Minggu, 28 September 2008

Waiting for Godot















"Menunggu itu sebagian dari kencan."

[Haruka, H2]

tapi, kok lama ya...

Waiting for Godot















"Menunggu itu sebagian dari kencan."

[Haruka, H2]

tapi, kok lama ya...

Rabu, 24 September 2008

Anakku, Aisa




RSJ RIAU 11
25 September 2008

Teruntuk putriku, Aisa…
Ketika Bapak menulis ini, kamu belum terlahir ke dunia. Belum juga dikandung. Karena hati ibumu belum juga luluh untuk dinikahi. Meski demikian, Bapak akan berusaha sekuat tenaga agar kelak kamu bisa membaca cerita ini: kisah hidup Bapak dan semua rahasia yang paling terdalamnya. Juga yang paling kelam. Karena itu, apa pun yang terjadi, jangan biarkan ibumu membacanya. Ini milik kita berdua. Sudah sewajarnya seorang ayah memiliki rahasia kecil dengan putrinya, bukan?

Ah, Aisa. Untuk sesaat, bapak lupa hendak menulis apa. Bapak kebingungan hendak memulainya dari mana. Segala kisah pasti ada asal mulanya, tapi kali ini sungguh berbeda. Kamu tahu kenapa, sayang? Karena kepala bapak sibuk mengkhayalkan kamu. Seperti apa saat kamu membaca kisah ini. Apakah kamu tumbuh menjadi gadis cantik dan mandiri seperti ibumu? Seperti nenek? Pantang menyerah dan sedikit keras kepala? Penurut seperti bapak? Pintar diiringi tutur kata yang sopan, kah? Apakah kamu banyak teman? Hidupmu meyenangkan? Dan… siapakah laki-laki yang beruntung menjadi pacarmu, Aisa? Bapak hanya berharap kamu hati-hati memilih. Itu saja. Karena kebanyakan laki-laki itu brengs… ah, ibumu yang cantik itu pasti sudah mewanti-wanti tentang bahaya laten jenis kami.

Aisa Adinda,
Satu-satunya yang bapak harapkan dari kamu adalah kamu bahagia. Tidak. Kamu tidak mesti selalu tertawa. Terkadang menangis itu bagus juga. Air mata tidak akan pernah habis, dan kamu tidak akan pernah tenggelam karenanya. Hanya saja bapak ingatkan, jangan pernah kamu menangis sendirian. Apalagi tertawa. Setidaknya di zaman bapak, mereka yang tertawa sendirian biasanya dikirim ke rumah sakit jiwa.

HAHAHAHAAHA!!!

Anakku, Aisa




RSJ RIAU 11
25 September 2008

Teruntuk putriku, Aisa…
Ketika Bapak menulis ini, kamu belum terlahir ke dunia. Belum juga dikandung. Karena hati ibumu belum juga luluh untuk dinikahi. Meski demikian, Bapak akan berusaha sekuat tenaga agar kelak kamu bisa membaca cerita ini: kisah hidup Bapak dan semua rahasia yang paling terdalamnya. Juga yang paling kelam. Karena itu, apa pun yang terjadi, jangan biarkan ibumu membacanya. Ini milik kita berdua. Sudah sewajarnya seorang ayah memiliki rahasia kecil dengan putrinya, bukan?

Ah, Aisa. Untuk sesaat, bapak lupa hendak menulis apa. Bapak kebingungan hendak memulainya dari mana. Segala kisah pasti ada asal mulanya, tapi kali ini sungguh berbeda. Kamu tahu kenapa, sayang? Karena kepala bapak sibuk mengkhayalkan kamu. Seperti apa saat kamu membaca kisah ini. Apakah kamu tumbuh menjadi gadis cantik dan mandiri seperti ibumu? Seperti nenek? Pantang menyerah dan sedikit keras kepala? Penurut seperti bapak? Pintar diiringi tutur kata yang sopan, kah? Apakah kamu banyak teman? Hidupmu meyenangkan? Dan… siapakah laki-laki yang beruntung menjadi pacarmu, Aisa? Bapak hanya berharap kamu hati-hati memilih. Itu saja. Karena kebanyakan laki-laki itu brengs… ah, ibumu yang cantik itu pasti sudah mewanti-wanti tentang bahaya laten jenis kami.

Aisa Adinda,
Satu-satunya yang bapak harapkan dari kamu adalah kamu bahagia. Tidak. Kamu tidak mesti selalu tertawa. Terkadang menangis itu bagus juga. Air mata tidak akan pernah habis, dan kamu tidak akan pernah tenggelam karenanya. Hanya saja bapak ingatkan, jangan pernah kamu menangis sendirian. Apalagi tertawa. Setidaknya di zaman bapak, mereka yang tertawa sendirian biasanya dikirim ke rumah sakit jiwa.

HAHAHAHAAHA!!!

Selasa, 23 September 2008

Ya, boleh, Ndi...

"Saya ingin jadi perempuan yang berbinar-binar, Andi, yang punya mata bercahaya seperti senter yang batereinya baru semua, dengan hati yang cukup besar untuk dibagikan kepada siapapun yang saya jumpai."

Itu adalah jawaban atas pertanyaan Apa yang paling kamu inginkan di dunia ini? yang saya lempar pada seorang perempuan di seberang meja berjarak milyaran langkah jauhnya. Sungguh membuat saya terharu.
Dan sekiranya... sekiranya kita diberi kesempatan untuk berjumpa, bolehkah... bolehkah saya berharap mendapatkan porsi hati yang paling besar?

Bolehkah? Bolehkah?

Ya, boleh, Ndi...

"Saya ingin jadi perempuan yang berbinar-binar, Andi, yang punya mata bercahaya seperti senter yang batereinya baru semua, dengan hati yang cukup besar untuk dibagikan kepada siapapun yang saya jumpai."

Itu adalah jawaban atas pertanyaan Apa yang paling kamu inginkan di dunia ini? yang saya lempar pada seorang perempuan di seberang meja berjarak milyaran langkah jauhnya. Sungguh membuat saya terharu.
Dan sekiranya... sekiranya kita diberi kesempatan untuk berjumpa, bolehkah... bolehkah saya berharap mendapatkan porsi hati yang paling besar?

Bolehkah? Bolehkah?

Senin, 22 September 2008

Shit Happens Every Tuesday...


yah, itulah yang terjadi.
kalau kamu punya kemeja sedikit sekali
dan.. terlalu malas untuk mencuci

tau-tau
ke kantor hari ini
saya terpaksa pakai polo shirt
sambil berharap
nanti malam tidak lupa ngejemur cucian
yang baru tadi subuh saya rendam
dan semoga besok pagi kering
amin, ya tuhan...


"Because no man can be friends with a woman that he finds attractive. He always wants to have sex with her.”
[Harry Burns, When Harry Met Sally]

Shit Happens Every Tuesday...


yah, itulah yang terjadi.
kalau kamu punya kemeja sedikit sekali
dan.. terlalu malas untuk mencuci

tau-tau
ke kantor hari ini
saya terpaksa pakai polo shirt
sambil berharap
nanti malam tidak lupa ngejemur cucian
yang baru tadi subuh saya rendam
dan semoga besok pagi kering
amin, ya tuhan...


"Because no man can be friends with a woman that he finds attractive. He always wants to have sex with her.”
[Harry Burns, When Harry Met Sally]

Senin, 15 September 2008

Lumpiah Goreng Lumpiah Basah

Seseorang di seberang meja nun jauh di sana berjarak milyaran langkah telah melemparkan tuduhan yang kurang bertanggung jawab. “Kamu lebih tahu perempuan daripada apa yang diketahui Sigmund Freud.”

Berhubung tidak bisa menatap matanya, saya kesulitan membaca jalan pikiran si penuduh. Tengah mengejek, kah, atau jujur apa adanya. Daripada daripada, mendingan mendingan. Maka saya anggap kalimatnya itu sebagai sebuah ejekan. *sigh*

Bagaimana lagi. Sejauh yang saya tahu tentang perempuan adalah… saya paling tahu bagaimana membuat mereka marah. Sungguh, saya adalah ahlinya. Tidak membanggakan, memang, tapi itulah kenyataan. Hitung punya hitung, sepuluh jari ini nyaris habis untuk digunakan sebagai acuan berapa banyak mereka yang memutuskan untuk tidak mau berbicara dengan saya dalam waktu yang cukup lama, atau sekedar menghilang sejauh mata memandang, sampai mentabukan nama saya untuk disebut atau didengar. Sekali lagi… *sigh*.

Untuk membuat marah mereka, ternyata caranya begitu sederhana. Terkadang, saya sendiri kurang menyadari itu. Dari mulai melenyapkan hadiah anniversary cowoknya, dua tahun penuh saya tidak pernah diajak bicara seorang teman sma. Selingkuh di depan mata menjadikan saya invisible di kelas selama 2 tahun setengah. Membuat sahabat terdekat dan terpercaya menangis dengan menuduhnya macam-macam. Membanjiri ejekan (bercanda, tentu saja) via chatting pada seseorang yang saya kira orang asing (yang sialnya ternyata beliau adalah adik ipar teman sendiri) hingga ID YM saya diblokirnya. Sampai kemarin lusa…bertambah satu perempuan lagi di dunia yang membenci saya. Caranya pun demikian sederhana. Saya paksa dia makan lumpiah goreng sewaktu buka puasa. *hiks*

Tapi yang lebih hebat lagi adalah… saya tidak cukup mengerti bagaimana meminta maaf. Bayangkan, setelah melakukan serangkaian kesalahan-kesalahan itu, entah bagaimana, saya bisa dengan santai muncul di hadapan mereka dengan wajah cengengesan. Itu karena mati gaya, tentu saja. Salah tingkah. Pengetahuan saya tidak mencakup bagaimana cara menarik kembali simpati mereka. Kebiasaan buruk saya adalah menunggu dan menunggu sampai kebesaran hati merekalah yang membuat saya kembali diterima.

Karenanya, tuduhan seseorang di seberang meja nun jauh di sana berjarak milyaran langkah itu saya kembalikan. “Saya lebih tahu tentang perempuan daripada si tua Freud, karena dia yang memang ngga tahu apa-apa.”

Kepada dia yang saya paksa makan lumpiah goreng, terimalah maaf saya. Lain kali, saya bawakan lumpiah basah.


"That woman deserves her revenge and we deserve to die." [Budd, Kill Bill: Vol I]

Lumpiah Goreng Lumpiah Basah

Seseorang di seberang meja nun jauh di sana berjarak milyaran langkah telah melemparkan tuduhan yang kurang bertanggung jawab. “Kamu lebih tahu perempuan daripada apa yang diketahui Sigmund Freud.”

Berhubung tidak bisa menatap matanya, saya kesulitan membaca jalan pikiran si penuduh. Tengah mengejek, kah, atau jujur apa adanya. Daripada daripada, mendingan mendingan. Maka saya anggap kalimatnya itu sebagai sebuah ejekan. *sigh*

Bagaimana lagi. Sejauh yang saya tahu tentang perempuan adalah… saya paling tahu bagaimana membuat mereka marah. Sungguh, saya adalah ahlinya. Tidak membanggakan, memang, tapi itulah kenyataan. Hitung punya hitung, sepuluh jari ini nyaris habis untuk digunakan sebagai acuan berapa banyak mereka yang memutuskan untuk tidak mau berbicara dengan saya dalam waktu yang cukup lama, atau sekedar menghilang sejauh mata memandang, sampai mentabukan nama saya untuk disebut atau didengar. Sekali lagi… *sigh*.

Untuk membuat marah mereka, ternyata caranya begitu sederhana. Terkadang, saya sendiri kurang menyadari itu. Dari mulai melenyapkan hadiah anniversary cowoknya, dua tahun penuh saya tidak pernah diajak bicara seorang teman sma. Selingkuh di depan mata menjadikan saya invisible di kelas selama 2 tahun setengah. Membuat sahabat terdekat dan terpercaya menangis dengan menuduhnya macam-macam. Membanjiri ejekan (bercanda, tentu saja) via chatting pada seseorang yang saya kira orang asing (yang sialnya ternyata beliau adalah adik ipar teman sendiri) hingga ID YM saya diblokirnya. Sampai kemarin lusa…bertambah satu perempuan lagi di dunia yang membenci saya. Caranya pun demikian sederhana. Saya paksa dia makan lumpiah goreng sewaktu buka puasa. *hiks*

Tapi yang lebih hebat lagi adalah… saya tidak cukup mengerti bagaimana meminta maaf. Bayangkan, setelah melakukan serangkaian kesalahan-kesalahan itu, entah bagaimana, saya bisa dengan santai muncul di hadapan mereka dengan wajah cengengesan. Itu karena mati gaya, tentu saja. Salah tingkah. Pengetahuan saya tidak mencakup bagaimana cara menarik kembali simpati mereka. Kebiasaan buruk saya adalah menunggu dan menunggu sampai kebesaran hati merekalah yang membuat saya kembali diterima.

Karenanya, tuduhan seseorang di seberang meja nun jauh di sana berjarak milyaran langkah itu saya kembalikan. “Saya lebih tahu tentang perempuan daripada si tua Freud, karena dia yang memang ngga tahu apa-apa.”

Kepada dia yang saya paksa makan lumpiah goreng, terimalah maaf saya. Lain kali, saya bawakan lumpiah basah.


"That woman deserves her revenge and we deserve to die." [Budd, Kill Bill: Vol I]

Kamis, 11 September 2008

(Bukan) Tentang Kita

Cerita ini bukan tentang kita,
bukan tentangmu, bukan tentang aku
baik di masa lalu atau pun lain waktu
Tapi terdapat banyak rahasia
yang tersembunyi dan terkunci
dan hanya kita yang bisa mengerti...

Dan cerita ini memang bukan tentangmu
karena kamu tak mampu kuwakilkan
lewat kata-kata mau pun tulisan
Juga bukan tentang aku
yang hanyalah seorang biasa
baik tingkah mau pun rupa...

Tapi cerita ini memang benar untukmu
biar kamu baca, agar kamu suka
dari seseorang yang berharap
kamu memandangnya istimewa...


(menunggu kabar pak pos sampaikan titipan)

"I always tell the truth. Even when I lie."
[Tony Montana, Scarface]

(Bukan) Tentang Kita

Cerita ini bukan tentang kita,
bukan tentangmu, bukan tentang aku
baik di masa lalu atau pun lain waktu
Tapi terdapat banyak rahasia
yang tersembunyi dan terkunci
dan hanya kita yang bisa mengerti...

Dan cerita ini memang bukan tentangmu
karena kamu tak mampu kuwakilkan
lewat kata-kata mau pun tulisan
Juga bukan tentang aku
yang hanyalah seorang biasa
baik tingkah mau pun rupa...

Tapi cerita ini memang benar untukmu
biar kamu baca, agar kamu suka
dari seseorang yang berharap
kamu memandangnya istimewa...


(menunggu kabar pak pos sampaikan titipan)

"I always tell the truth. Even when I lie."
[Tony Montana, Scarface]