Kamis, 30 April 2009

Arab Gundul




Selama ini, saya paling sebal akan segala sesuatu hal yang berhubungan dengan …. Before You Die. Seperti, The Places to See Before You Die, Books to Read Before You Die. Atau juga, Things to do Before You Die. Ditambah pula dengan jawaban-jawaban yang terdengar selalu common dan biasa. Sama sekali tidak luar biaba.

Tidak menunjukkan karakter, kalau teman saya bilang.
Tidak bersifat personal, kalau tetangga saya bilang.

Misalnya,

The Places to See Before You Die.
Pasti. Jawabannya tidak akan jauh dari Paris. Paris lagi, Paris lagi. Begitu inginnyakah melihat lokasi syuting Eiffel, I’m in Love itu. Standard sekali. Tidak kreatif. Membosankan.

Kenapa demikian? Karena, eh, karena... begini.

Pertama. Ketika kamu ke Paris, kamu berada dalam urutan orang yang ke sekian puluh juta yang pernah ke sana. Sekali lagi: ke sekian puluh juta. So, apa istimewanya? Dan karena tidak istimewa, kamu tidak usah mati penasaran jika tidak pernah ke Paris, bukan?

Kedua. Ke Paris itu mudah. Tinggal berangkat. Artinya, tidak perlu masuk ke dalam kategori The Places to See Before You Die. Kenapa? Seperti saya bilang tadi, untuk ke Paris itu syaratnya ringan. Ada uang, tinggal berangkat.

Berbeda jika kamu hendak naik haji. Uang saja tidak cukup, Ncik. Selain mengantri, butuh belajar manasik telebih dahulu dengan tertib dan khusyuk.

Atau, mau berangkat ke Baghdad? Palestina? Kashmir? Pyong Yang? Uang saja tidak cukup, Sayang! Butuh nyawa berlapis tiga dan tubuh anti peluru.

Juga anti bom.

Dan kuat disiksa.


Jadi, yang betul menurut saya sebelum mati itu, orang harus bertobat benar-benar, banyak berbuat baik, meminta maaf kepada orang-orang dan membayar hutang-hutangnya. Juga, memastikan keluarga yang ditinggal tidak kekurangan.

Ini, kok..., malah ke Paris.



Namun seandainya saya mau sedikit bijak, mungkin saya akan menerima itu jika istilah tersebut diganti menjadi... Things to do Before You Getting Old and Older… and Older… and Older. Jadi lebih menarik, bukan? Tidak terdengar lebay dan murahan.

Gara-gara menonton Yes Man dan Bucket List, akhirnya saya pun terdorong untuk menulis daftar hal-hal yang ingin saya lakukan, buku-buku yang ingin saya baca, tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, dan makanan yang ingin saya cicipi sebelum tubuh ini menua dan kemampuan seluruh indera saya menurun.

Pandangan mata merabun. Jauh dekat, rabun.

Tekanan darah meninggi.

Lidah kehilangan rasa.

Gigi tanggal.

Kulit keriput.

Kolesterol tak terkendali.



Asam urat naik.

Encok langganan.

...






#1
Kursus menyanyi di Elfa’s.

Meminta langsung pada Agus Wisman untuk menjadi guru privat. Lalu mendatangi semua orang yang pernah menertawakan suara nyanyian saya di masa lalu. Jika perlu, saya akan menyanyi di hadapan mereka sebanyak satu-dua buah lagu.

Lagu ke tiga harus bayar, tentu saja.

#2
Membeli piano, lalu belajar musik klasik dan smooth jazz.

“No other acoustic instrument can match the piano's expressive range, and no electric instrument can match its mystery.”

#3
Mengikuti sekolah pilot dan menerbangkan pesawat empat penumpang Gelatik milik kantor.

Juga helikopter.

#4
Merampingkan pinggang.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#5
Dioperasi lasik.

Laser asik. Biar bebas mata ini dari kacamata minus. Dan tentunya bukan karena ingin pandangan lebih tajam sewaktu mengintip.

Tidak. Saya tidak suka mengintip.

#6
Jogging di Central Park, New York.

Mmm... New York. Sedikit terdengar glamour, mungkin. Tapi… jogging itu menyehatkan.

#7
Berkunjung ke Zihuatanejo di lepas pantai Pasifik, Meksiko.

Menyewa perahu butut di sana untuk memancing.
Memancing keributan.



Yah…, sedikit mencuri mimpi Andy Dufresne.


#8
Membuat sebuah film.
Atau terlibat dalam pembuatan sebuah film.

Bukan kaca film.

Film.

Lalu terbang ke Cannes Festival di Prancis.

Prancis yang di Eropa itu. Eropa yang memiliki empat musim itu. Yang suka turun salju itu. Salju yang dingin dan putih itu. Salju yang demikian memikat banyak orang. Salju yang turun perlahan dan dipandangi dari balik jendela rumah yang dilengkapi perapian. Sambil menghirup hangat kopi susu, tentunya. Ditemani orang tersayang.

Bercerita tentang masa lalu, hidup dan mimpi.

#9
Melahap novel-novel klasik karya Tolstoy, Hemmingway, Dickens, Keyes, S.H. Mintardja, dan lain-lain serta etc.

Juga, semua novel terbitan Balai Pustaka.

Serta puisinya.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#10
Mempelajari sejarah Perang Dunia I, II dan Perang Dingin.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#11
Menguasai Basic Skill dalam bertahan hidup di alam liar.

Membuat api unggun.
Menangkap ikan.
Mendirikan tenda.

#12
Mencicipi Ayam Kaypang.

#13
Menghisap cerutu Havana asli dari Kuba.

#14
Melepaskan diri dari kebergantungan pada teknologi.

Ponsel
Internet
TV
Lift
Motor
Mobil

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”


...


#25
Naik haji.

Haji yang di Arab itu. Arab yang banyak pasir dan batunya itu. Yang jarang pohon tumbuh itu. Yang terkenal akan kurma dan minyak itu.

Juga terkenal akan gundulnya itu.

Iya.


Arab gundul.













"Agus Wisman, terima saya menjadi muridmu."




Arab Gundul




Selama ini, saya paling sebal akan segala sesuatu hal yang berhubungan dengan …. Before You Die. Seperti, The Places to See Before You Die, Books to Read Before You Die. Atau juga, Things to do Before You Die. Ditambah pula dengan jawaban-jawaban yang terdengar selalu common dan biasa. Sama sekali tidak luar biaba.

Tidak menunjukkan karakter, kalau teman saya bilang.
Tidak bersifat personal, kalau tetangga saya bilang.

Misalnya,

The Places to See Before You Die.
Pasti. Jawabannya tidak akan jauh dari Paris. Paris lagi, Paris lagi. Begitu inginnyakah melihat lokasi syuting Eiffel, I’m in Love itu. Standard sekali. Tidak kreatif. Membosankan.

Kenapa demikian? Karena, eh, karena... begini.

Pertama. Ketika kamu ke Paris, kamu berada dalam urutan orang yang ke sekian puluh juta yang pernah ke sana. Sekali lagi: ke sekian puluh juta. So, apa istimewanya? Dan karena tidak istimewa, kamu tidak usah mati penasaran jika tidak pernah ke Paris, bukan?

Kedua. Ke Paris itu mudah. Tinggal berangkat. Artinya, tidak perlu masuk ke dalam kategori The Places to See Before You Die. Kenapa? Seperti saya bilang tadi, untuk ke Paris itu syaratnya ringan. Ada uang, tinggal berangkat.

Berbeda jika kamu hendak naik haji. Uang saja tidak cukup, Ncik. Selain mengantri, butuh belajar manasik telebih dahulu dengan tertib dan khusyuk.

Atau, mau berangkat ke Baghdad? Palestina? Kashmir? Pyong Yang? Uang saja tidak cukup, Sayang! Butuh nyawa berlapis tiga dan tubuh anti peluru.

Juga anti bom.

Dan kuat disiksa.


Jadi, yang betul menurut saya sebelum mati itu, orang harus bertobat benar-benar, banyak berbuat baik, meminta maaf kepada orang-orang dan membayar hutang-hutangnya. Juga, memastikan keluarga yang ditinggal tidak kekurangan.

Ini, kok..., malah ke Paris.



Namun seandainya saya mau sedikit bijak, mungkin saya akan menerima itu jika istilah tersebut diganti menjadi... Things to do Before You Getting Old and Older… and Older… and Older. Jadi lebih menarik, bukan? Tidak terdengar lebay dan murahan.

Gara-gara menonton Yes Man dan Bucket List, akhirnya saya pun terdorong untuk menulis daftar hal-hal yang ingin saya lakukan, buku-buku yang ingin saya baca, tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, dan makanan yang ingin saya cicipi sebelum tubuh ini menua dan kemampuan seluruh indera saya menurun.

Pandangan mata merabun. Jauh dekat, rabun.

Tekanan darah meninggi.

Lidah kehilangan rasa.

Gigi tanggal.

Kulit keriput.

Kolesterol tak terkendali.



Asam urat naik.

Encok langganan.

...






#1
Kursus menyanyi di Elfa’s.

Meminta langsung pada Agus Wisman untuk menjadi guru privat. Lalu mendatangi semua orang yang pernah menertawakan suara nyanyian saya di masa lalu. Jika perlu, saya akan menyanyi di hadapan mereka sebanyak satu-dua buah lagu.

Lagu ke tiga harus bayar, tentu saja.

#2
Membeli piano, lalu belajar musik klasik dan smooth jazz.

“No other acoustic instrument can match the piano's expressive range, and no electric instrument can match its mystery.”

#3
Mengikuti sekolah pilot dan menerbangkan pesawat empat penumpang Gelatik milik kantor.

Juga helikopter.

#4
Merampingkan pinggang.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#5
Dioperasi lasik.

Laser asik. Biar bebas mata ini dari kacamata minus. Dan tentunya bukan karena ingin pandangan lebih tajam sewaktu mengintip.

Tidak. Saya tidak suka mengintip.

#6
Jogging di Central Park, New York.

Mmm... New York. Sedikit terdengar glamour, mungkin. Tapi… jogging itu menyehatkan.

#7
Berkunjung ke Zihuatanejo di lepas pantai Pasifik, Meksiko.

Menyewa perahu butut di sana untuk memancing.
Memancing keributan.



Yah…, sedikit mencuri mimpi Andy Dufresne.


#8
Membuat sebuah film.
Atau terlibat dalam pembuatan sebuah film.

Bukan kaca film.

Film.

Lalu terbang ke Cannes Festival di Prancis.

Prancis yang di Eropa itu. Eropa yang memiliki empat musim itu. Yang suka turun salju itu. Salju yang dingin dan putih itu. Salju yang demikian memikat banyak orang. Salju yang turun perlahan dan dipandangi dari balik jendela rumah yang dilengkapi perapian. Sambil menghirup hangat kopi susu, tentunya. Ditemani orang tersayang.

Bercerita tentang masa lalu, hidup dan mimpi.

#9
Melahap novel-novel klasik karya Tolstoy, Hemmingway, Dickens, Keyes, S.H. Mintardja, dan lain-lain serta etc.

Juga, semua novel terbitan Balai Pustaka.

Serta puisinya.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#10
Mempelajari sejarah Perang Dunia I, II dan Perang Dingin.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#11
Menguasai Basic Skill dalam bertahan hidup di alam liar.

Membuat api unggun.
Menangkap ikan.
Mendirikan tenda.

#12
Mencicipi Ayam Kaypang.

#13
Menghisap cerutu Havana asli dari Kuba.

#14
Melepaskan diri dari kebergantungan pada teknologi.

Ponsel
Internet
TV
Lift
Motor
Mobil

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”


...


#25
Naik haji.

Haji yang di Arab itu. Arab yang banyak pasir dan batunya itu. Yang jarang pohon tumbuh itu. Yang terkenal akan kurma dan minyak itu.

Juga terkenal akan gundulnya itu.

Iya.


Arab gundul.













"Agus Wisman, terima saya menjadi muridmu."




Rabu, 22 April 2009

B 1195 NS



menunggu itu
diiringi kesal
gerutu
dan keluhan

menunggu itu
melirik jam tangan
dan berharap hari
cepat selesai

















..

menunggu itu
di tengah hujan
dengan rokok
berbatang-batang

menunggu itu
sia-sia
bangkit saja
pulang saja



B 1195 NS



menunggu itu
diiringi kesal
gerutu
dan keluhan

menunggu itu
melirik jam tangan
dan berharap hari
cepat selesai

















..

menunggu itu
di tengah hujan
dengan rokok
berbatang-batang

menunggu itu
sia-sia
bangkit saja
pulang saja



Selasa, 21 April 2009

AA Gymnastium

 
 
 
“Nasi goreng, mie instant, gorengan dan semua makanan berminyak harap dikurangi. Kalau bisa, sama sekali ditinggalkan. Usahakan pilih makanan yang dimasak secara rebus dan bakar.”

”Jeroan?”

”Jeroan, seperti usus dan babat, tidak boleh dimakan sama sekali.”

”Haram?”

”Bukan haram. Tapi tidak bergizi dan banyak mengandung racun bagi tubuh.”

”Racun? Seperti sianida?”

”...”

”Sate kambing?”

”Boleh, asal tidak pakai lemak.”

”Yess!! Salad?”

”Boleh.”

”Ayam bakar?”

”Boleh. Utamakan bagian dada. Dada itu lebih montok daripada paha mulus. Eh, maksud saya, dada lebih banyak mengandung protein daripada paha.”

“…”

“Dada ayam, bukan dada kamu.”

Begitulah kira-kira perbincangan saya dengan seorang instruktur kebugaran. Sejak awal April ini, saya rajin olahraga di sebuah gym. Fitness, kalau orang sekarang bilang. Latihan kardio selama satu jam, dilanjutkan dengan angkat beban untuk membentuk tubuh yang singset dan seksi. Kadang diselingi spinning, salsa, pilates dan yoga.

”Jangan cuma pintar, tapi badan juga harus bugar.”
”Jangan cuma pandai, tapi tubuh juga harus aduhai.”

Begitulah quote yang terus terngiang-ngiang di benak saya selama sebulan ini. Mirip dengan apa yang dibilang Luna Maya, ”Otak dan penampilan itu memang perlu. Tapi kalau stamina ngga fit, apa artinya?”

Setuju, Mba.

Maka, berbekal kesadaran untuk hidup sehat dan bugar, berangkatlah saya ke gym tiga kali seminggu. Latihan berat saya jalani dengan sabar dan tekun. Keringat selalu membanjir dan badan pegal linu dibuatnya. Apalagi kalau sudah sesi yoga. Wuihhh... selain badan capek, punggung saya sering bercucuran darah. Si pelatih yoga yang secara kebetulan orang India itu selalu menyuruh saya tidur di atas ranjang paku.

Belum lagi, iman saya yang kuat banyak diuji. Maklum, perempuan-perempuan di gym senang sekali berpakaian seksi. Seksi sekali. Sangat seksi. Yaaa... amat seksi. Bahkan kadang-kadang, kata seksi pun tidak cukup. Mungkin... seksoy jauh lebih tepat. Karenanya, kedua mata ini sering kelilipan. Dan pandangan saya menjadi sangat terbatas. Di mana mata memandang, di sana sensor menantang.

Tadinya saya mau mengajukan protes pada mereka. Tapi jumlah mereka lebih banyak. Saya kalah suara. Dan orang besar adalah orang yang mau menerima kekalahan, bukan?






”Mas Andi, tolong bantu saya sit-up, dong.”
“…”



AA Gymnastium

 
 
 
“Nasi goreng, mie instant, gorengan dan semua makanan berminyak harap dikurangi. Kalau bisa, sama sekali ditinggalkan. Usahakan pilih makanan yang dimasak secara rebus dan bakar.”

”Jeroan?”

”Jeroan, seperti usus dan babat, tidak boleh dimakan sama sekali.”

”Haram?”

”Bukan haram. Tapi tidak bergizi dan banyak mengandung racun bagi tubuh.”

”Racun? Seperti sianida?”

”...”

”Sate kambing?”

”Boleh, asal tidak pakai lemak.”

”Yess!! Salad?”

”Boleh.”

”Ayam bakar?”

”Boleh. Utamakan bagian dada. Dada itu lebih montok daripada paha mulus. Eh, maksud saya, dada lebih banyak mengandung protein daripada paha.”

“…”

“Dada ayam, bukan dada kamu.”

Begitulah kira-kira perbincangan saya dengan seorang instruktur kebugaran. Sejak awal April ini, saya rajin olahraga di sebuah gym. Fitness, kalau orang sekarang bilang. Latihan kardio selama satu jam, dilanjutkan dengan angkat beban untuk membentuk tubuh yang singset dan seksi. Kadang diselingi spinning, salsa, pilates dan yoga.

”Jangan cuma pintar, tapi badan juga harus bugar.”
”Jangan cuma pandai, tapi tubuh juga harus aduhai.”

Begitulah quote yang terus terngiang-ngiang di benak saya selama sebulan ini. Mirip dengan apa yang dibilang Luna Maya, ”Otak dan penampilan itu memang perlu. Tapi kalau stamina ngga fit, apa artinya?”

Setuju, Mba.

Maka, berbekal kesadaran untuk hidup sehat dan bugar, berangkatlah saya ke gym tiga kali seminggu. Latihan berat saya jalani dengan sabar dan tekun. Keringat selalu membanjir dan badan pegal linu dibuatnya. Apalagi kalau sudah sesi yoga. Wuihhh... selain badan capek, punggung saya sering bercucuran darah. Si pelatih yoga yang secara kebetulan orang India itu selalu menyuruh saya tidur di atas ranjang paku.

Belum lagi, iman saya yang kuat banyak diuji. Maklum, perempuan-perempuan di gym senang sekali berpakaian seksi. Seksi sekali. Sangat seksi. Yaaa... amat seksi. Bahkan kadang-kadang, kata seksi pun tidak cukup. Mungkin... seksoy jauh lebih tepat. Karenanya, kedua mata ini sering kelilipan. Dan pandangan saya menjadi sangat terbatas. Di mana mata memandang, di sana sensor menantang.

Tadinya saya mau mengajukan protes pada mereka. Tapi jumlah mereka lebih banyak. Saya kalah suara. Dan orang besar adalah orang yang mau menerima kekalahan, bukan?






”Mas Andi, tolong bantu saya sit-up, dong.”
“…”



Senin, 20 April 2009

Selamat Hari Kartini


Sedikit sekali orang yang tahu bahwa Ibu Kita Kartini memiliki seorang kakak laki-laki bernama Raden Mas Panji Sosro Kartono. Demi keakraban, mari kita panggil saja dia Paman Kita Kartono.

Yang menjadi pertanyaan adalah, pentingkah untuk tahu dan mengenal si Paman?

Ketahuilah, beliau seorang pahlawan yang berjasa besar. Saya sendiri tidak mengerti bagaimana namanya bisa tenggelam sedemikian rupa. Dengan skill, intelejensi dan jasa yang di atas rata-rata, saya sangat setuju jika Paman Kita Kartono sudah sepatutnya disejajarkan dalam deretan pahlawan nasional dan riwayatnya dikenalkan pada para murid sekolah dalam pelajaran PSPB dan Sejarah.

Berikut ini adalah prestasi dan jasa si Paman:
#1
Pemuda Indonesia pertama yang melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Ya, Belanda yang terkenal dengan bunga tulip dan windmill itu. Dan kejunya. Dan marijuananya yang legal dan bebas dihisap nikmat. Dan perkawinan gay-nya.
Gelar sarjana yang disandang Paman Kita kartono adalah Docterandus in de Oostersche Talen dari Universiteit Leiden.

#2
Wartawan perang asal Indonesia pertama sewaktu Perang Dunia I.
Salah satu keberhasilan si Paman sebagai wartawan adalah ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang menyerah dan tentara Prancis yang menang perang.

#3
Menguasai 17 bahasa asing. Sebagian sumber malah menyebutkan hingga 29 bahasa, termasuk Sansekerta. Bahkan ada gosip, beliau menguasai bahasa jin dan para binatang.

Gosip itu, saya yang menyebarkan.

#4
Mendirikan balai pengobatan tradisional, sekolah dan perpustakaan di bandung. Si Paman memang seorang intelektual sekaligus tabib yang mumpuni. Rumahnya selalu didatangi banyak tamu dari berbagai kalangan.

“Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang berarti rumah kedamaian,” tulis Kartono dalam suratnya kepada Mevrow Abendanon.

Siapa itu Abendanon?

Ih.

#5
Ahli sastra dan pidato yang tentunya cinta tanah air. Pernah menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Belgia. Paman di sana mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia-Belanda yang tak dipenuhi pemerintah jajahan. Dalam pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia), si Paman antara lain mengungkapkan:
“Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”

#6
Masih banyak lagi.



Quote-nya yang terkenal adalah:

Sugih tanpa banda
Digdaya tanpa aji
Nglurug tanpa bala
Menang tanpa ngasorake

Kaya tanpa harta
Sakti tanpa azimat
Menyerbu tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan



Paman Kartono, selamat hari Kartini...




(dari berbagai sumber gosip)





Selamat Hari Kartini


Sedikit sekali orang yang tahu bahwa Ibu Kita Kartini memiliki seorang kakak laki-laki bernama Raden Mas Panji Sosro Kartono. Demi keakraban, mari kita panggil saja dia Paman Kita Kartono.

Yang menjadi pertanyaan adalah, pentingkah untuk tahu dan mengenal si Paman?

Ketahuilah, beliau seorang pahlawan yang berjasa besar. Saya sendiri tidak mengerti bagaimana namanya bisa tenggelam sedemikian rupa. Dengan skill, intelejensi dan jasa yang di atas rata-rata, saya sangat setuju jika Paman Kita Kartono sudah sepatutnya disejajarkan dalam deretan pahlawan nasional dan riwayatnya dikenalkan pada para murid sekolah dalam pelajaran PSPB dan Sejarah.

Berikut ini adalah prestasi dan jasa si Paman:
#1
Pemuda Indonesia pertama yang melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Ya, Belanda yang terkenal dengan bunga tulip dan windmill itu. Dan kejunya. Dan marijuananya yang legal dan bebas dihisap nikmat. Dan perkawinan gay-nya.
Gelar sarjana yang disandang Paman Kita kartono adalah Docterandus in de Oostersche Talen dari Universiteit Leiden.

#2
Wartawan perang asal Indonesia pertama sewaktu Perang Dunia I.
Salah satu keberhasilan si Paman sebagai wartawan adalah ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang menyerah dan tentara Prancis yang menang perang.

#3
Menguasai 17 bahasa asing. Sebagian sumber malah menyebutkan hingga 29 bahasa, termasuk Sansekerta. Bahkan ada gosip, beliau menguasai bahasa jin dan para binatang.

Gosip itu, saya yang menyebarkan.

#4
Mendirikan balai pengobatan tradisional, sekolah dan perpustakaan di bandung. Si Paman memang seorang intelektual sekaligus tabib yang mumpuni. Rumahnya selalu didatangi banyak tamu dari berbagai kalangan.

“Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang berarti rumah kedamaian,” tulis Kartono dalam suratnya kepada Mevrow Abendanon.

Siapa itu Abendanon?

Ih.

#5
Ahli sastra dan pidato yang tentunya cinta tanah air. Pernah menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Belgia. Paman di sana mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia-Belanda yang tak dipenuhi pemerintah jajahan. Dalam pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Indonesia), si Paman antara lain mengungkapkan:
“Dengan tegas saya menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci. Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”

#6
Masih banyak lagi.



Quote-nya yang terkenal adalah:

Sugih tanpa banda
Digdaya tanpa aji
Nglurug tanpa bala
Menang tanpa ngasorake

Kaya tanpa harta
Sakti tanpa azimat
Menyerbu tanpa pasukan
Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan



Paman Kartono, selamat hari Kartini...




(dari berbagai sumber gosip)





Kamis, 16 April 2009

SMS

 
 
First I was dying to finish my high school
and start college
And then I was dying to finish college
and start working
Then I was dying to marry
and have children 
And then I was dying for my children to grow old enough
so I could go back to work
But then I was dying to retire
And now I'm dying
And suddenly I realized
I forgot to live

Please don't let this happen to you
Appreciate your current each situation
and enjoy each day

-An Old Friend-


SMS

 
 
First I was dying to finish my high school
and start college
And then I was dying to finish college
and start working
Then I was dying to marry
and have children 
And then I was dying for my children to grow old enough
so I could go back to work
But then I was dying to retire
And now I'm dying
And suddenly I realized
I forgot to live

Please don't let this happen to you
Appreciate your current each situation
and enjoy each day

-An Old Friend-


Selasa, 14 April 2009

Aisa



Sayang, apa kabar?
Sudah lama menunggu?
Maafkan bapak atas surat yang demikian jarang. Ini bukan karena bapak terlalu sibuk dengan pekerjaan, atau sombong akibat kebanyakan uang. Dan jangan sekali-kali menuduh bapak tengah mencari ibu baru buatmu.

Aih.

Simpan segera curiga itu, Aisa. Dan mari kita berbincang sejenak tentang apa saja yang kamu suka. Tentang tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Tentang orang-orang yang dirindukan. Janji-janji yang belum terbayar. Mimpi-mimpi yang belum kesampaian.

Atau kamu ingin bapak ceritakan juga tentang dunia kami, para laki-laki…

Tapi seandainya kamu mau mendengar sedikit cerita bapak, ketahuilah, bahwa saat ini ada belahan lain di dunia yang bapak ingin berada di sana. Bersama seseorang yang padanya rindu disandarkan. Sekedar untuk menunaikan satu-dua janji dan menuai mimpi-mimpi yang sudah lama tertanam.

Di sana, di belahan lain dunia, tempat yang ingin bapak berada itu, tinggallah seorang puteri cantik. Teramat cantik, dia. Bahkan, kata cantik pun masih kurang rasanya. Sekira terdapat istilah lain, sudah bapak gunakan itu sejak dulu. Sudah bapak gunakan untuk memuji, membujuk dan merayu. Tapi apa daya bapak, Aisa? Kosakata bapak terbatas pada kamus Bahasa Indonesia yang ada.

Serupa dengan wajahnya, namanya pun tak kalah cantik. Huruf-hurufnya disusun oleh deretan abjad yang terpilih. Namanya mengartikan paras, pengetahuan dan tingkah laku yang juga cantik. Seakan-akan, si pemberi nama memang tahu benar bahwa kelak ia akan tumbuh seperti saat ini.

Setiap kali nama itu disebut, langsung bergetar hati bapak. Berdebar lebih kencang jantung bapak. Dan untuk sesaat, bapak hanya terdiam, tanpa berbuat apa hingga semua teredam.

Aisa, dialah ibu yang kelak melahirkanmu ke dunia. Dunia yang bapak harap tidak membuatmu kecewa. Dunia yang bapak harap tawa adalah pesona dan tangis adalah hiasannya.

Namun, sayang, untuk bisa ke sana, antriannya amatlah panjang. Panjang sekali. Laki-laki semua yang mengantri. Diatara mereka, banyak lelaki hebat. Dibandingkan bapak? Mereka tak ada apa-apanya. Tapi bapak mendapatkan nomor urut paling belakang. Itu masalahnya.

Si putri cantik ini perlu berjinjit sangat tinggi untuk sekedar menyadari bahwa bapakmu turut mengantri.

Mengantri dengan sabar dan tanpa mengeluh, tentunya. Sambil melambai-lambaikan tangan, mencari perhatian.

Dan seandainya takdir mempermainkan kita yang membuat kita berdua tidak akan pernah berjumpa, ijinkanlah bapak mengutip kata-kata ini:

Would you know my name if I saw you in heaven, Aisa?




Aisa



Sayang, apa kabar?
Sudah lama menunggu?
Maafkan bapak atas surat yang demikian jarang. Ini bukan karena bapak terlalu sibuk dengan pekerjaan, atau sombong akibat kebanyakan uang. Dan jangan sekali-kali menuduh bapak tengah mencari ibu baru buatmu.

Aih.

Simpan segera curiga itu, Aisa. Dan mari kita berbincang sejenak tentang apa saja yang kamu suka. Tentang tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Tentang orang-orang yang dirindukan. Janji-janji yang belum terbayar. Mimpi-mimpi yang belum kesampaian.

Atau kamu ingin bapak ceritakan juga tentang dunia kami, para laki-laki…

Tapi seandainya kamu mau mendengar sedikit cerita bapak, ketahuilah, bahwa saat ini ada belahan lain di dunia yang bapak ingin berada di sana. Bersama seseorang yang padanya rindu disandarkan. Sekedar untuk menunaikan satu-dua janji dan menuai mimpi-mimpi yang sudah lama tertanam.

Di sana, di belahan lain dunia, tempat yang ingin bapak berada itu, tinggallah seorang puteri cantik. Teramat cantik, dia. Bahkan, kata cantik pun masih kurang rasanya. Sekira terdapat istilah lain, sudah bapak gunakan itu sejak dulu. Sudah bapak gunakan untuk memuji, membujuk dan merayu. Tapi apa daya bapak, Aisa? Kosakata bapak terbatas pada kamus Bahasa Indonesia yang ada.

Serupa dengan wajahnya, namanya pun tak kalah cantik. Huruf-hurufnya disusun oleh deretan abjad yang terpilih. Namanya mengartikan paras, pengetahuan dan tingkah laku yang juga cantik. Seakan-akan, si pemberi nama memang tahu benar bahwa kelak ia akan tumbuh seperti saat ini.

Setiap kali nama itu disebut, langsung bergetar hati bapak. Berdebar lebih kencang jantung bapak. Dan untuk sesaat, bapak hanya terdiam, tanpa berbuat apa hingga semua teredam.

Aisa, dialah ibu yang kelak melahirkanmu ke dunia. Dunia yang bapak harap tidak membuatmu kecewa. Dunia yang bapak harap tawa adalah pesona dan tangis adalah hiasannya.

Namun, sayang, untuk bisa ke sana, antriannya amatlah panjang. Panjang sekali. Laki-laki semua yang mengantri. Diatara mereka, banyak lelaki hebat. Dibandingkan bapak? Mereka tak ada apa-apanya. Tapi bapak mendapatkan nomor urut paling belakang. Itu masalahnya.

Si putri cantik ini perlu berjinjit sangat tinggi untuk sekedar menyadari bahwa bapakmu turut mengantri.

Mengantri dengan sabar dan tanpa mengeluh, tentunya. Sambil melambai-lambaikan tangan, mencari perhatian.

Dan seandainya takdir mempermainkan kita yang membuat kita berdua tidak akan pernah berjumpa, ijinkanlah bapak mengutip kata-kata ini:

Would you know my name if I saw you in heaven, Aisa?




Senin, 13 April 2009

Tungguuuuuu....




















kepada si cantik
jangan cepat-cepat besar, ya
nikmati saja masa kanak-kanak
bermain sana sepuasnya
naik sepeda
lari-lari
dan berenang




















hidup ini menyenangkan
jika tanpa prasangka buruk, tentunya
dan tuduhan-tuduhan




















cantik
paman tunggu
duapuluh tahun lagi





11 April 2009
Cipanas, Garut

Tungguuuuuu....




















kepada si cantik
jangan cepat-cepat besar, ya
nikmati saja masa kanak-kanak
bermain sana sepuasnya
naik sepeda
lari-lari
dan berenang




















hidup ini menyenangkan
jika tanpa prasangka buruk, tentunya
dan tuduhan-tuduhan




















cantik
paman tunggu
duapuluh tahun lagi





11 April 2009
Cipanas, Garut

Senin, 06 April 2009

..




pernah pada suatu pagi
seusai kami sembahyang subuh
ibu memanggil saya masuk ke dalam kamarnya
dan berbisik

“Lihat ini.”

selembar cek atas pembelian mobil pertama keluarga kami
saya baru kelas empat sd waktu itu



di suatu hari yang cerah
sewaktu saya siap-siap berangkat ke sekolah
ibu memanggil dari arah dapur
tangannya masih sibuk dengan penggorengan

“Andi, coba lihat di halaman siapa yang datang.”

tiga orang menurunkan sebuah sepeda motor ke dalam garasi rumah

“Jangan mengebut, ya.”

ibu saya
si pembuat kejutan




sewaktu saya masuk smp
sewaktu masuk sma
kuliah
lulus
dan diterima kerja…
di kampung sana
ibu selalu melangsungkan syukuran
dan membagi-bagikan makanan
pada mereka yang membutuhkan

tanpa sepengetahuan saya
puteranya

ibu saya
juru doa setia



setelah tiada
oleh siapa
doa untuk saya
dilantunkan?



hidup ini berat ya, bu…




..




pernah pada suatu pagi
seusai kami sembahyang subuh
ibu memanggil saya masuk ke dalam kamarnya
dan berbisik

“Lihat ini.”

selembar cek atas pembelian mobil pertama keluarga kami
saya baru kelas empat sd waktu itu



di suatu hari yang cerah
sewaktu saya siap-siap berangkat ke sekolah
ibu memanggil dari arah dapur
tangannya masih sibuk dengan penggorengan

“Andi, coba lihat di halaman siapa yang datang.”

tiga orang menurunkan sebuah sepeda motor ke dalam garasi rumah

“Jangan mengebut, ya.”

ibu saya
si pembuat kejutan




sewaktu saya masuk smp
sewaktu masuk sma
kuliah
lulus
dan diterima kerja…
di kampung sana
ibu selalu melangsungkan syukuran
dan membagi-bagikan makanan
pada mereka yang membutuhkan

tanpa sepengetahuan saya
puteranya

ibu saya
juru doa setia



setelah tiada
oleh siapa
doa untuk saya
dilantunkan?



hidup ini berat ya, bu…




Jumat, 03 April 2009

Maafkan Kami, DR. Herry Suhardiyanto...



Kembali ke Buitenzorg tidak seperti kembali ke kotamu. Yang dicari tidak ada di sini. Yang dibayang-bayangkan tidak juga muncul. Yang diharap, mengkhianati. Yang dicemaskan, terjadi.

“Di Rindu Alam puncak, matahari terbitnya keren, Bung!! Dari parkiran mobilnya, kita bisa lihat matahari muncul dari balik gunung.”

Begitu yang dibilang teman saya, seorang dosen harapan masa depan. Seorang PNS Golongan IIIA, tengah mengambil S2. Jujur dia punya sikap. Manis tutur katanya. Di pundaknya kelak, bersandar nasib pendidikan negeri kita.

Sambil dipeluk angin bersuhu amat rendah, berangkatlah kami dari Bandung pada pagi buta. Kokok ayam belum terdengar. Para bencong pun masih belum bubar. Mereka masih di tengah misi. Dan dari kami bertiga tidak ada satu pun yang sudah mandi.

“Ini Bandung, Bung. Dingin.”

Mobil dinas ditancap gasnya sedemikian rupa. Satu persatu yang menghalangi, berhasil kami lewati. Tidak peduli itu bis atau truk gandengan. Kami sedang mengejar terbitnya matahari.

Dalam satu setengah jam, kami sudah berada di kawasan Puncak, Cianjur. Langit mulai terang dan di arah timur sudah terlihat warna kemerahan. Mobil dinas pun semakin dipaksa bekerja di batas maksimalnya.

“Mari kita manfaatkan mobil dinas ini sebelum bapak saya pensiun dua tahun lagi.”

MenDikNas, maafkan kami.

Tapi penyesalan langsung pupus begitu saja sewaktu Restoran Rindu Alam terlihat oleh pandangan mata. Masih ada 1-2 menit hingga matahari terbit, sepertinya. Mobil pun segera menepi. Dan…

Dan…

Dan…

“Sejak kapan Rindu Alam pindah jadi menghadap ke arah barat, ya…”

Yah… dimaklumi. Mungkin waktu itu beliau tidak membawa kompas. Atau dia keliru, yang dia lihat bukan sun rise, tapi sun tet.

Maka, setelah menggerutu sejenak, perjalanan dilanjutkan menuju Buitenzorg. Cukup satu jam hingga kami tiba di kota. Dan… Ya, ampun. Suasana pagi di sana sungguh mengerikan. Macet panjang, terutama di arah menuju Jakarta. Dan jumlah angkotnya sangat mendominasi jalan aspal. Seakan-akan, jalan dibangun memang diperuntukkan bagi mereka sahaja.

“Ini bukan kota hujan. Ini kota angkot. Atau dulu pernah hujan angkot.”

Begitu yang dijelaskan teman saya. Karena pelancongan sebelumnya dilakukan pada malam hari, kali ini si dosen mulai menjelaskan satu persatu tiap sudut Buitenzorg.

“McD di sini lebih murah daripada di Bandung.”
“Ada dua terminal angkot yang saling berdekatan. Satu milik kotamadya, satu milik kabupaten.”
“Jalan lubang dan becek seperti ini biasa, Bung. Jangan protes. Di depan masih banyak lagi.”
“Itu warung baso paling enak di Buitenzorg. Catat: di Buitenzorg.”
”Polisi di sini baik-baik. Naik motor tanpa helm ngga akan ditilang. Yang ngga boleh, jalan kaki di atas trotoar sambil pakai helm. Disangka ngejek, ntar.”

Pemandangan di luar jendela tidak menarik minat kami. Tapi tidak apa. Toh, tujuan utama perjalanan ini adalah mengabadikan kampus IPB yang rimbun oleh pepohonan. Terbayang oleh kami hutan semi tropis yang masih perawan dan jalan setapak penghubung antar gedung kuliah di sana. Beserta penghuninya, tentu saja.

Penghuni yang manis, tentu saja. Jenis perempuannya, tentu saja. Tapi, tidak akan kami apa-apakan, tentu saja. Tidak berani, tentu saja.

Menjelang pukul tujuh pagi, kami memasuki pintu gerbang kampus. Bayar seribu rupiah untuk parkir mobil, lalu…

Pagi di Institut Pertanian Buitenzorg. Cahaya matahari malu-malu di sini.

Mereka menyebutnya danau.

Jalan setapak menuju Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

"Suka ada orang gila duduk-duduk di sini kalau saya lewat. Saya bertahan selama ini dengan memikirkan bahwa orang gila itu ialah sebenarnya artis sinetron... yang seksi... seksi sekali... sangat seksi sekali... Ya, betul-betul seksi sekali..."


Keluhan pertama kami di kampus ini adalah sulitnya mencari kantin yang nyaman untuk sekedar minum jus atau ngopi. Juga kantin yang menyediakan asbak. Jadilah kami si turis lokal mengotori lantai dengan abu dan puntung rokok.

Rektor IPB, maafkan.

Tapi penyesalan justru kembali berubah menjadi keluhan dan gerutuan sewaktu kami mulai menyusuri kampus dengan berjalan kaki. Manis di awal, getir di akhir. Mirip bait lagu kau yang memulai kau yang mengakhiri.

Sementara teman saya si dosen mengikuti kuliah, pada pukul sembilan, berdua kami berjalan kaki di jalan utama kampus. Tidak butuh mobil agar bebas masuk keluar hutan. Atau kebon, tepatnya?

Di sepanjang jalan, sesekali kami melirik hutan di sisi kanan. Sesekali kami masuk, dan tidak lama keluar lagi karena medan yang terlalu berbahaya. Juga karena sayang sepatu saya baru. Tshirt saya baru. Jaket saya baru. Baru dibeli semalam. Begitu juga yang dikenakan teman saya.

Padahal, masih lama menuju lebaran.

Ini kami sudah berjalan lebih dari satu kilometer, tapi tidak ada lagi yang menarik untuk dipotret.. Udaranya tidak ramah, cukup gerah. Keringat bercucuran, banyak nyamuk dan kami tidak tahu jalan di hadapan kami menuju ke mana.

Khawatir tersesat, kami pun mengambil langkah bijaksana, yaitu kembali ke parkiran. Dengan mobil, sekali lagi berputar. Dan… parkir di tempat lain, lalu berjalan kaki lagi. Dan… panasnya. Gerahnya. Mampir sebentar ke sebuah kantin untuk minum.

"Tidak jual Teh Botol????"

Pilihan pun jatuh pada, konon, itu jus jeruk dan alpukat. Dan… kembali ke mobil, parkir di tempat semula. Dan... menggerutu.

Sudah pukul sebelas, si dosen belum muncul juga. Kami mencoba bersabar.

Tunggu sebentar. Saya lagi Facebook-an…

Itu pesan pendek dari teman saya si dosen yang sedang beasiswa menimba ilmu S2 di IPB.





Maafkan Kami, DR. Herry Suhardiyanto...



Kembali ke Buitenzorg tidak seperti kembali ke kotamu. Yang dicari tidak ada di sini. Yang dibayang-bayangkan tidak juga muncul. Yang diharap, mengkhianati. Yang dicemaskan, terjadi.

“Di Rindu Alam puncak, matahari terbitnya keren, Bung!! Dari parkiran mobilnya, kita bisa lihat matahari muncul dari balik gunung.”

Begitu yang dibilang teman saya, seorang dosen harapan masa depan. Seorang PNS Golongan IIIA, tengah mengambil S2. Jujur dia punya sikap. Manis tutur katanya. Di pundaknya kelak, bersandar nasib pendidikan negeri kita.

Sambil dipeluk angin bersuhu amat rendah, berangkatlah kami dari Bandung pada pagi buta. Kokok ayam belum terdengar. Para bencong pun masih belum bubar. Mereka masih di tengah misi. Dan dari kami bertiga tidak ada satu pun yang sudah mandi.

“Ini Bandung, Bung. Dingin.”

Mobil dinas ditancap gasnya sedemikian rupa. Satu persatu yang menghalangi, berhasil kami lewati. Tidak peduli itu bis atau truk gandengan. Kami sedang mengejar terbitnya matahari.

Dalam satu setengah jam, kami sudah berada di kawasan Puncak, Cianjur. Langit mulai terang dan di arah timur sudah terlihat warna kemerahan. Mobil dinas pun semakin dipaksa bekerja di batas maksimalnya.

“Mari kita manfaatkan mobil dinas ini sebelum bapak saya pensiun dua tahun lagi.”

MenDikNas, maafkan kami.

Tapi penyesalan langsung pupus begitu saja sewaktu Restoran Rindu Alam terlihat oleh pandangan mata. Masih ada 1-2 menit hingga matahari terbit, sepertinya. Mobil pun segera menepi. Dan…

Dan…

Dan…

“Sejak kapan Rindu Alam pindah jadi menghadap ke arah barat, ya…”

Yah… dimaklumi. Mungkin waktu itu beliau tidak membawa kompas. Atau dia keliru, yang dia lihat bukan sun rise, tapi sun tet.

Maka, setelah menggerutu sejenak, perjalanan dilanjutkan menuju Buitenzorg. Cukup satu jam hingga kami tiba di kota. Dan… Ya, ampun. Suasana pagi di sana sungguh mengerikan. Macet panjang, terutama di arah menuju Jakarta. Dan jumlah angkotnya sangat mendominasi jalan aspal. Seakan-akan, jalan dibangun memang diperuntukkan bagi mereka sahaja.

“Ini bukan kota hujan. Ini kota angkot. Atau dulu pernah hujan angkot.”

Begitu yang dijelaskan teman saya. Karena pelancongan sebelumnya dilakukan pada malam hari, kali ini si dosen mulai menjelaskan satu persatu tiap sudut Buitenzorg.

“McD di sini lebih murah daripada di Bandung.”
“Ada dua terminal angkot yang saling berdekatan. Satu milik kotamadya, satu milik kabupaten.”
“Jalan lubang dan becek seperti ini biasa, Bung. Jangan protes. Di depan masih banyak lagi.”
“Itu warung baso paling enak di Buitenzorg. Catat: di Buitenzorg.”
”Polisi di sini baik-baik. Naik motor tanpa helm ngga akan ditilang. Yang ngga boleh, jalan kaki di atas trotoar sambil pakai helm. Disangka ngejek, ntar.”

Pemandangan di luar jendela tidak menarik minat kami. Tapi tidak apa. Toh, tujuan utama perjalanan ini adalah mengabadikan kampus IPB yang rimbun oleh pepohonan. Terbayang oleh kami hutan semi tropis yang masih perawan dan jalan setapak penghubung antar gedung kuliah di sana. Beserta penghuninya, tentu saja.

Penghuni yang manis, tentu saja. Jenis perempuannya, tentu saja. Tapi, tidak akan kami apa-apakan, tentu saja. Tidak berani, tentu saja.

Menjelang pukul tujuh pagi, kami memasuki pintu gerbang kampus. Bayar seribu rupiah untuk parkir mobil, lalu…

Pagi di Institut Pertanian Buitenzorg. Cahaya matahari malu-malu di sini.

Mereka menyebutnya danau.

Jalan setapak menuju Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

"Suka ada orang gila duduk-duduk di sini kalau saya lewat. Saya bertahan selama ini dengan memikirkan bahwa orang gila itu ialah sebenarnya artis sinetron... yang seksi... seksi sekali... sangat seksi sekali... Ya, betul-betul seksi sekali..."


Keluhan pertama kami di kampus ini adalah sulitnya mencari kantin yang nyaman untuk sekedar minum jus atau ngopi. Juga kantin yang menyediakan asbak. Jadilah kami si turis lokal mengotori lantai dengan abu dan puntung rokok.

Rektor IPB, maafkan.

Tapi penyesalan justru kembali berubah menjadi keluhan dan gerutuan sewaktu kami mulai menyusuri kampus dengan berjalan kaki. Manis di awal, getir di akhir. Mirip bait lagu kau yang memulai kau yang mengakhiri.

Sementara teman saya si dosen mengikuti kuliah, pada pukul sembilan, berdua kami berjalan kaki di jalan utama kampus. Tidak butuh mobil agar bebas masuk keluar hutan. Atau kebon, tepatnya?

Di sepanjang jalan, sesekali kami melirik hutan di sisi kanan. Sesekali kami masuk, dan tidak lama keluar lagi karena medan yang terlalu berbahaya. Juga karena sayang sepatu saya baru. Tshirt saya baru. Jaket saya baru. Baru dibeli semalam. Begitu juga yang dikenakan teman saya.

Padahal, masih lama menuju lebaran.

Ini kami sudah berjalan lebih dari satu kilometer, tapi tidak ada lagi yang menarik untuk dipotret.. Udaranya tidak ramah, cukup gerah. Keringat bercucuran, banyak nyamuk dan kami tidak tahu jalan di hadapan kami menuju ke mana.

Khawatir tersesat, kami pun mengambil langkah bijaksana, yaitu kembali ke parkiran. Dengan mobil, sekali lagi berputar. Dan… parkir di tempat lain, lalu berjalan kaki lagi. Dan… panasnya. Gerahnya. Mampir sebentar ke sebuah kantin untuk minum.

"Tidak jual Teh Botol????"

Pilihan pun jatuh pada, konon, itu jus jeruk dan alpukat. Dan… kembali ke mobil, parkir di tempat semula. Dan... menggerutu.

Sudah pukul sebelas, si dosen belum muncul juga. Kami mencoba bersabar.

Tunggu sebentar. Saya lagi Facebook-an…

Itu pesan pendek dari teman saya si dosen yang sedang beasiswa menimba ilmu S2 di IPB.





Janji Di Atas Ingkar




kepada si penuduh
saya berjanji
untuk tidak marah-marah
sensitif
dan
jika bercerita
tidak lagi menggantung


terimakasih
untuk tidak meminta
janji berhenti
berbohong



Janji Di Atas Ingkar




kepada si penuduh
saya berjanji
untuk tidak marah-marah
sensitif
dan
jika bercerita
tidak lagi menggantung


terimakasih
untuk tidak meminta
janji berhenti
berbohong