Senin, 22 Juni 2009

Hush Hush...




“Duh, saya sibuk banget! Ngga sempat makan. Jadinya kena maag…”

“Deadline sialan!”
“Hari kemarin, lembur. Besok lembur lagi!”
“Maaf, saya ngga bisa. Banyak kerjaan di kantor…”
“Ugh, boro-boro nonton. Bisa mandi aja sudah syukur….”




Ini mungkin yang dimaksud dengan istilah: dipoyok, dilebok. Artinya: ngeluh, tapi terus dilakukan.

Atau, ada juga beberapa yang hanya ingin memberikan kesan kepada orang-orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush…”

Dan sebaliknya, banyak sekali… banyak nian yang bertanya pada saya betapa saya ini tampak santai dan tidak ada kerjaan. Sempat-sempatnya menonton dvd, jalan-jalan melulu, karaoke, ongkang-ongkang kaki, kongkow di kafe…

Online yahoo messenger…
.
.
Fitness…
.
.
.



Biasanya saya beri jawaban,

“Dengan skill dan intelejensi yang saya miliki, semua pekerjaan dapat saya selesaikan dalam hitungan menit. Itu pun hanya menggunakan sebelah tangan kiri dan mata terpejamkan.”



Tentu, hanya bercanda. Saya pun terkadang pakai tangan kanan sesekali.



Memangnya, pekerjaan saya banyak atau tidak, sih?

Pertanyaan menyebalkan.

Sebanyak apa pun pekerjaan kita, kan sekarang sudah ada komputer. Ada telepon. Ada internet. Ada mesin fax. Kalau masih merasa bahwa pekerjaan kantor itu banyak banget, ugh, jangan-jangan… itu masalah skill dan intelejensi saja…


Bercanda, ah. Jangan marah.

Mungkin cuma sekedar ingin memberi kesan kepada banyak orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush hush…”








Bapak, kalau putramu ini jarang menelepon dan jarang pulang kampung, itu bukan karena sibuk dengan kerjaan. Bukan, Pak. Sama sekali bukan.






Tapi karena… lupa.








Hush Hush...




“Duh, saya sibuk banget! Ngga sempat makan. Jadinya kena maag…”

“Deadline sialan!”
“Hari kemarin, lembur. Besok lembur lagi!”
“Maaf, saya ngga bisa. Banyak kerjaan di kantor…”
“Ugh, boro-boro nonton. Bisa mandi aja sudah syukur….”




Ini mungkin yang dimaksud dengan istilah: dipoyok, dilebok. Artinya: ngeluh, tapi terus dilakukan.

Atau, ada juga beberapa yang hanya ingin memberikan kesan kepada orang-orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush…”

Dan sebaliknya, banyak sekali… banyak nian yang bertanya pada saya betapa saya ini tampak santai dan tidak ada kerjaan. Sempat-sempatnya menonton dvd, jalan-jalan melulu, karaoke, ongkang-ongkang kaki, kongkow di kafe…

Online yahoo messenger…
.
.
Fitness…
.
.
.



Biasanya saya beri jawaban,

“Dengan skill dan intelejensi yang saya miliki, semua pekerjaan dapat saya selesaikan dalam hitungan menit. Itu pun hanya menggunakan sebelah tangan kiri dan mata terpejamkan.”



Tentu, hanya bercanda. Saya pun terkadang pakai tangan kanan sesekali.



Memangnya, pekerjaan saya banyak atau tidak, sih?

Pertanyaan menyebalkan.

Sebanyak apa pun pekerjaan kita, kan sekarang sudah ada komputer. Ada telepon. Ada internet. Ada mesin fax. Kalau masih merasa bahwa pekerjaan kantor itu banyak banget, ugh, jangan-jangan… itu masalah skill dan intelejensi saja…


Bercanda, ah. Jangan marah.

Mungkin cuma sekedar ingin memberi kesan kepada banyak orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush hush…”








Bapak, kalau putramu ini jarang menelepon dan jarang pulang kampung, itu bukan karena sibuk dengan kerjaan. Bukan, Pak. Sama sekali bukan.






Tapi karena… lupa.








Minggu, 21 Juni 2009



jika makanan itu pacar
dan makanan enak itu pacar yang menyenangkan
dan makanan mahal itu pacar yang matre

kami sudah puluhan tahun berpacaran


tapi
kali ini
saya merasa dikhianati






jika makanan itu pacar
dan makanan enak itu pacar yang menyenangkan
dan makanan mahal itu pacar yang matre

kami sudah puluhan tahun berpacaran


tapi
kali ini
saya merasa dikhianati




Rabu, 17 Juni 2009

Satu Milyar Duapuluh Satu




Adalah waktu itu tengah malam di bukit Sukawana. Berempat kami membangun sebuah tenda, menghangatkan tubuh di sekeliling api unggun sambil memanggang sosis yang ditusuk ranting cemara. Di belakang kami, bayang gelap Gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu. Di hadapan, terhampar kerlip lampu kota Bandung penuh warna dan warni. Ada biru laut. Ada kuning langsat. Ada pink tua. Juga ada hijau botol. Botolnya botol saos.

Sementara langit, tidak ada yang dapat diceritakan tentangnya. Seperti bintik jerawat di wajah kamu, langit malam ditaburi semilyar duapuluh dua bintang. Baru usai saya hitung semua, satu persatu. Lalu kembali mengulangnya dari awal. Kali ini masing-masing saya beri nama.

Dan bulan, di manakah kamu berada?

Begitu saya bertanya dalam hati. Lupa, jika saat itu akhir bulan. Pantas saja dompet terasa tipis sekali di pantat.

Acara yang sungguh membosankan mengingat tidak ada satu pun yang membawa gitar. Apalagi harmonika. Tapi, sekalipun seseorang membawa harmonika, tidak ada satupun diantara kami yang bisa memainkannya. Jangankan meniup harmonika, bersiul saja kami sumbang.

Setelah usai memberi nama pada bintang-bintang di langit (tentu, saya beri nama kamu pada yang paling terang), seseorang akhirnya membuka suara.

Yaitu, saya sendiri.

“Menurut kalian, apa yang paling menarik di dunia ini?”

.

.

Tak ada yang menjawab. Diam semua. Ada yang terlihat begitu mengantuk, membiarkan sosis panggangannya hangus hitam. Ada yang melamun, memandang ke arah semilyar duapuluh satu bintang (iya, sudah saya simpan satu untuk kamu sebagai oleh-oleh pulang). Mungkin sedang memikirkan pacarnya. Mungkin selingkuhannya. Dan ada yang duduk berjongkok memunggungi kami, menghadapkan tubuhnya ke arah gunung. Sama-sama melamun. Atau sedang pundung?

Sepertinya pertanyaan saya tentang hal yang paling menarik di dunia ini sama sekali tidak menarik bagi mereka. Tak tega diri ini mengganggu keasyikan masing-masing. Tapi, setelah dipikir ulang, lebih baik tega daripada bengong.

“Kamu,” kata saya pada teman nomor satu sambil menunjuk ke arah wajahnya menggunakan sosis hangus, “lakukan sesuatu untuk menghibur kita semua.”

Maka jadilah area api unggun ini sebagai panggung hiburan.

“Untuk menghibur hati yang murung, ijinkanlah saya menyumbangkan sebuah lagu.”

Teman nomor satu ini memang punya suara yang mumpuni. Merdu sangat. Juga khas. Nafasnya pun amat kuat. Jika beliau menyanyi, burung-burung pun akan diam khidmad medengarkan. Daun-daun berguguran, tak kuasa menahan berat suaranya. Lalu air mata kita akan mengalir tanpa terasa. Dan ingatan pun terbang menuju berbagai peristiwa. Kekasih yang pergi, keluarga yang ditinggalkan, serta gaduh seisi rumah saat merayakan lebaran.

Sudah beberapa kali dia menjuarai Festival Bintang Radio dan Televisi. Tawaran untuk masuk ke dapur rekaman bukannya tidak pernah datang, tapi justru sebaliknya. Ia tolak satu persatu setiap kontrak yang disodorkan.

“Saya cuma ingin berduet…
…Dan saya menunggu pasangan yang benar-benar tepat.”

Dan suasana di bukit Sukawana menjadi syahdu sewaktu beliau membawakan Perfect Day. Mata kami mulai basah di Merepih Alam. Lalu, kerinduan pada ayah menjadi menggebu sewaktu beliau mendendangkan lagu Daddy. Terpaksa saya menghentikannya sebelum kami semua ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan memeluk ayah kami.

“Berikutnya,” kata saya pada teman nomor dua yang kedapatan sedang menyeka air mata.

Tahu benar bahwa saya tidak suka menunggu, teman saya mengeluarkan sesuatu dari tasnya: sebuah saklar. Dia berdiri, sebentar membersihkan tanah di pantat, lalu menghadap ke arah hamparan kota. Bibirnya tersenyum, kini. Tersenyum simpul. Tapi dia sungguh keliru jika mengira manis senyumannya. Namun demikian, itu sungguh senyum yang sangat misterius dan membuat penasaran.

“Lihat,” dia bilang.

Tombol saklar pun ditekan. Terdengar suara klik, dan satu-persatu lampu kota Bandung dan sekitarnya padam. Jutaan lampu padam. Padam tak bersisa. Dibuatnya Bandung gelap gulita. Juga Cimahi, Soreang dan Kabupaten Bandung Barat. Juga Banjaran. Juga Ujungberung. Juga Jatinangor.

Juga rumah kamu.

“Belum selesai,” katanya lagi, seakan masih ada kejutan lain.

Suara klik kembali terdengar. Tapi tidak ada sesuatu yang terjadi. Kami tidak melihat ada perubahan sesuatu apa.

“Lihat ke arah timur.”

Serta merta kami bertiga menggerakkan kepala. Tapi dasar mereka yang tidak terbiasa dengan mata angin, maka pandangan mereka berbeda-beda arahnya. Ada yang ke atas ke bawah. Dan ada yang ke semak-semak. Hanya saya, dan cuma saya yang mengarahkan pandangan dengan benar. Cuma saya yang tahu bagaimana menentukan arah timur di malam hari dengan benar. Karena sangat mudah. Amat mudah.

Untuk menentukan di mana itu timur, kamu cukup dengan mengetahui arah barat terlebih dahulu. Lalu, putar tubuhmu dengan sudut 180 derajat celcius.

Dan di sana, di arah timur sana, samar-samar saya melihat sebuah lampu menyala, menerangi sebuah rumah. Hanya satu, lain tidak.

Saya tahu pemilik rumah itu.

Rumah pacarnya.

.

Sungguh menarik. Menarik sekali. Lain waktu akan saya pinjam saklar tersebut. Akan saya padamkan lampu rumah kamu. Ya, hanya rumah kamu. Lalu saya datang ke sana dengan membawa sebatang lilin dan senter. Lalu kita berdua akan candle light dinner.

Setelah meminta si anak Direktur PLN mengembalikan lampu-lampu kota ke sedia kala, saya menunjuk teman nomor tiga.

“Giliran kamu. Berceritalah.”

Nah, teman satu ini rajanya mendongeng. Beliau punya koleksi dongeng klasik yang nyaris tak terbatas. Dari manca negara. Berbagai daerah. Maka, dimulailah cerita nasib buruk tukang celup yang terkenal itu.

Alkisah, seorang pencuri sedang beraksi. Mengendap-endap ia pada atap sebuah rumah yang diincarnya. Dasar nasib buruk, atap rumah tersebut tiba-tiba roboh, tidak kuat menahan beban tubuhnya. Ia pun jatuh dan mati.

Anggota keluarga si pencuri tidak menerima kejadian tersebut, lalu menuntut si pemilik rumah ke pengadilan. Alasannya: Gara-gara atap rumah yang tidak kuat, saudara/ ayah/ putera/ menantu kami meninggal dunia. Sang hakim yang adil mengabulkan tuntutannya, menjatuhkan hukuman gantung sampai mati pada si pemilik rumah.
Tapi si pemilik rumah membela diri.

“Bukan salah saya, Pak Hakim.Ini salah tukang kayu yang membuat atap. Dia yang membuat atap rumah saya tidak kuat.”

Maka sang hakim pun memanggil tukang kayu dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tapi si tukang kayu membela diri.

“Ini salah si janda tetangga saya yang berbaju hijau, Pak Hakim. Gara-gara baju hijaunya yang menyala, perhatian saya terbagi sewaktu membuat atap rumah.”

Maka sang hakim memanggil si janda dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Si janda pun membela diri.

“Ini salah tukang celup, Pak Hakim. Saya meminta baju saya dicelup warna coklat, jadinya malah hijau muda.”

Maka tukang celup pun dipanggil. Tidak bisa membela diri, sang hakim menjatuhkan hukuman mati pada si tukang celup dengan cara digantung. Seorang algojo ditugaskan untuk melaksanakan eksekusi. Tapi dasar algojo, tiang gantungannya terlalu pendek bagi si tukang celup yang bertubuh tinggi itu. Akibatnya, meski tali gantungan sudah melingkar di leher, tapi tukang celup tidak mati-mati juga. Lalu sang algojo melaporkan masalah tersebut pada sang hakim.

Kata hakim, “Bodoh kamu. Cari saja tukang celup pendek.”

Maka, seorang tukang celup bertubuh pendek pun ditangkap dan dihukum gantung sampai mati.








Sebuah dongeng pengantar tidur yang sangat ciamik. Kami berempat mimpi indah malam itu. Senyum tipis menyungging di masing-masing wajah kami.











Sukawana, 10 Maret 2001







Satu Milyar Duapuluh Satu




Adalah waktu itu tengah malam di bukit Sukawana. Berempat kami membangun sebuah tenda, menghangatkan tubuh di sekeliling api unggun sambil memanggang sosis yang ditusuk ranting cemara. Di belakang kami, bayang gelap Gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu. Di hadapan, terhampar kerlip lampu kota Bandung penuh warna dan warni. Ada biru laut. Ada kuning langsat. Ada pink tua. Juga ada hijau botol. Botolnya botol saos.

Sementara langit, tidak ada yang dapat diceritakan tentangnya. Seperti bintik jerawat di wajah kamu, langit malam ditaburi semilyar duapuluh dua bintang. Baru usai saya hitung semua, satu persatu. Lalu kembali mengulangnya dari awal. Kali ini masing-masing saya beri nama.

Dan bulan, di manakah kamu berada?

Begitu saya bertanya dalam hati. Lupa, jika saat itu akhir bulan. Pantas saja dompet terasa tipis sekali di pantat.

Acara yang sungguh membosankan mengingat tidak ada satu pun yang membawa gitar. Apalagi harmonika. Tapi, sekalipun seseorang membawa harmonika, tidak ada satupun diantara kami yang bisa memainkannya. Jangankan meniup harmonika, bersiul saja kami sumbang.

Setelah usai memberi nama pada bintang-bintang di langit (tentu, saya beri nama kamu pada yang paling terang), seseorang akhirnya membuka suara.

Yaitu, saya sendiri.

“Menurut kalian, apa yang paling menarik di dunia ini?”

.

.

Tak ada yang menjawab. Diam semua. Ada yang terlihat begitu mengantuk, membiarkan sosis panggangannya hangus hitam. Ada yang melamun, memandang ke arah semilyar duapuluh satu bintang (iya, sudah saya simpan satu untuk kamu sebagai oleh-oleh pulang). Mungkin sedang memikirkan pacarnya. Mungkin selingkuhannya. Dan ada yang duduk berjongkok memunggungi kami, menghadapkan tubuhnya ke arah gunung. Sama-sama melamun. Atau sedang pundung?

Sepertinya pertanyaan saya tentang hal yang paling menarik di dunia ini sama sekali tidak menarik bagi mereka. Tak tega diri ini mengganggu keasyikan masing-masing. Tapi, setelah dipikir ulang, lebih baik tega daripada bengong.

“Kamu,” kata saya pada teman nomor satu sambil menunjuk ke arah wajahnya menggunakan sosis hangus, “lakukan sesuatu untuk menghibur kita semua.”

Maka jadilah area api unggun ini sebagai panggung hiburan.

“Untuk menghibur hati yang murung, ijinkanlah saya menyumbangkan sebuah lagu.”

Teman nomor satu ini memang punya suara yang mumpuni. Merdu sangat. Juga khas. Nafasnya pun amat kuat. Jika beliau menyanyi, burung-burung pun akan diam khidmad medengarkan. Daun-daun berguguran, tak kuasa menahan berat suaranya. Lalu air mata kita akan mengalir tanpa terasa. Dan ingatan pun terbang menuju berbagai peristiwa. Kekasih yang pergi, keluarga yang ditinggalkan, serta gaduh seisi rumah saat merayakan lebaran.

Sudah beberapa kali dia menjuarai Festival Bintang Radio dan Televisi. Tawaran untuk masuk ke dapur rekaman bukannya tidak pernah datang, tapi justru sebaliknya. Ia tolak satu persatu setiap kontrak yang disodorkan.

“Saya cuma ingin berduet…
…Dan saya menunggu pasangan yang benar-benar tepat.”

Dan suasana di bukit Sukawana menjadi syahdu sewaktu beliau membawakan Perfect Day. Mata kami mulai basah di Merepih Alam. Lalu, kerinduan pada ayah menjadi menggebu sewaktu beliau mendendangkan lagu Daddy. Terpaksa saya menghentikannya sebelum kami semua ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan memeluk ayah kami.

“Berikutnya,” kata saya pada teman nomor dua yang kedapatan sedang menyeka air mata.

Tahu benar bahwa saya tidak suka menunggu, teman saya mengeluarkan sesuatu dari tasnya: sebuah saklar. Dia berdiri, sebentar membersihkan tanah di pantat, lalu menghadap ke arah hamparan kota. Bibirnya tersenyum, kini. Tersenyum simpul. Tapi dia sungguh keliru jika mengira manis senyumannya. Namun demikian, itu sungguh senyum yang sangat misterius dan membuat penasaran.

“Lihat,” dia bilang.

Tombol saklar pun ditekan. Terdengar suara klik, dan satu-persatu lampu kota Bandung dan sekitarnya padam. Jutaan lampu padam. Padam tak bersisa. Dibuatnya Bandung gelap gulita. Juga Cimahi, Soreang dan Kabupaten Bandung Barat. Juga Banjaran. Juga Ujungberung. Juga Jatinangor.

Juga rumah kamu.

“Belum selesai,” katanya lagi, seakan masih ada kejutan lain.

Suara klik kembali terdengar. Tapi tidak ada sesuatu yang terjadi. Kami tidak melihat ada perubahan sesuatu apa.

“Lihat ke arah timur.”

Serta merta kami bertiga menggerakkan kepala. Tapi dasar mereka yang tidak terbiasa dengan mata angin, maka pandangan mereka berbeda-beda arahnya. Ada yang ke atas ke bawah. Dan ada yang ke semak-semak. Hanya saya, dan cuma saya yang mengarahkan pandangan dengan benar. Cuma saya yang tahu bagaimana menentukan arah timur di malam hari dengan benar. Karena sangat mudah. Amat mudah.

Untuk menentukan di mana itu timur, kamu cukup dengan mengetahui arah barat terlebih dahulu. Lalu, putar tubuhmu dengan sudut 180 derajat celcius.

Dan di sana, di arah timur sana, samar-samar saya melihat sebuah lampu menyala, menerangi sebuah rumah. Hanya satu, lain tidak.

Saya tahu pemilik rumah itu.

Rumah pacarnya.

.

Sungguh menarik. Menarik sekali. Lain waktu akan saya pinjam saklar tersebut. Akan saya padamkan lampu rumah kamu. Ya, hanya rumah kamu. Lalu saya datang ke sana dengan membawa sebatang lilin dan senter. Lalu kita berdua akan candle light dinner.

Setelah meminta si anak Direktur PLN mengembalikan lampu-lampu kota ke sedia kala, saya menunjuk teman nomor tiga.

“Giliran kamu. Berceritalah.”

Nah, teman satu ini rajanya mendongeng. Beliau punya koleksi dongeng klasik yang nyaris tak terbatas. Dari manca negara. Berbagai daerah. Maka, dimulailah cerita nasib buruk tukang celup yang terkenal itu.

Alkisah, seorang pencuri sedang beraksi. Mengendap-endap ia pada atap sebuah rumah yang diincarnya. Dasar nasib buruk, atap rumah tersebut tiba-tiba roboh, tidak kuat menahan beban tubuhnya. Ia pun jatuh dan mati.

Anggota keluarga si pencuri tidak menerima kejadian tersebut, lalu menuntut si pemilik rumah ke pengadilan. Alasannya: Gara-gara atap rumah yang tidak kuat, saudara/ ayah/ putera/ menantu kami meninggal dunia. Sang hakim yang adil mengabulkan tuntutannya, menjatuhkan hukuman gantung sampai mati pada si pemilik rumah.
Tapi si pemilik rumah membela diri.

“Bukan salah saya, Pak Hakim.Ini salah tukang kayu yang membuat atap. Dia yang membuat atap rumah saya tidak kuat.”

Maka sang hakim pun memanggil tukang kayu dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tapi si tukang kayu membela diri.

“Ini salah si janda tetangga saya yang berbaju hijau, Pak Hakim. Gara-gara baju hijaunya yang menyala, perhatian saya terbagi sewaktu membuat atap rumah.”

Maka sang hakim memanggil si janda dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Si janda pun membela diri.

“Ini salah tukang celup, Pak Hakim. Saya meminta baju saya dicelup warna coklat, jadinya malah hijau muda.”

Maka tukang celup pun dipanggil. Tidak bisa membela diri, sang hakim menjatuhkan hukuman mati pada si tukang celup dengan cara digantung. Seorang algojo ditugaskan untuk melaksanakan eksekusi. Tapi dasar algojo, tiang gantungannya terlalu pendek bagi si tukang celup yang bertubuh tinggi itu. Akibatnya, meski tali gantungan sudah melingkar di leher, tapi tukang celup tidak mati-mati juga. Lalu sang algojo melaporkan masalah tersebut pada sang hakim.

Kata hakim, “Bodoh kamu. Cari saja tukang celup pendek.”

Maka, seorang tukang celup bertubuh pendek pun ditangkap dan dihukum gantung sampai mati.








Sebuah dongeng pengantar tidur yang sangat ciamik. Kami berempat mimpi indah malam itu. Senyum tipis menyungging di masing-masing wajah kami.











Sukawana, 10 Maret 2001







Senin, 15 Juni 2009

Menunggu Hujan Reda...



"Kalau istrinya orang Padang, bisa jadi Capres..."
Begitu kata Pak Bambang.














Ingin cepat pulang
tapi mampir dulu ke RM Simpang Raya....





Menunggu Hujan Reda...



"Kalau istrinya orang Padang, bisa jadi Capres..."
Begitu kata Pak Bambang.














Ingin cepat pulang
tapi mampir dulu ke RM Simpang Raya....





Kamis, 11 Juni 2009

Monyet!





Luar negeri itu begitu memikat, ya. Menawan hati sebagian besar orang. Dari mulai ingin kuliah, bekerja, sampai dipinang bule dan diboyong untuk tinggal di sana.

Di luar negeri itu, kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa. Begitulah cerita mereka sepulang dari luar negeri.

Lalu, bagaimana dengan saya?

Hmm.

Sejak menjelang kelulusan dulu, nyaris semua orang-orang terdekat menganjurkan saya untuk melanjutkan sekolah di luar. Luar negeri, bukan di luar rumah. Ada yang menganjurkan ke Belanda, Jepang, Jerman, sampai ke Korea. Korea bagian selatan, tentunya. Kalau yang di utara, itu bagi mereka yang hendak kuliah di akhirat. Atau menguji kekebalan tubuh.

Dengan gagahnya waktu itu saya menolak. Menampik. Bukan. Bukan karena takut ditolak oleh para calon pemberi beasiswa. Bukan pula karena TOEFL saya rendah (bahkan, saya belum pernah ikut test TOEFL). Dan meski kemungkinannya memang ditolak, tapi bukan karena itu.

Saya sendiri awalnya kebingungan. Seorang saya yang sejak kecil senang sekali menuntut ilmu, dan bercita-cita amat luhur, kenapa tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah di luar negeri asing. Di kampus-kampus terbaik di dunia. Di negeri-negeri yang kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa.

Kenapa, ya, saya tidak tertarik?

Kenapa?

Kenapa, wahai diri, kenapa?

Begitu saya bertanya-tanya dalam hati selama beberapa tahun ke belakang. Bertahun-tahun, lho. Lama, itu. Selama bertahun-tahun, saya memikirkan hanya itu dan itu saja. Yang lain tidak. Kamu juga tidak.

Dan, sampai saat ini pun, jawaban itu belum saya temukan. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa… tidak usahlah saya memikirkan hal yang tidak-tidak. Masih banyak hal lain dalam hidup yang harus dipikirkan benar-benar. Misalkan, bagaimana mengatasi masalah celana saya yang melorot semua akibat sukses berolahraga. Atau, lagu-lagu apa yang harus saya nyanyikan di acara karaoke mendatang. Atau, menyelesaikan perhitungan luas dan vektor normal persegi sembarang.




Ya. Mungkin karena saya begitu terikat dengan negeri ini, bumi dan manusianya.
(Aih. Indahnya gaung kata-kata itu.)




Bandung,
setengah jam menjelang
tengah malam
sehabis menyimak
mimpi seseorang









“Hindia adalah rimba belantara dan aku hanya salah satu dari jutaan monyetnya.”
[Minke]






Monyet!





Luar negeri itu begitu memikat, ya. Menawan hati sebagian besar orang. Dari mulai ingin kuliah, bekerja, sampai dipinang bule dan diboyong untuk tinggal di sana.

Di luar negeri itu, kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa. Begitulah cerita mereka sepulang dari luar negeri.

Lalu, bagaimana dengan saya?

Hmm.

Sejak menjelang kelulusan dulu, nyaris semua orang-orang terdekat menganjurkan saya untuk melanjutkan sekolah di luar. Luar negeri, bukan di luar rumah. Ada yang menganjurkan ke Belanda, Jepang, Jerman, sampai ke Korea. Korea bagian selatan, tentunya. Kalau yang di utara, itu bagi mereka yang hendak kuliah di akhirat. Atau menguji kekebalan tubuh.

Dengan gagahnya waktu itu saya menolak. Menampik. Bukan. Bukan karena takut ditolak oleh para calon pemberi beasiswa. Bukan pula karena TOEFL saya rendah (bahkan, saya belum pernah ikut test TOEFL). Dan meski kemungkinannya memang ditolak, tapi bukan karena itu.

Saya sendiri awalnya kebingungan. Seorang saya yang sejak kecil senang sekali menuntut ilmu, dan bercita-cita amat luhur, kenapa tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah di luar negeri asing. Di kampus-kampus terbaik di dunia. Di negeri-negeri yang kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa.

Kenapa, ya, saya tidak tertarik?

Kenapa?

Kenapa, wahai diri, kenapa?

Begitu saya bertanya-tanya dalam hati selama beberapa tahun ke belakang. Bertahun-tahun, lho. Lama, itu. Selama bertahun-tahun, saya memikirkan hanya itu dan itu saja. Yang lain tidak. Kamu juga tidak.

Dan, sampai saat ini pun, jawaban itu belum saya temukan. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa… tidak usahlah saya memikirkan hal yang tidak-tidak. Masih banyak hal lain dalam hidup yang harus dipikirkan benar-benar. Misalkan, bagaimana mengatasi masalah celana saya yang melorot semua akibat sukses berolahraga. Atau, lagu-lagu apa yang harus saya nyanyikan di acara karaoke mendatang. Atau, menyelesaikan perhitungan luas dan vektor normal persegi sembarang.




Ya. Mungkin karena saya begitu terikat dengan negeri ini, bumi dan manusianya.
(Aih. Indahnya gaung kata-kata itu.)




Bandung,
setengah jam menjelang
tengah malam
sehabis menyimak
mimpi seseorang









“Hindia adalah rimba belantara dan aku hanya salah satu dari jutaan monyetnya.”
[Minke]






Senin, 08 Juni 2009

Lontong!



Ceritanya, minggu lalu kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita. Letaknya di 60 km arah barat laut Rangkasbitung. Dan di mana itu Rangkasbitung, bukan tanggung jawab saya untuk memberi tahu. Dan benarkah ke arah barat laut? Dan benarkah 60 km jauhnya? Jujur, saya sekedar sok tahu. Mungkin lebih, mungkin kurang. Data tersebut disampaikan hanya cuma sekedar formalitas belaka sahaja, yang bila dihapus, tidak akan mengurangi maknanya barang sedikit pun.

Rangkasbitung itu ibukota Provinsi Banten. Dulunya. Atau, kepinginnya. Dan hanya tinggal kepingin karena pembangunan di sana nyaris baru dimulai lima-enam tahun ke belakang. Sejak bupati yang saat ini menjabat. Namanya Jayabaya. Meski, menurut sassus yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, beliau hanya lulusan sma, namun Kabupaten Rangkasbitung mulai bergeliat dari tidurnya yang panjang dan nyenyak. Padahal, di sana banyak nyamuk bukan alang kepalang. Mungkin juga itu sebab di sana tidak ada bencong berpakaian seksi mangkal malam hari.

Di Rangkasbitung, hanya terdapat dua buah bioskop. Itu pun sudah tutup sejak tahun 1994. Apollo, bioskop paling tua dan paling lama bertahan, dan Mandala yang hanya sempat beroperasi selama dua tahun. Keduanya tidak kuasa bersaing dengan kemunculan berbagai stasiun tv swasta. Padahal, saya suka sekali menonton di bioskop yang ada jeda istirahatnya, lalu para pedagang asongan menyerbu masuk ke dalam.

"Teh botol? Rokok? Lontong?"



Jangan mencari restoran fastfood jika, entah apa yang ada dalam pikiran kamu, berkunjung ke Rangkasbitung. Jangan bertanya di mana tempat yang romantis untuk berkencan, atau outlet yang menjual fashion kesukaan. Dan yang terpenting, jangan sekali-sekali bertanya… kapan pulang. Sudah jauh-jauh datang ke Rangkasbitung, masa langsung pulang?! Kamu harus mencicipi dahulu mie ayam Uum yang sangat terkenal itu. Terkenal di mana? Ya, di Rangkasbitung. Atau, cicipi baso Ismo yang sangat digemari itu. Yang kuahnya penuh lemak dengan sambal dahsyat pedasnya itu. Yang, konon, para peliput acara tv wisata kuliner berebut ke sana. TV mana? Ya, stasiun tv lokal sana. Atau, rasakan hangat nasi uduknya yang sangat populer. Dan tentunya, harus mencoba juga sayur lada yang… bau tiada tara, namun nikmat tak terkira. Maklum, bahan dasar sayur ini adalah daun yang digunakan sang rakun bersarang. Di sinilah perlunya kerjasama yang baik antara hidung dan mulut. Bagaimana pun, dalam hal makan, si hidung harus menurut.

Kini, Rangkasbitung semakin semarak dengan berdirinya sebuah mall Barata, singkatan dari Banten Ra… Ta... Memang tidak sebesar dan semegah Senayan City, tapi lumayanlah. Ada toko buku Karisma dan, tentu saja, penjaja dvd bajakan di sana. Kalau sudah ada dua macam toko itu, sudah lebih dari cukup, bukan?

Kalau ke Rangkasbitung, tidak usah bawa jaket tebal. Atau, syal. Temperatur udara di sana tidak jauh beda dengan Jakarta. Tapi, tenang saja. Kamu tidak perlu disuntik malaria.





Jadi, ceritanya, kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita.

Lontong!



Ceritanya, minggu lalu kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita. Letaknya di 60 km arah barat laut Rangkasbitung. Dan di mana itu Rangkasbitung, bukan tanggung jawab saya untuk memberi tahu. Dan benarkah ke arah barat laut? Dan benarkah 60 km jauhnya? Jujur, saya sekedar sok tahu. Mungkin lebih, mungkin kurang. Data tersebut disampaikan hanya cuma sekedar formalitas belaka sahaja, yang bila dihapus, tidak akan mengurangi maknanya barang sedikit pun.

Rangkasbitung itu ibukota Provinsi Banten. Dulunya. Atau, kepinginnya. Dan hanya tinggal kepingin karena pembangunan di sana nyaris baru dimulai lima-enam tahun ke belakang. Sejak bupati yang saat ini menjabat. Namanya Jayabaya. Meski, menurut sassus yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, beliau hanya lulusan sma, namun Kabupaten Rangkasbitung mulai bergeliat dari tidurnya yang panjang dan nyenyak. Padahal, di sana banyak nyamuk bukan alang kepalang. Mungkin juga itu sebab di sana tidak ada bencong berpakaian seksi mangkal malam hari.

Di Rangkasbitung, hanya terdapat dua buah bioskop. Itu pun sudah tutup sejak tahun 1994. Apollo, bioskop paling tua dan paling lama bertahan, dan Mandala yang hanya sempat beroperasi selama dua tahun. Keduanya tidak kuasa bersaing dengan kemunculan berbagai stasiun tv swasta. Padahal, saya suka sekali menonton di bioskop yang ada jeda istirahatnya, lalu para pedagang asongan menyerbu masuk ke dalam.

"Teh botol? Rokok? Lontong?"



Jangan mencari restoran fastfood jika, entah apa yang ada dalam pikiran kamu, berkunjung ke Rangkasbitung. Jangan bertanya di mana tempat yang romantis untuk berkencan, atau outlet yang menjual fashion kesukaan. Dan yang terpenting, jangan sekali-sekali bertanya… kapan pulang. Sudah jauh-jauh datang ke Rangkasbitung, masa langsung pulang?! Kamu harus mencicipi dahulu mie ayam Uum yang sangat terkenal itu. Terkenal di mana? Ya, di Rangkasbitung. Atau, cicipi baso Ismo yang sangat digemari itu. Yang kuahnya penuh lemak dengan sambal dahsyat pedasnya itu. Yang, konon, para peliput acara tv wisata kuliner berebut ke sana. TV mana? Ya, stasiun tv lokal sana. Atau, rasakan hangat nasi uduknya yang sangat populer. Dan tentunya, harus mencoba juga sayur lada yang… bau tiada tara, namun nikmat tak terkira. Maklum, bahan dasar sayur ini adalah daun yang digunakan sang rakun bersarang. Di sinilah perlunya kerjasama yang baik antara hidung dan mulut. Bagaimana pun, dalam hal makan, si hidung harus menurut.

Kini, Rangkasbitung semakin semarak dengan berdirinya sebuah mall Barata, singkatan dari Banten Ra… Ta... Memang tidak sebesar dan semegah Senayan City, tapi lumayanlah. Ada toko buku Karisma dan, tentu saja, penjaja dvd bajakan di sana. Kalau sudah ada dua macam toko itu, sudah lebih dari cukup, bukan?

Kalau ke Rangkasbitung, tidak usah bawa jaket tebal. Atau, syal. Temperatur udara di sana tidak jauh beda dengan Jakarta. Tapi, tenang saja. Kamu tidak perlu disuntik malaria.





Jadi, ceritanya, kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita.

Rabu, 03 Juni 2009

Nama-nama Bulan




dan kepada mei
saya meminta maaf
tak sanggup untuk
penuhi janji


sssttt...
bilang juga pada april yang malang
si cemberut maret
dan februari yang ruwet

sedang januari
suruh tidur kembali

juli agustus,
kalian terlalu serius
dan biarkan juni yang sepi
cepat-cepat pergi



syuh syuh...

Nama-nama Bulan




dan kepada mei
saya meminta maaf
tak sanggup untuk
penuhi janji


sssttt...
bilang juga pada april yang malang
si cemberut maret
dan februari yang ruwet

sedang januari
suruh tidur kembali

juli agustus,
kalian terlalu serius
dan biarkan juni yang sepi
cepat-cepat pergi



syuh syuh...

Kamis, 28 Mei 2009

Masih Ada, Om...




Jika berbicara tentang pekerjaan kantor, saya seperti berhadapan dengan tembok, atau serasa laksana benteng catur yang meringkuk saja di kotak paling sudut. Inilah satu-satunya bagian dari dunia saya di mana saya sungguh merasa sepi berada di sana. Nyaris tak ada teman untuk saling bercerita, berdiskusi atau sekedar mengeluh akan soal yang begitu sulit dipecahkan sendiri.

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang orang banyak ragu akan eksistensinya.

“Masih ada, gitu? Bukannya sudah bangkrut?”

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang pihak bank akan ragu untuk memberikan pinjaman atau kredit cicilan.

“Ada pekerjaan lain?”

Ya. Bahkan pernah di suatu masa, sebuah bank lebih mempercayai profesi pengojeg dibandingkan profesi saya dalam kelayakan pengajuan cicilan. Bukan saya merendahkan para pengojeg. Tidak sama sekali, jauh dari itu.

Apakah saya merasa kecewa? Sedih? Rendah diri?

Sebagai manusia biasa, tentu saja, ya.

Tapi, kembali saya meyakinkan diri bahwa saya bukanlah manusia biasa. Kenapa? Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang tidak peduli dengan tuntutan sosial sekitarnya. Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang bisa melepaskan diri dari kebergantungan pada hal-hal yang bersifat kebendaan, trend, dan pendapat banyak orang yang belum tentu benar. Saya telah memilih untuk menjadi orang bebas dari itu semua.

Meski, mungkin, baru mencapai tahap pura-pura.





Jadi, setiap kali ditanya di mana saya bekerja, jawab saya adalah,

“PTDI Masih Ada.”

Dan untuk sekedar info, gaji kami baru saja naik bulan ini.

Om...






“If you are a minority of one, the truth is the truth.”
[Mahatma Gandhi, Gandhi]






Masih Ada, Om...




Jika berbicara tentang pekerjaan kantor, saya seperti berhadapan dengan tembok, atau serasa laksana benteng catur yang meringkuk saja di kotak paling sudut. Inilah satu-satunya bagian dari dunia saya di mana saya sungguh merasa sepi berada di sana. Nyaris tak ada teman untuk saling bercerita, berdiskusi atau sekedar mengeluh akan soal yang begitu sulit dipecahkan sendiri.

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang orang banyak ragu akan eksistensinya.

“Masih ada, gitu? Bukannya sudah bangkrut?”

Tidak pernah terpikir dahulu bahwa kelak saya akan bekerja di sebuah perusahaan yang pihak bank akan ragu untuk memberikan pinjaman atau kredit cicilan.

“Ada pekerjaan lain?”

Ya. Bahkan pernah di suatu masa, sebuah bank lebih mempercayai profesi pengojeg dibandingkan profesi saya dalam kelayakan pengajuan cicilan. Bukan saya merendahkan para pengojeg. Tidak sama sekali, jauh dari itu.

Apakah saya merasa kecewa? Sedih? Rendah diri?

Sebagai manusia biasa, tentu saja, ya.

Tapi, kembali saya meyakinkan diri bahwa saya bukanlah manusia biasa. Kenapa? Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang tidak peduli dengan tuntutan sosial sekitarnya. Karena saya adalah salah satu dari sedikit sekali dari mereka yang bisa melepaskan diri dari kebergantungan pada hal-hal yang bersifat kebendaan, trend, dan pendapat banyak orang yang belum tentu benar. Saya telah memilih untuk menjadi orang bebas dari itu semua.

Meski, mungkin, baru mencapai tahap pura-pura.





Jadi, setiap kali ditanya di mana saya bekerja, jawab saya adalah,

“PTDI Masih Ada.”

Dan untuk sekedar info, gaji kami baru saja naik bulan ini.

Om...






“If you are a minority of one, the truth is the truth.”
[Mahatma Gandhi, Gandhi]






Selasa, 26 Mei 2009

Mari...

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Jangan tanya alasannya. Anak kecil menurut saja sama orangtua. Percayakan semua pada bapak. Begini-begini, bapak sudah banyak pengalamannya.

Konon, di luar sana ada banyak, Sayang. Macam-macam. Dari mulai ibu tiri, ibu guru, sampai ibu RI-1. Kamu pilih yang mana? Bilang saja. Biar nanti bapak yang menghadap salah satu dari mereka.

Atau kamu punya kriteria sendiri? Boleh saja. Ini negeri demokrasi. Begitu pula di rumah kita. Setiap penghuninya berhak untuk menyampaikan suara. Meski, bapak jualah yang menentukan di bagian akhirnya.

Bapak kasih tahu, ya. Jangan pilih yang pandai memasak. Akan amat susah mencarinya. Jangan pula minta yang pandai menyanyi. Semua sudah ada yang punya. Pilih yang pandai mengaji. Namun, jangan terlalu berharap mereka mau menerima si bapak ini.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Ibu lama sudah kadaluarsa. Sudah habis tanggal pakainya. Ibarat pepatah lama, cinta datang dan pergi. Karena itu, berbahagialah. Yang hilang akan terganti. Sakit merindu akan terobati.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Pasang wajah lucumu ke mana kita pergi.


Mari...

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Jangan tanya alasannya. Anak kecil menurut saja sama orangtua. Percayakan semua pada bapak. Begini-begini, bapak sudah banyak pengalamannya.

Konon, di luar sana ada banyak, Sayang. Macam-macam. Dari mulai ibu tiri, ibu guru, sampai ibu RI-1. Kamu pilih yang mana? Bilang saja. Biar nanti bapak yang menghadap salah satu dari mereka.

Atau kamu punya kriteria sendiri? Boleh saja. Ini negeri demokrasi. Begitu pula di rumah kita. Setiap penghuninya berhak untuk menyampaikan suara. Meski, bapak jualah yang menentukan di bagian akhirnya.

Bapak kasih tahu, ya. Jangan pilih yang pandai memasak. Akan amat susah mencarinya. Jangan pula minta yang pandai menyanyi. Semua sudah ada yang punya. Pilih yang pandai mengaji. Namun, jangan terlalu berharap mereka mau menerima si bapak ini.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Ibu lama sudah kadaluarsa. Sudah habis tanggal pakainya. Ibarat pepatah lama, cinta datang dan pergi. Karena itu, berbahagialah. Yang hilang akan terganti. Sakit merindu akan terobati.

Mari kita cari ibu baru, Aisa. Pasang wajah lucumu ke mana kita pergi.


Senin, 25 Mei 2009

Terbaik






Ada sebuah kejadian lewat yang masih saja hinggap di benak saya. Menclok seperti burung kakak tua, tak pernah mau pergi. Agak sedikit mengganggu, sebenarnya. Membuat saya sering melamun sewaktu menyetrika kemeja kerja. Membuang sia-sia air dalam gayung sewaktu mandi. Salah menyuapi sendok nasi ke hidung sewaktu sarapan. Keliru turun dari bis menuju kantor. Sampai-sampai, kadang saya dibuat lupa pakai celana. Tak ada yang melihat, untungnya.

Hebat kan saya, masih saja merasa beruntung?

Kejadian itu adalah sebuah reuni kecil-kecilan kelas kami di masa SMA. Tepat tahun lalu. Salah satu dari mereka yang hadir adalah seorang mantan pacar. Perempuan, tentunya, sedang hamil tujuh bulan untuk yang kedua kali. Datang pula sang suami si pelaku penghamilan.

“Kenapa belum menikah juga?”

Begitu si ibu hamil yang sekaligus mantan pacar di masa lalu itu bertanya pada saya dengan lugas dan ringan. Seperti bertanya, apa saya sudah makan? Atau..., sehat-sehat saja?

Saya sungguh mengerti, jawaban seperti apa yang beliau harapkan. Apakah beliau tidak tahu bahwa untuk menikah itu dibutuhkan dua pihak. Pihak laki-laki dan pihak perempuan. Dengan demikian, sepatutnya pertanyaan tersebut dilemparkan tidak hanya pada saya seorang.

“Mungkin karena doa kamu.”

Begitu dia menebak. Menuduh. Menyudutkan. Menyalahkan satu pihak saja. Tapi, saya tidak mengerti maksud dia punya tebak-tebakan.

“Maksudnya, kamu berdoa untuk diberikan yang terbaik, kan? Yang terbaik.”

“Tentu saja.”

Begitu saya menjawab dengan cepat. Padahal, saya masih tidak mengerti maksud beliau ke arah mana. Dan saya mencium adanya bau-bau jebakan di sini. Pasti.

“Nah, mungkin karena itulah kenapa kamu belum menikah juga. Kamu ingin yang terbaik, sih. Jadi, Tuhan akan kasih kamu yang terbaik. Masalahnya…”

Tuh, kan, ada masalah.

“Masalahnya… si perempuan yang hendak dipasangkan dengan kamu, dia pun berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik. Dan… sungguh tidak adil jika kamu adalah orangnya.”

Dan saya pun menangkap nada mengejek dari kalimat itu.

“Coba kamu berdoa agar diberikan yang… lumayan. Atau, cukup baik. Toh, kamu juga ngga baik-baik amat.”

Pada mulanya, saya agak kesulitan mencerna apa yang dia sampaikan. Padahal, usus saya sangat kuat dalam mencerna daging kerbau sekalipun. Bahkan baru-baru ini, saya tidak mengalami masalah apa pun sewaktu melahap durian lengkap dengan kulitnya.

Setelah berpikir sejenak, merenung di ujung seperti benteng catur, ada pesan mulia dan nasihat berharga pada kalimat-kalimatnya yang berhasil saya tangkap. Memang, sejak saya mengenal beliau, nyaris tidak pernah saya temukan hal tercela yang dia lakukan. Beliau memang soleh-solehah. Setiap kali mengingatnya, secara otomatis kita akan mengambil air wudlu. Kalaupun ada cela dari beliau, mungkin hanya satu, yaitu dahulu mau berpacaran dengan saya, yang tentunya seorang laki-laki yang tidak baik-baik amat (menurut istilah dia).







Tapi, saya lumayan, lah.
Iya, kan, Bu Ustadzah?



Terbaik






Ada sebuah kejadian lewat yang masih saja hinggap di benak saya. Menclok seperti burung kakak tua, tak pernah mau pergi. Agak sedikit mengganggu, sebenarnya. Membuat saya sering melamun sewaktu menyetrika kemeja kerja. Membuang sia-sia air dalam gayung sewaktu mandi. Salah menyuapi sendok nasi ke hidung sewaktu sarapan. Keliru turun dari bis menuju kantor. Sampai-sampai, kadang saya dibuat lupa pakai celana. Tak ada yang melihat, untungnya.

Hebat kan saya, masih saja merasa beruntung?

Kejadian itu adalah sebuah reuni kecil-kecilan kelas kami di masa SMA. Tepat tahun lalu. Salah satu dari mereka yang hadir adalah seorang mantan pacar. Perempuan, tentunya, sedang hamil tujuh bulan untuk yang kedua kali. Datang pula sang suami si pelaku penghamilan.

“Kenapa belum menikah juga?”

Begitu si ibu hamil yang sekaligus mantan pacar di masa lalu itu bertanya pada saya dengan lugas dan ringan. Seperti bertanya, apa saya sudah makan? Atau..., sehat-sehat saja?

Saya sungguh mengerti, jawaban seperti apa yang beliau harapkan. Apakah beliau tidak tahu bahwa untuk menikah itu dibutuhkan dua pihak. Pihak laki-laki dan pihak perempuan. Dengan demikian, sepatutnya pertanyaan tersebut dilemparkan tidak hanya pada saya seorang.

“Mungkin karena doa kamu.”

Begitu dia menebak. Menuduh. Menyudutkan. Menyalahkan satu pihak saja. Tapi, saya tidak mengerti maksud dia punya tebak-tebakan.

“Maksudnya, kamu berdoa untuk diberikan yang terbaik, kan? Yang terbaik.”

“Tentu saja.”

Begitu saya menjawab dengan cepat. Padahal, saya masih tidak mengerti maksud beliau ke arah mana. Dan saya mencium adanya bau-bau jebakan di sini. Pasti.

“Nah, mungkin karena itulah kenapa kamu belum menikah juga. Kamu ingin yang terbaik, sih. Jadi, Tuhan akan kasih kamu yang terbaik. Masalahnya…”

Tuh, kan, ada masalah.

“Masalahnya… si perempuan yang hendak dipasangkan dengan kamu, dia pun berdoa kepada Tuhan agar diberikan yang terbaik. Dan… sungguh tidak adil jika kamu adalah orangnya.”

Dan saya pun menangkap nada mengejek dari kalimat itu.

“Coba kamu berdoa agar diberikan yang… lumayan. Atau, cukup baik. Toh, kamu juga ngga baik-baik amat.”

Pada mulanya, saya agak kesulitan mencerna apa yang dia sampaikan. Padahal, usus saya sangat kuat dalam mencerna daging kerbau sekalipun. Bahkan baru-baru ini, saya tidak mengalami masalah apa pun sewaktu melahap durian lengkap dengan kulitnya.

Setelah berpikir sejenak, merenung di ujung seperti benteng catur, ada pesan mulia dan nasihat berharga pada kalimat-kalimatnya yang berhasil saya tangkap. Memang, sejak saya mengenal beliau, nyaris tidak pernah saya temukan hal tercela yang dia lakukan. Beliau memang soleh-solehah. Setiap kali mengingatnya, secara otomatis kita akan mengambil air wudlu. Kalaupun ada cela dari beliau, mungkin hanya satu, yaitu dahulu mau berpacaran dengan saya, yang tentunya seorang laki-laki yang tidak baik-baik amat (menurut istilah dia).







Tapi, saya lumayan, lah.
Iya, kan, Bu Ustadzah?



Rabu, 13 Mei 2009

Pointilisme






“Di permukaan bulan sana,
saya tuliskan nama kita
dengan deretan abjad-abjadnya

yang tersusun rapi.
Semoga abadi.








Demikian saya merayu. Kalimat terakhir saya bisikkan dengan lembut disertai ketukan yang terpadu.

Memandang tidak percaya, perempuan itu merogoh isi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah teropong bintang dan mengarahkannya pada bulan. Ia selidiki kata-kata saya dengan mengintip dari celah lensa, memastikan sendiri apakah saya sedang berbual atau sungguh-sungguh.

Tersenyum, dia, tidak lama kemudian.

“Tulisan kamu jelek,” katanya diiringi cubitan pada lengan saya.

Aih.

“Tapi, Andi, tidak ada yang abadi, bukan, kecuali Dia?”

Aih, lagi.

“Tentu saja. Yang saya maksud adalah… tiga-empat puluh tahun ke depan.”

“Kamu akan keburu tua sewaktu merasa menyesal atas keputusan itu.”

“Selama hidup nyaris tiga puluh tahun di permukaan Bumi, saya tidak pernah menyesali segala sesuatu. Kecuali perbuatan dosa, tentu,” kata saya tanpa nada ragu.

“Tapi, Andi…”

“Kamu banyak ber-tapi,” potong saya di kuali. “Kalau terlalu banyak tapi, setiap kisah dan dongeng tidak akan pernah berlanjut. Diam dia menggantung tak ke mana-mana.”

“Betul. Saya setuju. Namun…”






Nah. Demikianlah jika kamu berhubungan dengan mereka yang senang menggunakan kata tapi dan namun. Apa pun usaha yang kamu lakukan untuk meyakinkan mereka adalah percuma.

“Sayangnya…”

Untuk menghadapi mereka, kamu jangan pernah memberi penjelasan. Jangan memberikan argumen. Dengarkan saja sampai akhir. Anggukkan kepala, mengirimkan isyarat setuju. Pura-pura, tentu.

“Hanya saja…”

Lalu, ketika kamu berpikir bahwa kamu tinggal menuruti saja apa yang mereka inginkan, ya, kamu salah lagi. Karena mereka sendiri pun tidak tahu apa yang diinginkan. Keinginan mereka abstrak. Hanya seniman yang bisa mengerti. Seniman aliran abstrak atau surealis.




Saya bukan.






Pointilisme






“Di permukaan bulan sana,
saya tuliskan nama kita
dengan deretan abjad-abjadnya

yang tersusun rapi.
Semoga abadi.








Demikian saya merayu. Kalimat terakhir saya bisikkan dengan lembut disertai ketukan yang terpadu.

Memandang tidak percaya, perempuan itu merogoh isi tasnya, lalu mengeluarkan sebuah teropong bintang dan mengarahkannya pada bulan. Ia selidiki kata-kata saya dengan mengintip dari celah lensa, memastikan sendiri apakah saya sedang berbual atau sungguh-sungguh.

Tersenyum, dia, tidak lama kemudian.

“Tulisan kamu jelek,” katanya diiringi cubitan pada lengan saya.

Aih.

“Tapi, Andi, tidak ada yang abadi, bukan, kecuali Dia?”

Aih, lagi.

“Tentu saja. Yang saya maksud adalah… tiga-empat puluh tahun ke depan.”

“Kamu akan keburu tua sewaktu merasa menyesal atas keputusan itu.”

“Selama hidup nyaris tiga puluh tahun di permukaan Bumi, saya tidak pernah menyesali segala sesuatu. Kecuali perbuatan dosa, tentu,” kata saya tanpa nada ragu.

“Tapi, Andi…”

“Kamu banyak ber-tapi,” potong saya di kuali. “Kalau terlalu banyak tapi, setiap kisah dan dongeng tidak akan pernah berlanjut. Diam dia menggantung tak ke mana-mana.”

“Betul. Saya setuju. Namun…”






Nah. Demikianlah jika kamu berhubungan dengan mereka yang senang menggunakan kata tapi dan namun. Apa pun usaha yang kamu lakukan untuk meyakinkan mereka adalah percuma.

“Sayangnya…”

Untuk menghadapi mereka, kamu jangan pernah memberi penjelasan. Jangan memberikan argumen. Dengarkan saja sampai akhir. Anggukkan kepala, mengirimkan isyarat setuju. Pura-pura, tentu.

“Hanya saja…”

Lalu, ketika kamu berpikir bahwa kamu tinggal menuruti saja apa yang mereka inginkan, ya, kamu salah lagi. Karena mereka sendiri pun tidak tahu apa yang diinginkan. Keinginan mereka abstrak. Hanya seniman yang bisa mengerti. Seniman aliran abstrak atau surealis.




Saya bukan.






Minggu, 10 Mei 2009

Paspasan




Malam minggu kemarin, bertemu saya dengan seorang kawan lama. Lama bersahabat, lama tidak jumpa. Seorang perempuan, penuh perhatian. Dan titel cantik saya sandangkan padanya dengan tulus dan tanpa udang.

Nyaris sudah sepuluh tahun sejak pertama kali kami berteman. Bukan rekor, sebenarnya. Tapi, hebatnya, selama itu pula saya berhasil tidak pernah membuat beliau marah. Padahal, membuat perempuan marah adalah kehebatan saya.

Apalagi, saya adalah seorang lelaki yang tidak terbiasa berteman dengan perempuan cantik.

Ngga enak kalau cuma teman.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia bertemu. Dia, teman saya itu, yang sedang saya ceritakan ini. Dialah satu-satunya perempuan yang diperbolehkan bersikap manja pada saya. Ini patut digarisbawahi karena saya tidak pernah bersimpati pada mereka yang manja. Cukuplah saya saja yang manja.

“Rindu, tahu.”

Demikian saya bilang. Dan dia sepertinya terkejut. Sangat terkejut. Kaget. Syok. Surprise, kalau orang umum bilang.

“Tumben, bilang begitu.”

Tapi orang yang paling terkejut tentunya adalah saya sendiri. Saya… tidak bilang dan tidak pernah bilang begitu. Pada siapapun? Pada siapapun. Kenapa? Takkan dijawab.

Sebelum reuni kecil ini terjadi, sesungguhnya ada hal yang amat saya khawatirkan diam-diam. Hati saya cemas dibuatnya. Gelisah, saya. Takut kalau-kalau dia berubah. Berubah dalam artian… menjadi menyebalkan.

Kan… waktu membuat orang berubah menjadi menyebalkan (juga keriput). Seakan-akan, kalau sudah dewasa, hidup itu harus berjuang. Dan perjuangan harus dengan serius. Dan tak boleh lagi buang-buang waktu. Setiap menit adalah berharga.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia jalan-jalan, menembus ramainya kota Bandung. Saya kenalkan dia dengan seorang teman saya yang lain. Berharap mereka berdua bisa juga berteman. Bisa akrab. Siapa tahu berjodoh.

Malam minggu kemarin, saya persembahkan sebuah lagu buat dia. Sepesial. Istimewa. Sebuah lagu dari ranah Malaysia. Saya lantunkan dengan suara saya yang pas-pasan. Pas di telinga, pas di hati.

“Pas! Jangan nyanyi lagi!”

Biasanya ada yang bilang begitu. Kecuali malam minggu kemarin.

Terimakasih untuk tetap menjadi orang yang sama sejak ditemui.

Paspasan




Malam minggu kemarin, bertemu saya dengan seorang kawan lama. Lama bersahabat, lama tidak jumpa. Seorang perempuan, penuh perhatian. Dan titel cantik saya sandangkan padanya dengan tulus dan tanpa udang.

Nyaris sudah sepuluh tahun sejak pertama kali kami berteman. Bukan rekor, sebenarnya. Tapi, hebatnya, selama itu pula saya berhasil tidak pernah membuat beliau marah. Padahal, membuat perempuan marah adalah kehebatan saya.

Apalagi, saya adalah seorang lelaki yang tidak terbiasa berteman dengan perempuan cantik.

Ngga enak kalau cuma teman.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia bertemu. Dia, teman saya itu, yang sedang saya ceritakan ini. Dialah satu-satunya perempuan yang diperbolehkan bersikap manja pada saya. Ini patut digarisbawahi karena saya tidak pernah bersimpati pada mereka yang manja. Cukuplah saya saja yang manja.

“Rindu, tahu.”

Demikian saya bilang. Dan dia sepertinya terkejut. Sangat terkejut. Kaget. Syok. Surprise, kalau orang umum bilang.

“Tumben, bilang begitu.”

Tapi orang yang paling terkejut tentunya adalah saya sendiri. Saya… tidak bilang dan tidak pernah bilang begitu. Pada siapapun? Pada siapapun. Kenapa? Takkan dijawab.

Sebelum reuni kecil ini terjadi, sesungguhnya ada hal yang amat saya khawatirkan diam-diam. Hati saya cemas dibuatnya. Gelisah, saya. Takut kalau-kalau dia berubah. Berubah dalam artian… menjadi menyebalkan.

Kan… waktu membuat orang berubah menjadi menyebalkan (juga keriput). Seakan-akan, kalau sudah dewasa, hidup itu harus berjuang. Dan perjuangan harus dengan serius. Dan tak boleh lagi buang-buang waktu. Setiap menit adalah berharga.

Malam minggu kemarin, saya ajak dia jalan-jalan, menembus ramainya kota Bandung. Saya kenalkan dia dengan seorang teman saya yang lain. Berharap mereka berdua bisa juga berteman. Bisa akrab. Siapa tahu berjodoh.

Malam minggu kemarin, saya persembahkan sebuah lagu buat dia. Sepesial. Istimewa. Sebuah lagu dari ranah Malaysia. Saya lantunkan dengan suara saya yang pas-pasan. Pas di telinga, pas di hati.

“Pas! Jangan nyanyi lagi!”

Biasanya ada yang bilang begitu. Kecuali malam minggu kemarin.

Terimakasih untuk tetap menjadi orang yang sama sejak ditemui.

Kamis, 07 Mei 2009

Verbodden, Dear




Bis Antapani-KPAD itu semirip dengan metro mini ibukota. Isinya penuh jejal dengan manusia setiap pagi dan sorenya. Ada saya di situ, terselip diantara mereka. Jika saya sedang tidak beruntung, tidak ada satu pun bangku kosong yang available. Dan saya harus berdiri selama tiga puluh menit perjalanan. Maklum, si kondektur tidak menyediakan jasa reservation. Tapi jika saya sedang beruntung, saya bisa duduk nyaman di samping si karyawati bank sambil mendengarkan radio dan membaca novel yang saya bekal. Sesekali basa-basi tentang indahnya cuaca, kurs dollar, dan bertanya turun di mana, Mba.

Bis Antapani-KPAD itu serupa metro mini di Jakarta. Warnanya kombinasi hijau dan coklat tua. Ongkosnya tiga ribu dan tidak bisa diangsur. Harus kontan dan uangnya harus uang asli. Pasti, kondektur dan sopirnya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tegas tanpa bisa ditawar. Saya sungguh tidak cocok dengan pekerjaan mereka. Maklum, saya ini kebalikannya, mudah dibujuk dan dirayu. Satu kedip mata dari kamu saja bisa membuat saya luluh. Apalagi jika ditambah sedikit jentik jari dan seulas senyum.

Adapun kenapa saya memutuskan untuk naik bis, itu akan saya rahasiakan seumur hidup saya dan dibawa sampai ke liang lahat. Membuatnya menjadi misteri yang tidak akan pernah bisa terpecahkan selamanya. Lalu kamu akan banyak menduga. Dan setiap detiknya, kamu akan menyesal kenapa tidak pernah bertanya.

Dan pagi tadi, juga selama satu bulan ke belakang, saya manfaatkan si bis tersebut sebagai wahana yang menghantarkan saya menuju kantor tempat saya digaji setiap bulannya. Jangan tanya gaji saya berapa. Bukan karena saya sungkan atau malu untuk menyebut angka itu, tapi selain tidak etis, bisa-bisa nanti kamu ingin saya nikahi segera. Tanyalah apa yang saya lakukan di kantor. Tapi pasti kamu tidak akan mau bertanya, karena sudah tahu hal ihwal itu sejak lama. Meski demikian, tetap akan saya beri tahu.

Agar tidak lupa. Biar hafal luar kepala.

Lalu kamu akan bertanya, apa untungya menghafal hal-hal yang saya lakukan di kantor. Dan saya balik bertanya, sejak kapan kamu berubah menjadi matrealistis begini, mendasari sesuatu berdasarkan untung-rugi. Dan kita pun kembali bertengkar seperti yang sudah-sudah. Kamu akan membanting pintu dan memasang pelang dilarang ganggu.

Dengan huruf BESAR-BESAR, tentu.



Dan pagi tadi, saya naik bis dalam kondisi dikejar mendung. Di tempat tujuan, saya turun. Hujan ikut turun. Dan saya pun dipaksa untuk berteduh dahulu.

Pak, maaf, saya masuk terlambat hari ini.




Verbodden, Dear




Bis Antapani-KPAD itu semirip dengan metro mini ibukota. Isinya penuh jejal dengan manusia setiap pagi dan sorenya. Ada saya di situ, terselip diantara mereka. Jika saya sedang tidak beruntung, tidak ada satu pun bangku kosong yang available. Dan saya harus berdiri selama tiga puluh menit perjalanan. Maklum, si kondektur tidak menyediakan jasa reservation. Tapi jika saya sedang beruntung, saya bisa duduk nyaman di samping si karyawati bank sambil mendengarkan radio dan membaca novel yang saya bekal. Sesekali basa-basi tentang indahnya cuaca, kurs dollar, dan bertanya turun di mana, Mba.

Bis Antapani-KPAD itu serupa metro mini di Jakarta. Warnanya kombinasi hijau dan coklat tua. Ongkosnya tiga ribu dan tidak bisa diangsur. Harus kontan dan uangnya harus uang asli. Pasti, kondektur dan sopirnya termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tegas tanpa bisa ditawar. Saya sungguh tidak cocok dengan pekerjaan mereka. Maklum, saya ini kebalikannya, mudah dibujuk dan dirayu. Satu kedip mata dari kamu saja bisa membuat saya luluh. Apalagi jika ditambah sedikit jentik jari dan seulas senyum.

Adapun kenapa saya memutuskan untuk naik bis, itu akan saya rahasiakan seumur hidup saya dan dibawa sampai ke liang lahat. Membuatnya menjadi misteri yang tidak akan pernah bisa terpecahkan selamanya. Lalu kamu akan banyak menduga. Dan setiap detiknya, kamu akan menyesal kenapa tidak pernah bertanya.

Dan pagi tadi, juga selama satu bulan ke belakang, saya manfaatkan si bis tersebut sebagai wahana yang menghantarkan saya menuju kantor tempat saya digaji setiap bulannya. Jangan tanya gaji saya berapa. Bukan karena saya sungkan atau malu untuk menyebut angka itu, tapi selain tidak etis, bisa-bisa nanti kamu ingin saya nikahi segera. Tanyalah apa yang saya lakukan di kantor. Tapi pasti kamu tidak akan mau bertanya, karena sudah tahu hal ihwal itu sejak lama. Meski demikian, tetap akan saya beri tahu.

Agar tidak lupa. Biar hafal luar kepala.

Lalu kamu akan bertanya, apa untungya menghafal hal-hal yang saya lakukan di kantor. Dan saya balik bertanya, sejak kapan kamu berubah menjadi matrealistis begini, mendasari sesuatu berdasarkan untung-rugi. Dan kita pun kembali bertengkar seperti yang sudah-sudah. Kamu akan membanting pintu dan memasang pelang dilarang ganggu.

Dengan huruf BESAR-BESAR, tentu.



Dan pagi tadi, saya naik bis dalam kondisi dikejar mendung. Di tempat tujuan, saya turun. Hujan ikut turun. Dan saya pun dipaksa untuk berteduh dahulu.

Pak, maaf, saya masuk terlambat hari ini.




Kamis, 30 April 2009

Arab Gundul




Selama ini, saya paling sebal akan segala sesuatu hal yang berhubungan dengan …. Before You Die. Seperti, The Places to See Before You Die, Books to Read Before You Die. Atau juga, Things to do Before You Die. Ditambah pula dengan jawaban-jawaban yang terdengar selalu common dan biasa. Sama sekali tidak luar biaba.

Tidak menunjukkan karakter, kalau teman saya bilang.
Tidak bersifat personal, kalau tetangga saya bilang.

Misalnya,

The Places to See Before You Die.
Pasti. Jawabannya tidak akan jauh dari Paris. Paris lagi, Paris lagi. Begitu inginnyakah melihat lokasi syuting Eiffel, I’m in Love itu. Standard sekali. Tidak kreatif. Membosankan.

Kenapa demikian? Karena, eh, karena... begini.

Pertama. Ketika kamu ke Paris, kamu berada dalam urutan orang yang ke sekian puluh juta yang pernah ke sana. Sekali lagi: ke sekian puluh juta. So, apa istimewanya? Dan karena tidak istimewa, kamu tidak usah mati penasaran jika tidak pernah ke Paris, bukan?

Kedua. Ke Paris itu mudah. Tinggal berangkat. Artinya, tidak perlu masuk ke dalam kategori The Places to See Before You Die. Kenapa? Seperti saya bilang tadi, untuk ke Paris itu syaratnya ringan. Ada uang, tinggal berangkat.

Berbeda jika kamu hendak naik haji. Uang saja tidak cukup, Ncik. Selain mengantri, butuh belajar manasik telebih dahulu dengan tertib dan khusyuk.

Atau, mau berangkat ke Baghdad? Palestina? Kashmir? Pyong Yang? Uang saja tidak cukup, Sayang! Butuh nyawa berlapis tiga dan tubuh anti peluru.

Juga anti bom.

Dan kuat disiksa.


Jadi, yang betul menurut saya sebelum mati itu, orang harus bertobat benar-benar, banyak berbuat baik, meminta maaf kepada orang-orang dan membayar hutang-hutangnya. Juga, memastikan keluarga yang ditinggal tidak kekurangan.

Ini, kok..., malah ke Paris.



Namun seandainya saya mau sedikit bijak, mungkin saya akan menerima itu jika istilah tersebut diganti menjadi... Things to do Before You Getting Old and Older… and Older… and Older. Jadi lebih menarik, bukan? Tidak terdengar lebay dan murahan.

Gara-gara menonton Yes Man dan Bucket List, akhirnya saya pun terdorong untuk menulis daftar hal-hal yang ingin saya lakukan, buku-buku yang ingin saya baca, tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, dan makanan yang ingin saya cicipi sebelum tubuh ini menua dan kemampuan seluruh indera saya menurun.

Pandangan mata merabun. Jauh dekat, rabun.

Tekanan darah meninggi.

Lidah kehilangan rasa.

Gigi tanggal.

Kulit keriput.

Kolesterol tak terkendali.



Asam urat naik.

Encok langganan.

...






#1
Kursus menyanyi di Elfa’s.

Meminta langsung pada Agus Wisman untuk menjadi guru privat. Lalu mendatangi semua orang yang pernah menertawakan suara nyanyian saya di masa lalu. Jika perlu, saya akan menyanyi di hadapan mereka sebanyak satu-dua buah lagu.

Lagu ke tiga harus bayar, tentu saja.

#2
Membeli piano, lalu belajar musik klasik dan smooth jazz.

“No other acoustic instrument can match the piano's expressive range, and no electric instrument can match its mystery.”

#3
Mengikuti sekolah pilot dan menerbangkan pesawat empat penumpang Gelatik milik kantor.

Juga helikopter.

#4
Merampingkan pinggang.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#5
Dioperasi lasik.

Laser asik. Biar bebas mata ini dari kacamata minus. Dan tentunya bukan karena ingin pandangan lebih tajam sewaktu mengintip.

Tidak. Saya tidak suka mengintip.

#6
Jogging di Central Park, New York.

Mmm... New York. Sedikit terdengar glamour, mungkin. Tapi… jogging itu menyehatkan.

#7
Berkunjung ke Zihuatanejo di lepas pantai Pasifik, Meksiko.

Menyewa perahu butut di sana untuk memancing.
Memancing keributan.



Yah…, sedikit mencuri mimpi Andy Dufresne.


#8
Membuat sebuah film.
Atau terlibat dalam pembuatan sebuah film.

Bukan kaca film.

Film.

Lalu terbang ke Cannes Festival di Prancis.

Prancis yang di Eropa itu. Eropa yang memiliki empat musim itu. Yang suka turun salju itu. Salju yang dingin dan putih itu. Salju yang demikian memikat banyak orang. Salju yang turun perlahan dan dipandangi dari balik jendela rumah yang dilengkapi perapian. Sambil menghirup hangat kopi susu, tentunya. Ditemani orang tersayang.

Bercerita tentang masa lalu, hidup dan mimpi.

#9
Melahap novel-novel klasik karya Tolstoy, Hemmingway, Dickens, Keyes, S.H. Mintardja, dan lain-lain serta etc.

Juga, semua novel terbitan Balai Pustaka.

Serta puisinya.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#10
Mempelajari sejarah Perang Dunia I, II dan Perang Dingin.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#11
Menguasai Basic Skill dalam bertahan hidup di alam liar.

Membuat api unggun.
Menangkap ikan.
Mendirikan tenda.

#12
Mencicipi Ayam Kaypang.

#13
Menghisap cerutu Havana asli dari Kuba.

#14
Melepaskan diri dari kebergantungan pada teknologi.

Ponsel
Internet
TV
Lift
Motor
Mobil

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”


...


#25
Naik haji.

Haji yang di Arab itu. Arab yang banyak pasir dan batunya itu. Yang jarang pohon tumbuh itu. Yang terkenal akan kurma dan minyak itu.

Juga terkenal akan gundulnya itu.

Iya.


Arab gundul.













"Agus Wisman, terima saya menjadi muridmu."




Arab Gundul




Selama ini, saya paling sebal akan segala sesuatu hal yang berhubungan dengan …. Before You Die. Seperti, The Places to See Before You Die, Books to Read Before You Die. Atau juga, Things to do Before You Die. Ditambah pula dengan jawaban-jawaban yang terdengar selalu common dan biasa. Sama sekali tidak luar biaba.

Tidak menunjukkan karakter, kalau teman saya bilang.
Tidak bersifat personal, kalau tetangga saya bilang.

Misalnya,

The Places to See Before You Die.
Pasti. Jawabannya tidak akan jauh dari Paris. Paris lagi, Paris lagi. Begitu inginnyakah melihat lokasi syuting Eiffel, I’m in Love itu. Standard sekali. Tidak kreatif. Membosankan.

Kenapa demikian? Karena, eh, karena... begini.

Pertama. Ketika kamu ke Paris, kamu berada dalam urutan orang yang ke sekian puluh juta yang pernah ke sana. Sekali lagi: ke sekian puluh juta. So, apa istimewanya? Dan karena tidak istimewa, kamu tidak usah mati penasaran jika tidak pernah ke Paris, bukan?

Kedua. Ke Paris itu mudah. Tinggal berangkat. Artinya, tidak perlu masuk ke dalam kategori The Places to See Before You Die. Kenapa? Seperti saya bilang tadi, untuk ke Paris itu syaratnya ringan. Ada uang, tinggal berangkat.

Berbeda jika kamu hendak naik haji. Uang saja tidak cukup, Ncik. Selain mengantri, butuh belajar manasik telebih dahulu dengan tertib dan khusyuk.

Atau, mau berangkat ke Baghdad? Palestina? Kashmir? Pyong Yang? Uang saja tidak cukup, Sayang! Butuh nyawa berlapis tiga dan tubuh anti peluru.

Juga anti bom.

Dan kuat disiksa.


Jadi, yang betul menurut saya sebelum mati itu, orang harus bertobat benar-benar, banyak berbuat baik, meminta maaf kepada orang-orang dan membayar hutang-hutangnya. Juga, memastikan keluarga yang ditinggal tidak kekurangan.

Ini, kok..., malah ke Paris.



Namun seandainya saya mau sedikit bijak, mungkin saya akan menerima itu jika istilah tersebut diganti menjadi... Things to do Before You Getting Old and Older… and Older… and Older. Jadi lebih menarik, bukan? Tidak terdengar lebay dan murahan.

Gara-gara menonton Yes Man dan Bucket List, akhirnya saya pun terdorong untuk menulis daftar hal-hal yang ingin saya lakukan, buku-buku yang ingin saya baca, tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, dan makanan yang ingin saya cicipi sebelum tubuh ini menua dan kemampuan seluruh indera saya menurun.

Pandangan mata merabun. Jauh dekat, rabun.

Tekanan darah meninggi.

Lidah kehilangan rasa.

Gigi tanggal.

Kulit keriput.

Kolesterol tak terkendali.



Asam urat naik.

Encok langganan.

...






#1
Kursus menyanyi di Elfa’s.

Meminta langsung pada Agus Wisman untuk menjadi guru privat. Lalu mendatangi semua orang yang pernah menertawakan suara nyanyian saya di masa lalu. Jika perlu, saya akan menyanyi di hadapan mereka sebanyak satu-dua buah lagu.

Lagu ke tiga harus bayar, tentu saja.

#2
Membeli piano, lalu belajar musik klasik dan smooth jazz.

“No other acoustic instrument can match the piano's expressive range, and no electric instrument can match its mystery.”

#3
Mengikuti sekolah pilot dan menerbangkan pesawat empat penumpang Gelatik milik kantor.

Juga helikopter.

#4
Merampingkan pinggang.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#5
Dioperasi lasik.

Laser asik. Biar bebas mata ini dari kacamata minus. Dan tentunya bukan karena ingin pandangan lebih tajam sewaktu mengintip.

Tidak. Saya tidak suka mengintip.

#6
Jogging di Central Park, New York.

Mmm... New York. Sedikit terdengar glamour, mungkin. Tapi… jogging itu menyehatkan.

#7
Berkunjung ke Zihuatanejo di lepas pantai Pasifik, Meksiko.

Menyewa perahu butut di sana untuk memancing.
Memancing keributan.



Yah…, sedikit mencuri mimpi Andy Dufresne.


#8
Membuat sebuah film.
Atau terlibat dalam pembuatan sebuah film.

Bukan kaca film.

Film.

Lalu terbang ke Cannes Festival di Prancis.

Prancis yang di Eropa itu. Eropa yang memiliki empat musim itu. Yang suka turun salju itu. Salju yang dingin dan putih itu. Salju yang demikian memikat banyak orang. Salju yang turun perlahan dan dipandangi dari balik jendela rumah yang dilengkapi perapian. Sambil menghirup hangat kopi susu, tentunya. Ditemani orang tersayang.

Bercerita tentang masa lalu, hidup dan mimpi.

#9
Melahap novel-novel klasik karya Tolstoy, Hemmingway, Dickens, Keyes, S.H. Mintardja, dan lain-lain serta etc.

Juga, semua novel terbitan Balai Pustaka.

Serta puisinya.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#10
Mempelajari sejarah Perang Dunia I, II dan Perang Dingin.

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”

#11
Menguasai Basic Skill dalam bertahan hidup di alam liar.

Membuat api unggun.
Menangkap ikan.
Mendirikan tenda.

#12
Mencicipi Ayam Kaypang.

#13
Menghisap cerutu Havana asli dari Kuba.

#14
Melepaskan diri dari kebergantungan pada teknologi.

Ponsel
Internet
TV
Lift
Motor
Mobil

Dan saya sudah memulainya.
“Yess!”


...


#25
Naik haji.

Haji yang di Arab itu. Arab yang banyak pasir dan batunya itu. Yang jarang pohon tumbuh itu. Yang terkenal akan kurma dan minyak itu.

Juga terkenal akan gundulnya itu.

Iya.


Arab gundul.













"Agus Wisman, terima saya menjadi muridmu."




Rabu, 22 April 2009

B 1195 NS



menunggu itu
diiringi kesal
gerutu
dan keluhan

menunggu itu
melirik jam tangan
dan berharap hari
cepat selesai

















..

menunggu itu
di tengah hujan
dengan rokok
berbatang-batang

menunggu itu
sia-sia
bangkit saja
pulang saja



B 1195 NS



menunggu itu
diiringi kesal
gerutu
dan keluhan

menunggu itu
melirik jam tangan
dan berharap hari
cepat selesai

















..

menunggu itu
di tengah hujan
dengan rokok
berbatang-batang

menunggu itu
sia-sia
bangkit saja
pulang saja