapai, skedul dirancang, anggaran ditetapkan. Tanpa pandang bulu dan a i u, saya mengangkat diri saya menjadi Direktur sekaligus Seksi Marketing. Yusuf sebagai Bendahara. Beliau dilengkapi dengan tujuh biji kartu kredit di dompetnya. Bukan sekedar biji saja, tapi lebih dari itu. Enam diantaranya adalah Gold punya. Dan tak usahlah ditanya kenapa dia koleksi kartu kredit sebanyak itu. Saya ngga cukup ruang dan waktu untuk bercerita. Pepen ditugaskan sebagai Administrasi dan Trainer bagi kami semua. Zoel sebagai Tuan Rumah. The King of Living Room. Tak perlu kami bebankan tanggung jawab lain buat dia.

Dan Agan sedang mengantar pacarnya sewaktu pembagian tugas ini dilaksanakan. Pacar satu-satunya. Kasihan kalau tidak diantar. Rumahnya jauh dan waktu itu hari sudah malam. Mungkin kami akan berikan tugas membuat mie kare pada Agan.

Sehabis pembagian deskripsi kerja usai, saya hubungi teman saya yang lain, seorang dosen yang tengah mengambil S2 atas nama beasiswa di luar kota. Tak lengkap rasanya kami tanpa dia.


”Bung Rusky, kamu mau bergabung bersama teman-teman menjadi Jutawan Dot Com?”

”Apa itu, Ndi? Sekte menjual diri kepada setan?”

”Bukan. Kita menjual diri kepada Google, Yahoo dan para Miliarder Dot Com.”

“Saya ngga ngerti. Tapi yang terpenting, ada biayanya, ngga? Saya ngga suka kalau ada biayanya. Meski bukan berarti saya cuma suka yang gratis-gratis, lho. Saya cuma tidak mau membayar sesuatu yang saya tidak mengerti kenapa saya harus membayar.”

“Tentu saja ngga ada biayanya, Bung! Masa setelah kita berkawan sekian lama, saya mengajak kamu ke sesuatu yang kamu mesti bayar?! Yang benar saja?! Malu saya sama tetangga!”

”Bagus kalau begitu. Saya ikut, Ndi. Ini join usaha, kan? Saya suka semua hal yang berhubungan dengan join.”

”Bagus. Itu yang saya suka dari kamu. Infaq cuma 1,25 juta.”

”Saya transfer ke mana? Duh, ini uang beasiswa, Bung Andi.”

Dan teman saya pun akhirnya menggunakan sebagian uang beasiswanya demi bergabung bersama saya dan kawan-kawan lain. Anggota gank pun dapat kembali berkumpul dan bersilaturahmi. Ibarat arisan ibu-ibu, akan ada jadwal pertemuan setiap minggunya dalam rangka menjadi Jutawan Dot Com.

Saya ngga suka uang. Sungguh. Saya cuma ingin terlepas dari kebutuhan akan finansial sehingga dapat melakukan semua hal yang saya sukai tanpa rasa khawatir, tanpa tekanan dan pertimbangan selera pasar.

"Yeah, rite!" seru kawan-kawan saya kompak.




Money will buy you a fine dog, but only love can make it wag its tail.”
[
Richard Friedman]

OrangOrang Jalan Bali



“Mana yang kamu pilih, Ndi, menjadi Jutawan Dot Com atau Jutawan Dot Net?”








Itu adalah salah satu dari sekian juta pertanyaan tidak penting yang diajukan teman-teman saya selama ini. Dan setiap kali kami berkumpul, memang tidak ada hal yang kami anggap penting. Tidak satu pun. Joker tertinggal 13 tahun dari kami dengan Why So Serious-nya.

”Bagaimana kalau di kantor istri saya?” Zoel mengajukan usul tempat untuk kami mijit yang penting-penting alias miting. Markas di jalan Bali sudah digusur. Kami butuh sebuah tempat baru dalam rangka menjadi Jutawan Dot Co Dot ID.

”Jangan,” kali ini saya yang bersuara. ”Di sana banyak gadis muda yang masih single. Berbahaya.”

”Kenapa berbahaya? Memangnya saya ngga akan setia sama istri saya?” tanya Yusuf, seorang ayah dari satu balita.

”Di kamar kamu saja, Zoel. Yang di rumah ortu kamu itu. Lokasinya strategis, dekat ke mana-mana. Terutama, dekat ke dapur mama kamu. Lumayan bisa minta gorengan,” saya memberi usul lain. Sewaktu kami sekolah dan kuliah, kamarnya kami jadikan tempat bersua.

”Ngga mungkin. Di sana ada ranjang pengantin adik saya. King size pula ukurannya. Terlalu sempit buat kita berdiskusi dan berdebat kusir.”

”Kalau saya sih ngga masalah, mau di mana pun sama saja jauhnya,” celutuk Agan, seorang teman yang rumahnya di wilayah kabupaten dekat gunung, bermil-mil jauhnya dari pusat kota Bandung.

Sementara itu, Pepen hanya diam membisu, mangut-mangut saja. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Sesekali menghitung dollar yang masuk secara real time di account miliknya. Hari itu saja dia mendapatkan 30 dollar asli amerika tanpa bersusah-payah. Tanpa berkeringat. Tanpa menipu. Tanpa tercampur alkohol dan narkoba. Beliau memang Jutawan Dot Com pertama diantara kami semua. Dari beliau pula ide ini tumbuh dan berkembang. Tinggi dan melebar. Mekar dan berbunga.

Setelah alot dalam beradu argumentasi, pilihan pun jatuh pada kantor si Zoel punya istri.

Sesungguhnya, jujur punya jujur, saya bukannya keberatan untuk mijit yang penting-penting di sana. Hanya saja, istri Zoel dan kolega-koleganya tersebut konon menganut itu paham feminisme. Dan sepanjang yang saya tahu tentang kaum feminis, mereka doyan memakan kepala laki-laki. Terutama laki-laki bujangan dan sok aksi seperti saya ini.

Kesepakatan pun dicapai, skedul dirancang, anggaran ditetapkan. Tanpa pandang bulu dan a i u, saya mengangkat diri saya menjadi Direktur sekaligus Seksi Marketing. Yusuf sebagai Bendahara. Beliau dilengkapi dengan tujuh biji kartu kredit di dompetnya. Bukan sekedar biji saja, tapi lebih dari itu. Enam diantaranya adalah Gold punya. Dan tak usahlah ditanya kenapa dia koleksi kartu kredit sebanyak itu. Saya ngga cukup ruang dan waktu untuk bercerita. Pepen ditugaskan sebagai Administrasi dan Trainer bagi kami semua. Zoel sebagai Tuan Rumah. The King of Living Room. Tak perlu kami bebankan tanggung jawab lain buat dia.

Dan Agan sedang mengantar pacarnya sewaktu pembagian tugas ini dilaksanakan. Pacar satu-satunya. Kasihan kalau tidak diantar. Rumahnya jauh dan waktu itu hari sudah malam. Mungkin kami akan berikan tugas membuat mie kare pada Agan.

Sehabis pembagian deskripsi kerja usai, saya hubungi teman saya yang lain, seorang dosen yang tengah mengambil S2 atas nama beasiswa di luar kota. Tak lengkap rasanya kami tanpa dia.


”Bung Rusky, kamu mau bergabung bersama teman-teman menjadi Jutawan Dot Com?”

”Apa itu, Ndi? Sekte menjual diri kepada setan?”

”Bukan. Kita menjual diri kepada Google, Yahoo dan para Miliarder Dot Com.”

“Saya ngga ngerti. Tapi yang terpenting, ada biayanya, ngga? Saya ngga suka kalau ada biayanya. Meski bukan berarti saya cuma suka yang gratis-gratis, lho. Saya cuma tidak mau membayar sesuatu yang saya tidak mengerti kenapa saya harus membayar.”

“Tentu saja ngga ada biayanya, Bung! Masa setelah kita berkawan sekian lama, saya mengajak kamu ke sesuatu yang kamu mesti bayar?! Yang benar saja?! Malu saya sama tetangga!”

”Bagus kalau begitu. Saya ikut, Ndi. Ini join usaha, kan? Saya suka semua hal yang berhubungan dengan join.”

”Bagus. Itu yang saya suka dari kamu. Infaq cuma 1,25 juta.”

”Saya transfer ke mana? Duh, ini uang beasiswa, Bung Andi.”

Dan teman saya pun akhirnya menggunakan sebagian uang beasiswanya demi bergabung bersama saya dan kawan-kawan lain. Anggota gank pun dapat kembali berkumpul dan bersilaturahmi. Ibarat arisan ibu-ibu, akan ada jadwal pertemuan setiap minggunya dalam rangka menjadi Jutawan Dot Com.

Saya ngga suka uang. Sungguh. Saya cuma ingin terlepas dari kebutuhan akan finansial sehingga dapat melakukan semua hal yang saya sukai tanpa rasa khawatir, tanpa tekanan dan pertimbangan selera pasar.

"Yeah, rite!" seru kawan-kawan saya kompak.




Money will buy you a fine dog, but only love can make it wag its tail.”
[
Richard Friedman]

Jumat, 02 Januari 2009

..



mentari bersinar tanpa pamrih

dia sudah puas melihat bunga yang bersemi
ya, aku juga tidak apa-apa
aku hanya ingin tahu, apa dia baik-baik saja...
[Khu Lung - Ho Ce Wen, Impecable Twins]






Ada sebuah tempat di mana saya merasa begitu terikat. Tiga belas tahun sudah saya berada di sana. Udara terbaik yang saya hisap ada di sana. Pohon-pohon tertinggi dan terindang yang bisa saya temukan di kota. Jalan-jalan paling teduh. Tahun 1995, saya masuk SMA di jalan Bali. Dan hingga hari ini, saya masih di jalan itu. Teman-teman terlucu saya ada di sana. Inilah tempat kami berkumpul di waktu sempit dan senggang.

Entah siapa yang pertama kali memulai, di tahun 2004 muncul sebuah ide untuk memulai usaha bersama. Jalan Bali no. 1 menjadi markasnya. Dan dua tahun kemudian, saya terpaksa menjadi salah satu tuan rumah, menggantikan yang lama. Bagaimana lagi, jika tempat ini dimusnahkan, di mana tempat kami berkumpul nanti?

Dasar si saya yang punya prinsip "rugi sedikit ngga apa-apa", hari demi hari bukan untung yang diraih.

Lalu saya putuskan, ini tidak bisa dilanjutkan. Seperti berpisah dengan pacar setia saja rasanya. Saya sadar, begitu juga mereka. Tak ada lagi tempat singgah bagi kami semua. Tak ada lagi tempat untuk sekedar mampir sepulang kerja. Masing-masing kami harus mencari sendiri. Sekaranglah saat perpisahan yang sebenar-benarnya.

Saya memang tidak pernah dewasa. Di usia begini, masih saja senang kumpul bersama.

Jalan Bali nomor satu, tempat di mana saya pertama kali menulis cerita. Begitu juga yang ke dua dan ke tiga. Sebuah ruangan kecil ada di sana yang diperuntukkan untuk saya. Sebuah kantor kecil milik saya. Mimpi yang begitu sederhana.

Saya tahu, saya tidak akan menangis karenanya. Saya sadar, ini adalah jalan yang harus saya pilih. Mungkin bukan pilihan satu-satunya, tapi harus saya coba dan beranikan diri. Harga yang harus saya bayar memang mahal. Mungkin saya akan terluka di masa depan.

Biar saja.


..



mentari bersinar tanpa pamrih

dia sudah puas melihat bunga yang bersemi
ya, aku juga tidak apa-apa
aku hanya ingin tahu, apa dia baik-baik saja...
[Khu Lung - Ho Ce Wen, Impecable Twins]






Ada sebuah tempat di mana saya merasa begitu terikat. Tiga belas tahun sudah saya berada di sana. Udara terbaik yang saya hisap ada di sana. Pohon-pohon tertinggi dan terindang yang bisa saya temukan di kota. Jalan-jalan paling teduh. Tahun 1995, saya masuk SMA di jalan Bali. Dan hingga hari ini, saya masih di jalan itu. Teman-teman terlucu saya ada di sana. Inilah tempat kami berkumpul di waktu sempit dan senggang.

Entah siapa yang pertama kali memulai, di tahun 2004 muncul sebuah ide untuk memulai usaha bersama. Jalan Bali no. 1 menjadi markasnya. Dan dua tahun kemudian, saya terpaksa menjadi salah satu tuan rumah, menggantikan yang lama. Bagaimana lagi, jika tempat ini dimusnahkan, di mana tempat kami berkumpul nanti?

Dasar si saya yang punya prinsip "rugi sedikit ngga apa-apa", hari demi hari bukan untung yang diraih.

Lalu saya putuskan, ini tidak bisa dilanjutkan. Seperti berpisah dengan pacar setia saja rasanya. Saya sadar, begitu juga mereka. Tak ada lagi tempat singgah bagi kami semua. Tak ada lagi tempat untuk sekedar mampir sepulang kerja. Masing-masing kami harus mencari sendiri. Sekaranglah saat perpisahan yang sebenar-benarnya.

Saya memang tidak pernah dewasa. Di usia begini, masih saja senang kumpul bersama.

Jalan Bali nomor satu, tempat di mana saya pertama kali menulis cerita. Begitu juga yang ke dua dan ke tiga. Sebuah ruangan kecil ada di sana yang diperuntukkan untuk saya. Sebuah kantor kecil milik saya. Mimpi yang begitu sederhana.

Saya tahu, saya tidak akan menangis karenanya. Saya sadar, ini adalah jalan yang harus saya pilih. Mungkin bukan pilihan satu-satunya, tapi harus saya coba dan beranikan diri. Harga yang harus saya bayar memang mahal. Mungkin saya akan terluka di masa depan.

Biar saja.