Jumat, 28 Desember 2007

Resolusi (lagi?)

Beberapa hari lagi saya akan menginjak tahun 2008. Berarti, ini adalah kali ke 29 saya menemui malam pergantian tahun. Cukup fantastis, menurut saya. Meski bukan angka cantik, tentunya. Diberi kesempatan berdiri di muka planet ini selama itu, apa saja yang sudah saya dapatkan? Prestasi apa saja yang sudah saya peroleh? Karya apa yang sudah saya ciptakan?

Tidak. Bukan. Salah pertanyaannya. Selama puluhan kali diberi kesempatan mengitari matahari, apa saja yang sudah saya berikan? Pada keluarga, teman, sahabat, lingkungan dan seluruh dunia? Bukankah, konon, manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat?

Hmm. Jadi malu.

Patut saya akui, penghasilan materi saya masih sedikit. Tapi, apa yang sudah saya berikan jauh... jauh... jauh lebih sedikit lagi. Apalagi perhatian dan kasih sayang. Bukan hanya sekedar sedikit memberi, tapi ternyata saya malah sangat banyak menuntut. Menuntut dan meminta ini-itu serta 'a 'i 'u.

Semakin malu.

Tapi, tidak apalah. Toh, untuk seorang seperti saya, yang sejak kecil dibesarkan untuk menjadi orang paling sombong setelah Ahmad Dhani, tidak perlu merasa malu akan sesuatu yang tidak jelas.

Jadi, resolusi tahun 2008? Tidak perlu!

Ah... hebatnya gaung kata-kata itu.

Resolusi (lagi?)

Beberapa hari lagi saya akan menginjak tahun 2008. Berarti, ini adalah kali ke 29 saya menemui malam pergantian tahun. Cukup fantastis, menurut saya. Meski bukan angka cantik, tentunya. Diberi kesempatan berdiri di muka planet ini selama itu, apa saja yang sudah saya dapatkan? Prestasi apa saja yang sudah saya peroleh? Karya apa yang sudah saya ciptakan?

Tidak. Bukan. Salah pertanyaannya. Selama puluhan kali diberi kesempatan mengitari matahari, apa saja yang sudah saya berikan? Pada keluarga, teman, sahabat, lingkungan dan seluruh dunia? Bukankah, konon, manusia terbaik adalah manusia yang paling bermanfaat?

Hmm. Jadi malu.

Patut saya akui, penghasilan materi saya masih sedikit. Tapi, apa yang sudah saya berikan jauh... jauh... jauh lebih sedikit lagi. Apalagi perhatian dan kasih sayang. Bukan hanya sekedar sedikit memberi, tapi ternyata saya malah sangat banyak menuntut. Menuntut dan meminta ini-itu serta 'a 'i 'u.

Semakin malu.

Tapi, tidak apalah. Toh, untuk seorang seperti saya, yang sejak kecil dibesarkan untuk menjadi orang paling sombong setelah Ahmad Dhani, tidak perlu merasa malu akan sesuatu yang tidak jelas.

Jadi, resolusi tahun 2008? Tidak perlu!

Ah... hebatnya gaung kata-kata itu.

Rabu, 26 Desember 2007

Gagal Maning

Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.

Bukan. Mungkin yang lebih tepat adalah:

Kita mendapatkan pelajaran lebih banyak dari sebuah kegagalan dibandingkan lima keberhasilan.

Hmm. Tidak. Mungkin yang lebih bagus:

Setiap orang sukses pasti lebih banyak mengalami kegagalan dibandingkan jumlah keberhasilannya.

Yeah, rite.
Tetap saja, bagaimanapun, mengalami kegagalan itu pahit rasanya untuk waktu yang cukup lama.

Beberapa minggu yang lalu saya mengikuti seleksi penawaran beasiswa S2 jurusan Defense Management di ITB. Berbekal Indeks Prestasi paspasan, speaking English yang minim dan rasa percaya diri berlebih, saya diinterview selama limabelas menit. Cas cis cus dan wes wes wey.
Sayang, beberapa hari kemudian diumumkan bahwa saya unsuccessful, katanya.

Ada rasa seperti tertekan dada ini sewaktu menerima kabar tersebut. Juga rasa ngilu yang lumayan. Plus pegal-pegal. Saya termenung untuk beberapa saat, tidak sanggup bereaksi apa-apa. Karena sungguh, saya benar-benar ingin mendapatkan beasiswa ini.

Tapi, bukan Andi Eriawan namanya jika harus menyerah. Saat itu juga, melalui email, saya menghubungi salah satu panitia untuk menanyakan hal ihwal dan sebab-musabab kegagalan saya. Sekiranya mungkin saya masih dapat diberi kesempatan kedua. Siapa tahu, dengan menunjukkan kegigihan dapat terjadi keajaiban.

Tapi itu hanya ada di dalam novel, ternyata.

Defense management adalah cabang ilmu yang sangat menarik menurut saya. Lulusannya bisa menjadi Zu Ghe Liang, ahli siasat perang dalam Romance Three Kingdom, atau Machiavelli abad 21. Sekali lagi, menurut saya, keren sekali, bukan?

Selain itu, saya dan seorang teman sudah mereka-reka rencana sekiranya kami berdua diberi kesempatan kembali kuliah. Sudah terbayang dalam benak di mana kami kongkow-kongkow di lapang basket kampus sambil menikmati kafein dan nikotin. Ditambah pemandangan para mahasiswi.

Yah... sebenarnya hal ini yang paling utama.

Gagal Maning

Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.

Bukan. Mungkin yang lebih tepat adalah:

Kita mendapatkan pelajaran lebih banyak dari sebuah kegagalan dibandingkan lima keberhasilan.

Hmm. Tidak. Mungkin yang lebih bagus:

Setiap orang sukses pasti lebih banyak mengalami kegagalan dibandingkan jumlah keberhasilannya.

Yeah, rite.
Tetap saja, bagaimanapun, mengalami kegagalan itu pahit rasanya untuk waktu yang cukup lama.

Beberapa minggu yang lalu saya mengikuti seleksi penawaran beasiswa S2 jurusan Defense Management di ITB. Berbekal Indeks Prestasi paspasan, speaking English yang minim dan rasa percaya diri berlebih, saya diinterview selama limabelas menit. Cas cis cus dan wes wes wey.
Sayang, beberapa hari kemudian diumumkan bahwa saya unsuccessful, katanya.

Ada rasa seperti tertekan dada ini sewaktu menerima kabar tersebut. Juga rasa ngilu yang lumayan. Plus pegal-pegal. Saya termenung untuk beberapa saat, tidak sanggup bereaksi apa-apa. Karena sungguh, saya benar-benar ingin mendapatkan beasiswa ini.

Tapi, bukan Andi Eriawan namanya jika harus menyerah. Saat itu juga, melalui email, saya menghubungi salah satu panitia untuk menanyakan hal ihwal dan sebab-musabab kegagalan saya. Sekiranya mungkin saya masih dapat diberi kesempatan kedua. Siapa tahu, dengan menunjukkan kegigihan dapat terjadi keajaiban.

Tapi itu hanya ada di dalam novel, ternyata.

Defense management adalah cabang ilmu yang sangat menarik menurut saya. Lulusannya bisa menjadi Zu Ghe Liang, ahli siasat perang dalam Romance Three Kingdom, atau Machiavelli abad 21. Sekali lagi, menurut saya, keren sekali, bukan?

Selain itu, saya dan seorang teman sudah mereka-reka rencana sekiranya kami berdua diberi kesempatan kembali kuliah. Sudah terbayang dalam benak di mana kami kongkow-kongkow di lapang basket kampus sambil menikmati kafein dan nikotin. Ditambah pemandangan para mahasiswi.

Yah... sebenarnya hal ini yang paling utama.