Kamis, 28 Mei 2009

Masih Ada, Om...




Jika berbicara tentang pekerjaan kantor, saya seperti berhadapan dengan tembok, atau serasa laksana benteng catur yang meringkuk saja di kotak paling sudut. Inilah satu-satunya bagian dari dunia saya di mana saya sungguh merasa sepi berada di sana. Nyaris tak ada teman untuk saling bercerita, berdiskusi atau sekedar mengeluh akan soal yang begitu sulit dipecahkan sendiri.

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang orang banyak ragu akan eksistensinya.

“Masih ada, gitu? Bukannya sudah bangkrut?”

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang pihak bank akan ragu untuk memberikan pinjaman atau kredit cicilan.

“Ada pekerjaan lain?”

Ya. Bahkan pernah di suatu masa, sebuah bank lebih mempercayai profesi pengojeg dibandingkan profesi saya dalam kelayakan pengajuan cicilan. Bukan saya merendahkan para pengojeg. Tidak sama sekali, jauh dari itu.

Apakah saya merasa kecewa? Sedih? Rendah diri?

Sebagai manusia biasa, tentu saja, ya.

Tapi, kembali saya meyakinkan diri bahwa saya bukanlah manusia biasa. Kenapa? Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang tidak peduli dengan tuntutan sosial sekitarnya. Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang bisa melepaskan diri dari kebergantungan pada hal-hal yang bersifat kebendaan, trend, dan pendapat banyak orang yang belum tentu benar. Saya telah memilih untuk menjadi orang bebas dari itu semua.

Meski, mungkin, baru mencapai tahap pura-pura.





Jadi, setiap kali ditanya di mana saya bekerja, jawab saya adalah,

“PTDI Masih Ada.”

Dan untuk sekedar info, gaji kami baru saja naik bulan ini.

Om...






“If you are a minority of one, the truth is the truth.”
[Mahatma Gandhi, Gandhi]






Masih Ada, Om...




Jika berbicara tentang pekerjaan kantor, saya seperti berhadapan dengan tembok, atau serasa laksana benteng catur yang meringkuk saja di kotak paling sudut. Inilah satu-satunya bagian dari dunia saya di mana saya sungguh merasa sepi berada di sana. Nyaris tak ada teman untuk saling bercerita, berdiskusi atau sekedar mengeluh akan soal yang begitu sulit dipecahkan sendiri.

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang orang banyak ragu akan eksistensinya.

“Masih ada, gitu? Bukannya sudah bangkrut?”

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang pihak bank akan ragu untuk memberikan pinjaman atau kredit cicilan.

“Ada pekerjaan lain?”

Ya. Bahkan pernah di suatu masa, sebuah bank lebih mempercayai profesi pengojeg dibandingkan profesi saya dalam kelayakan pengajuan cicilan. Bukan saya merendahkan para pengojeg. Tidak sama sekali, jauh dari itu.

Apakah saya merasa kecewa? Sedih? Rendah diri?

Sebagai manusia biasa, tentu saja, ya.

Tapi, kembali saya meyakinkan diri bahwa saya bukanlah manusia biasa. Kenapa? Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang tidak peduli dengan tuntutan sosial sekitarnya. Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang bisa melepaskan diri dari kebergantungan pada hal-hal yang bersifat kebendaan, trend, dan pendapat banyak orang yang belum tentu benar. Saya telah memilih untuk menjadi orang bebas dari itu semua.

Meski, mungkin, baru mencapai tahap pura-pura.





Jadi, setiap kali ditanya di mana saya bekerja, jawab saya adalah,

“PTDI Masih Ada.”

Dan untuk sekedar info, gaji kami baru saja naik bulan ini.

Om...






“If you are a minority of one, the truth is the truth.”
[Mahatma Gandhi, Gandhi]






Selasa, 26 Mei 2009

Mari...

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Jangan tanya alasannya. Anak kecil menurut saja sama orangtua. Percayakan semua pada bapak. Begini-begini, bapak sudah banyak pengalamannya.

Konon, di luar sana ada banyak, Sayang. Macam-macam. Dari mulai ibu tiri, ibu guru, sampai ibu RI-1. Kamu pilih yang mana? Bilang saja. Biar nanti bapak yang menghadap salah satu dari mereka.

Atau kamu punya kriteria sendiri? Boleh saja. Ini negeri demokrasi. Begitu pula di rumah kita. Setiap penghuninya berhak untuk menyampaikan suara. Meski, bapak jualah yang menentukan di bagian akhirnya.

Bapak kasih tahu, ya. Jangan pilih yang pandai memasak. Akan amat susah mencarinya. Jangan pula minta yang pandai menyanyi. Semua sudah ada yang punya. Pilih yang pandai mengaji. Namun, jangan terlalu berharap mereka mau menerima si bapak ini.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Ibu lama sudah kadaluarsa. Sudah habis tanggal pakainya. Ibarat pepatah lama, cinta datang dan pergi. Karena itu, berbahagialah. Yang hilang akan terganti. Sakit merindu akan terobati.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Pasang wajah lucumu ke mana kita pergi.


Mari...

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Jangan tanya alasannya. Anak kecil menurut saja sama orangtua. Percayakan semua pada bapak. Begini-begini, bapak sudah banyak pengalamannya.

Konon, di luar sana ada banyak, Sayang. Macam-macam. Dari mulai ibu tiri, ibu guru, sampai ibu RI-1. Kamu pilih yang mana? Bilang saja. Biar nanti bapak yang menghadap salah satu dari mereka.

Atau kamu punya kriteria sendiri? Boleh saja. Ini negeri demokrasi. Begitu pula di rumah kita. Setiap penghuninya berhak untuk menyampaikan suara. Meski, bapak jualah yang menentukan di bagian akhirnya.

Bapak kasih tahu, ya. Jangan pilih yang pandai memasak. Akan amat susah mencarinya. Jangan pula minta yang pandai menyanyi. Semua sudah ada yang punya. Pilih yang pandai mengaji. Namun, jangan terlalu berharap mereka mau menerima si bapak ini.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Ibu lama sudah kadaluarsa. Sudah habis tanggal pakainya. Ibarat pepatah lama, cinta datang dan pergi. Karena itu, berbahagialah. Yang hilang akan terganti. Sakit merindu akan terobati.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Pasang wajah lucumu ke mana kita pergi.


Senin, 25 Mei 2009

Terbaik






Ada sebuah kejadian lewat yang masih saja hinggap di benak saya. Menclok seperti burung kakak tua, tak pernah mau pergi. Agak sedikit mengganggu, sebenarnya. Membuat saya sering melamun sewaktu menyetrika kemeja kerja. Membuang sia-sia air dalam gayung sewaktu mandi. Salah menyuapi sendok nasi ke hidung sewaktu sarapan. Keliru turun dari bis menuju kantor. Sampai-sampai, kadang saya dibuat lupa pakai celana. Tak ada yang melihat, untungnya.

Hebat kan saya, masih saja merasa beruntung?

Kejadian itu adalah sebuah reuni kecil-kecilan kelas kami di masa SMA. Tepat tahun lalu. Salah satu dari mereka yang hadir adalah seorang mantan pacar. Perempuan, tentunya, sedang hamil tujuh bulan untuk yang kedua kali. Datang pula sang suami si pelaku penghamilan.

“Kenapa belum menikah juga?”

Begitu si ibu hamil yang sekaligus mantan pacar di masa lalu itu bertanya pada saya dengan lugas dan ringan. Seperti bertanya, apa saya sudah makan? Atau..., sehat-sehat saja?

Saya sungguh mengerti, jawaban seperti apa yang beliau harapkan. Apakah beliau tidak tahu bahwa untuk menikah itu dibutuhkan dua pihak. Pihak laki-laki dan pihak perempuan. Dengan demikian, sepatutnya pertanyaan tersebut dilemparkan tidak hanya pada saya seorang.

“Mungkin karena doa kamu.”

Begitu dia menebak. Menuduh. Menyudutkan. Menyalahkan satu pihak saja. Tapi, saya tidak mengerti maksud dia punya tebak-tebakan.

“Maksudnya, kamu berdoa untuk diberikan yang terbaik, kan? Yang terbaik.”

“Tentu saja.”

Begitu saya menjawab dengan cepat. Padahal, saya masih tidak mengerti maksud beliau ke arah mana. Dan saya mencium adanya bau-bau jebakan di sini. Pasti.

“Nah, mungkin karena itulah kenapa kamu belum menikah juga. Kamu ingin yang terbaik, sih. Jadi, Tuhan akan kasih kamu yang terbaik. Masalahnya…”

Tuh, kan, ada masalah.

“Masalahnya… si perempuan yang hendak dipasangkan dengan kamu, dia pun berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik. Dan… sungguh tidak adil jika kamu adalah orangnya.”

Dan saya pun menangkap nada mengejek dari kalimat itu.

“Coba kamu berdoa agar diberikan yang… lumayan. Atau, cukup baik. Toh, kamu juga ngga baik-baik amat.”

Pada mulanya, saya agak kesulitan mencerna apa yang dia sampaikan. Padahal, usus saya sangat kuat dalam mencerna daging kerbau sekalipun. Bahkan baru-baru ini, saya tidak mengalami masalah apa pun sewaktu melahap durian lengkap dengan kulitnya.

Setelah berpikir sejenak, merenung di ujung seperti benteng catur, ada pesan mulia dan nasihat berharga pada kalimat-kalimatnya yang berhasil saya tangkap. Memang, sejak saya mengenal beliau, nyaris tidak pernah saya temukan hal tercela yang dia lakukan. Beliau memang soleh-solehah. Setiap kali mengingatnya, secara otomatis kita akan mengambil air wudlu. Kalaupun ada cela dari beliau, mungkin hanya satu, yaitu dahulu mau berpacaran dengan saya, yang tentunya seorang laki-laki yang tidak baik-baik amat (menurut istilah dia).







Tapi, saya lumayan, lah.
Iya, kan, Bu Ustadzah?



Terbaik






Ada sebuah kejadian lewat yang masih saja hinggap di benak saya. Menclok seperti burung kakak tua, tak pernah mau pergi. Agak sedikit mengganggu, sebenarnya. Membuat saya sering melamun sewaktu menyetrika kemeja kerja. Membuang sia-sia air dalam gayung sewaktu mandi. Salah menyuapi sendok nasi ke hidung sewaktu sarapan. Keliru turun dari bis menuju kantor. Sampai-sampai, kadang saya dibuat lupa pakai celana. Tak ada yang melihat, untungnya.

Hebat kan saya, masih saja merasa beruntung?

Kejadian itu adalah sebuah reuni kecil-kecilan kelas kami di masa SMA. Tepat tahun lalu. Salah satu dari mereka yang hadir adalah seorang mantan pacar. Perempuan, tentunya, sedang hamil tujuh bulan untuk yang kedua kali. Datang pula sang suami si pelaku penghamilan.

“Kenapa belum menikah juga?”

Begitu si ibu hamil yang sekaligus mantan pacar di masa lalu itu bertanya pada saya dengan lugas dan ringan. Seperti bertanya, apa saya sudah makan? Atau..., sehat-sehat saja?

Saya sungguh mengerti, jawaban seperti apa yang beliau harapkan. Apakah beliau tidak tahu bahwa untuk menikah itu dibutuhkan dua pihak. Pihak laki-laki dan pihak perempuan. Dengan demikian, sepatutnya pertanyaan tersebut dilemparkan tidak hanya pada saya seorang.

“Mungkin karena doa kamu.”

Begitu dia menebak. Menuduh. Menyudutkan. Menyalahkan satu pihak saja. Tapi, saya tidak mengerti maksud dia punya tebak-tebakan.

“Maksudnya, kamu berdoa untuk diberikan yang terbaik, kan? Yang terbaik.”

“Tentu saja.”

Begitu saya menjawab dengan cepat. Padahal, saya masih tidak mengerti maksud beliau ke arah mana. Dan saya mencium adanya bau-bau jebakan di sini. Pasti.

“Nah, mungkin karena itulah kenapa kamu belum menikah juga. Kamu ingin yang terbaik, sih. Jadi, Tuhan akan kasih kamu yang terbaik. Masalahnya…”

Tuh, kan, ada masalah.

“Masalahnya… si perempuan yang hendak dipasangkan dengan kamu, dia pun berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik. Dan… sungguh tidak adil jika kamu adalah orangnya.”

Dan saya pun menangkap nada mengejek dari kalimat itu.

“Coba kamu berdoa agar diberikan yang… lumayan. Atau, cukup baik. Toh, kamu juga ngga baik-baik amat.”

Pada mulanya, saya agak kesulitan mencerna apa yang dia sampaikan. Padahal, usus saya sangat kuat dalam mencerna daging kerbau sekalipun. Bahkan baru-baru ini, saya tidak mengalami masalah apa pun sewaktu melahap durian lengkap dengan kulitnya.

Setelah berpikir sejenak, merenung di ujung seperti benteng catur, ada pesan mulia dan nasihat berharga pada kalimat-kalimatnya yang berhasil saya tangkap. Memang, sejak saya mengenal beliau, nyaris tidak pernah saya temukan hal tercela yang dia lakukan. Beliau memang soleh-solehah. Setiap kali mengingatnya, secara otomatis kita akan mengambil air wudlu. Kalaupun ada cela dari beliau, mungkin hanya satu, yaitu dahulu mau berpacaran dengan saya, yang tentunya seorang laki-laki yang tidak baik-baik amat (menurut istilah dia).







Tapi, saya lumayan, lah.
Iya, kan, Bu Ustadzah?



Rabu, 13 Mei 2009

Pointilisme






“Di permukaan bulan sana,
saya tuliskan nama kita
dengan deretan abjad-abjadnya

yang tersusun rapi.
Semoga abadi.








Demikian saya merayu. Kalimat terakhir saya bisikkan dengan lembut disertai ketukan yang terpadu.

Memandang tidak percaya, perempuan itu merogoh isi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah teropong bintang dan mengarahkannya pada bulan. Ia selidiki kata-kata saya dengan mengintip dari celah lensa, memastikan sendiri apakah saya sedang berbual atau sungguh-sungguh.

Tersenyum, dia, tidak lama kemudian.

“Tulisan kamu jelek,” katanya diiringi cubitan pada lengan saya.

Aih.

“Tapi, Andi, tidak ada yang abadi, bukan, kecuali Dia?”

Aih, lagi.

“Tentu saja. Yang saya maksud adalah… tiga-empat puluh tahun ke depan.”

“Kamu akan keburu tua sewaktu merasa menyesal atas keputusan itu.”

“Selama hidup nyaris tiga puluh tahun di permukaan Bumi, saya tidak pernah menyesali segala sesuatu. Kecuali perbuatan dosa, tentu,” kata saya tanpa nada ragu.

“Tapi, Andi…”

“Kamu banyak ber-tapi,” potong saya di kuali. “Kalau terlalu banyak tapi, setiap kisah dan dongeng tidak akan pernah berlanjut. Diam dia menggantung tak ke mana-mana.”

“Betul. Saya setuju. Namun…”






Nah. Demikianlah jika kamu berhubungan dengan mereka yang senang menggunakan kata tapi dan namun. Apa pun usaha yang kamu lakukan untuk meyakinkan mereka adalah percuma.

“Sayangnya…”

Untuk menghadapi mereka, kamu jangan pernah memberi penjelasan. Jangan memberikan argumen. Dengarkan saja sampai akhir. Anggukkan kepala, mengirimkan isyarat setuju. Pura-pura, tentu.

“Hanya saja…”

Lalu, ketika kamu berpikir bahwa kamu tinggal menuruti saja apa yang mereka inginkan, ya, kamu salah lagi. Karena mereka sendiri pun tidak tahu apa yang diinginkan. Keinginan mereka abstrak. Hanya seniman yang bisa mengerti. Seniman aliran abstrak atau surealis.




Saya bukan.






Pointilisme






“Di permukaan bulan sana,
saya tuliskan nama kita
dengan deretan abjad-abjadnya

yang tersusun rapi.
Semoga abadi.








Demikian saya merayu. Kalimat terakhir saya bisikkan dengan lembut disertai ketukan yang terpadu.

Memandang tidak percaya, perempuan itu merogoh isi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah teropong bintang dan mengarahkannya pada bulan. Ia selidiki kata-kata saya dengan mengintip dari celah lensa, memastikan sendiri apakah saya sedang berbual atau sungguh-sungguh.

Tersenyum, dia, tidak lama kemudian.

“Tulisan kamu jelek,” katanya diiringi cubitan pada lengan saya.

Aih.

“Tapi, Andi, tidak ada yang abadi, bukan, kecuali Dia?”

Aih, lagi.

“Tentu saja. Yang saya maksud adalah… tiga-empat puluh tahun ke depan.”

“Kamu akan keburu tua sewaktu merasa menyesal atas keputusan itu.”

“Selama hidup nyaris tiga puluh tahun di permukaan Bumi, saya tidak pernah menyesali segala sesuatu. Kecuali perbuatan dosa, tentu,” kata saya tanpa nada ragu.

“Tapi, Andi…”

“Kamu banyak ber-tapi,” potong saya di kuali. “Kalau terlalu banyak tapi, setiap kisah dan dongeng tidak akan pernah berlanjut. Diam dia menggantung tak ke mana-mana.”

“Betul. Saya setuju. Namun…”






Nah. Demikianlah jika kamu berhubungan dengan mereka yang senang menggunakan kata tapi dan namun. Apa pun usaha yang kamu lakukan untuk meyakinkan mereka adalah percuma.

“Sayangnya…”

Untuk menghadapi mereka, kamu jangan pernah memberi penjelasan. Jangan memberikan argumen. Dengarkan saja sampai akhir. Anggukkan kepala, mengirimkan isyarat setuju. Pura-pura, tentu.

“Hanya saja…”

Lalu, ketika kamu berpikir bahwa kamu tinggal menuruti saja apa yang mereka inginkan, ya, kamu salah lagi. Karena mereka sendiri pun tidak tahu apa yang diinginkan. Keinginan mereka abstrak. Hanya seniman yang bisa mengerti. Seniman aliran abstrak atau surealis.




Saya bukan.






Minggu, 10 Mei 2009

Paspasan




Malam minggu kemarin, bertemu saya dengan seorang kawan lama. Lama bersahabat, lama tidak jumpa. Seorang perempuan, penuh perhatian. Dan titel cantik saya sandangkan padanya dengan tulus dan tanpa udang.

Nyaris sudah sepuluh tahun sejak pertama kali kami berteman. Bukan rekor, sebenarnya. Tapi, hebatnya, selama itu pula saya berhasil tidak pernah membuat beliau marah. Padahal, membuat perempuan marah adalah kehebatan saya.

Apalagi, saya adalah seorang lelaki yang tidak terbiasa berteman dengan perempuan cantik.

Ngga enak kalau cuma teman.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia bertemu. Dia, teman saya itu, yang sedang saya ceritakan ini. Dialah satu-satunya perempuan yang diperbolehkan bersikap manja pada saya. Ini patut digarisbawahi karena saya tidak pernah bersimpati pada mereka yang manja. Cukuplah saya saja yang manja.

“Rindu, tahu.”

Demikian saya bilang. Dan dia sepertinya terkejut. Sangat terkejut. Kaget. Syok. Surprise, kalau orang umum bilang.

“Tumben, bilang begitu.”

Tapi orang yang paling terkejut tentunya adalah saya sendiri. Saya… tidak bilang dan tidak pernah bilang begitu. Pada siapapun? Pada siapapun. Kenapa? Takkan dijawab.

Sebelum reuni kecil ini terjadi, sesungguhnya ada hal yang amat saya khawatirkan diam-diam. Hati saya cemas dibuatnya. Gelisah, saya. Takut kalau-kalau dia berubah. Berubah dalam artian… menjadi menyebalkan.

Kan… waktu membuat orang berubah menjadi menyebalkan (juga keriput). Seakan-akan, kalau sudah dewasa, hidup itu harus berjuang. Dan perjuangan harus dengan serius. Dan tak boleh lagi buang-buang waktu. Setiap menit adalah berharga.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia jalan-jalan, menembus ramainya kota Bandung. Saya kenalkan dia dengan seorang teman saya yang lain. Berharap mereka berdua bisa juga berteman. Bisa akrab. Siapa tahu berjodoh.

Malam minggu kemarin, saya persembahkan sebuah lagu buat dia. Sepesial. Istimewa. Sebuah lagu dari ranah Malaysia. Saya lantunkan dengan suara saya yang pas-pasan. Pas di telinga, pas di hati.

“Pas! Jangan nyanyi lagi!”

Biasanya ada yang bilang begitu. Kecuali malam minggu kemarin.

Terimakasih untuk tetap menjadi orang yang sama sejak ditemui.

Paspasan




Malam minggu kemarin, bertemu saya dengan seorang kawan lama. Lama bersahabat, lama tidak jumpa. Seorang perempuan, penuh perhatian. Dan titel cantik saya sandangkan padanya dengan tulus dan tanpa udang.

Nyaris sudah sepuluh tahun sejak pertama kali kami berteman. Bukan rekor, sebenarnya. Tapi, hebatnya, selama itu pula saya berhasil tidak pernah membuat beliau marah. Padahal, membuat perempuan marah adalah kehebatan saya.

Apalagi, saya adalah seorang lelaki yang tidak terbiasa berteman dengan perempuan cantik.

Ngga enak kalau cuma teman.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia bertemu. Dia, teman saya itu, yang sedang saya ceritakan ini. Dialah satu-satunya perempuan yang diperbolehkan bersikap manja pada saya. Ini patut digarisbawahi karena saya tidak pernah bersimpati pada mereka yang manja. Cukuplah saya saja yang manja.

“Rindu, tahu.”

Demikian saya bilang. Dan dia sepertinya terkejut. Sangat terkejut. Kaget. Syok. Surprise, kalau orang umum bilang.

“Tumben, bilang begitu.”

Tapi orang yang paling terkejut tentunya adalah saya sendiri. Saya… tidak bilang dan tidak pernah bilang begitu. Pada siapapun? Pada siapapun. Kenapa? Takkan dijawab.

Sebelum reuni kecil ini terjadi, sesungguhnya ada hal yang amat saya khawatirkan diam-diam. Hati saya cemas dibuatnya. Gelisah, saya. Takut kalau-kalau dia berubah. Berubah dalam artian… menjadi menyebalkan.

Kan… waktu membuat orang berubah menjadi menyebalkan (juga keriput). Seakan-akan, kalau sudah dewasa, hidup itu harus berjuang. Dan perjuangan harus dengan serius. Dan tak boleh lagi buang-buang waktu. Setiap menit adalah berharga.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia jalan-jalan, menembus ramainya kota Bandung. Saya kenalkan dia dengan seorang teman saya yang lain. Berharap mereka berdua bisa juga berteman. Bisa akrab. Siapa tahu berjodoh.

Malam minggu kemarin, saya persembahkan sebuah lagu buat dia. Sepesial. Istimewa. Sebuah lagu dari ranah Malaysia. Saya lantunkan dengan suara saya yang pas-pasan. Pas di telinga, pas di hati.

“Pas! Jangan nyanyi lagi!”

Biasanya ada yang bilang begitu. Kecuali malam minggu kemarin.

Terimakasih untuk tetap menjadi orang yang sama sejak ditemui.

Kamis, 07 Mei 2009

Verbodden, Dear




Bis Antapani-KPAD itu semirip dengan metro mini ibukota. Isinya penuh jejal dengan manusia setiap pagi dan sorenya. Ada saya di situ, terselip diantara mereka. Jika saya sedang tidak beruntung, tidak ada satu pun bangku kosong yang available. Dan saya harus berdiri selama tiga puluh menit perjalanan. Maklum, si kondektur tidak menyediakan jasa reservation. Tapi jika saya sedang beruntung, saya bisa duduk nyaman di samping si karyawati bank sambil mendengarkan radio dan membaca novel yang saya bekal. Sesekali basa-basi tentang indahnya cuaca, kurs dollar, dan bertanya turun di mana, Mba.

Bis Antapani-KPAD itu serupa metro mini di Jakarta. Warnanya kombinasi hijau dan coklat tua. Ongkosnya tiga ribu dan tidak bisa diangsur. Harus kontan dan uangnya harus uang asli. Pasti, kondektur dan sopirnya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tegas tanpa bisa ditawar. Saya sungguh tidak cocok dengan pekerjaan mereka. Maklum, saya ini kebalikannya, mudah dibujuk dan dirayu. Satu kedip mata dari kamu saja bisa membuat saya luluh. Apalagi jika ditambah sedikit jentik jari dan seulas senyum.

Adapun kenapa saya memutuskan untuk naik bis, itu akan saya rahasiakan seumur hidup saya dan dibawa sampai ke liang lahat. Membuatnya menjadi misteri yang tidak akan pernah bisa terpecahkan selamanya. Lalu kamu akan banyak menduga. Dan setiap detiknya, kamu akan menyesal kenapa tidak pernah bertanya.

Dan pagi tadi, juga selama satu bulan ke belakang, saya manfaatkan si bis tersebut sebagai wahana yang menghantarkan saya menuju kantor tempat saya digaji setiap bulannya. Jangan tanya gaji saya berapa. Bukan karena saya sungkan atau malu untuk menyebut angka itu, tapi selain tidak etis, bisa-bisa nanti kamu ingin saya nikahi segera. Tanyalah apa yang saya lakukan di kantor. Tapi pasti kamu tidak akan mau bertanya, karena sudah tahu hal ihwal itu sejak lama. Meski demikian, tetap akan saya beri tahu.

Agar tidak lupa. Biar hafal luar kepala.

Lalu kamu akan bertanya, apa untungya menghafal hal-hal yang saya lakukan di kantor. Dan saya balik bertanya, sejak kapan kamu berubah menjadi matrealistis begini, mendasari sesuatu berdasarkan untung-rugi. Dan kita pun kembali bertengkar seperti yang sudah-sudah. Kamu akan membanting pintu dan memasang pelang dilarang ganggu.

Dengan huruf BESAR-BESAR, tentu.



Dan pagi tadi, saya naik bis dalam kondisi dikejar mendung. Di tempat tujuan, saya turun. Hujan ikut turun. Dan saya pun dipaksa untuk berteduh dahulu.

Pak, maaf, saya masuk terlambat hari ini.




Verbodden, Dear




Bis Antapani-KPAD itu semirip dengan metro mini ibukota. Isinya penuh jejal dengan manusia setiap pagi dan sorenya. Ada saya di situ, terselip diantara mereka. Jika saya sedang tidak beruntung, tidak ada satu pun bangku kosong yang available. Dan saya harus berdiri selama tiga puluh menit perjalanan. Maklum, si kondektur tidak menyediakan jasa reservation. Tapi jika saya sedang beruntung, saya bisa duduk nyaman di samping si karyawati bank sambil mendengarkan radio dan membaca novel yang saya bekal. Sesekali basa-basi tentang indahnya cuaca, kurs dollar, dan bertanya turun di mana, Mba.

Bis Antapani-KPAD itu serupa metro mini di Jakarta. Warnanya kombinasi hijau dan coklat tua. Ongkosnya tiga ribu dan tidak bisa diangsur. Harus kontan dan uangnya harus uang asli. Pasti, kondektur dan sopirnya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tegas tanpa bisa ditawar. Saya sungguh tidak cocok dengan pekerjaan mereka. Maklum, saya ini kebalikannya, mudah dibujuk dan dirayu. Satu kedip mata dari kamu saja bisa membuat saya luluh. Apalagi jika ditambah sedikit jentik jari dan seulas senyum.

Adapun kenapa saya memutuskan untuk naik bis, itu akan saya rahasiakan seumur hidup saya dan dibawa sampai ke liang lahat. Membuatnya menjadi misteri yang tidak akan pernah bisa terpecahkan selamanya. Lalu kamu akan banyak menduga. Dan setiap detiknya, kamu akan menyesal kenapa tidak pernah bertanya.

Dan pagi tadi, juga selama satu bulan ke belakang, saya manfaatkan si bis tersebut sebagai wahana yang menghantarkan saya menuju kantor tempat saya digaji setiap bulannya. Jangan tanya gaji saya berapa. Bukan karena saya sungkan atau malu untuk menyebut angka itu, tapi selain tidak etis, bisa-bisa nanti kamu ingin saya nikahi segera. Tanyalah apa yang saya lakukan di kantor. Tapi pasti kamu tidak akan mau bertanya, karena sudah tahu hal ihwal itu sejak lama. Meski demikian, tetap akan saya beri tahu.

Agar tidak lupa. Biar hafal luar kepala.

Lalu kamu akan bertanya, apa untungya menghafal hal-hal yang saya lakukan di kantor. Dan saya balik bertanya, sejak kapan kamu berubah menjadi matrealistis begini, mendasari sesuatu berdasarkan untung-rugi. Dan kita pun kembali bertengkar seperti yang sudah-sudah. Kamu akan membanting pintu dan memasang pelang dilarang ganggu.

Dengan huruf BESAR-BESAR, tentu.



Dan pagi tadi, saya naik bis dalam kondisi dikejar mendung. Di tempat tujuan, saya turun. Hujan ikut turun. Dan saya pun dipaksa untuk berteduh dahulu.

Pak, maaf, saya masuk terlambat hari ini.