Senin, 22 Juni 2009

Hush Hush...




“Duh, saya sibuk banget! Ngga sempat makan. Jadinya kena maag…”

“Deadline sialan!”
“Hari kemarin, lembur. Besok lembur lagi!”
“Maaf, saya ngga bisa. Banyak kerjaan di kantor…”
“Ugh, boro-boro nonton. Bisa mandi aja sudah syukur….”




Ini mungkin yang dimaksud dengan istilah: dipoyok, dilebok. Artinya: ngeluh, tapi terus dilakukan.

Atau, ada juga beberapa yang hanya ingin memberikan kesan kepada orang-orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush…”

Dan sebaliknya, banyak sekali… banyak nian yang bertanya pada saya betapa saya ini tampak santai dan tidak ada kerjaan. Sempat-sempatnya menonton dvd, jalan-jalan melulu, karaoke, ongkang-ongkang kaki, kongkow di kafe…

Online yahoo messenger…
.
.
Fitness…
.
.
.



Biasanya saya beri jawaban,

“Dengan skill dan intelejensi yang saya miliki, semua pekerjaan dapat saya selesaikan dalam hitungan menit. Itu pun hanya menggunakan sebelah tangan kiri dan mata terpejamkan.”



Tentu, hanya bercanda. Saya pun terkadang pakai tangan kanan sesekali.



Memangnya, pekerjaan saya banyak atau tidak, sih?

Pertanyaan menyebalkan.

Sebanyak apa pun pekerjaan kita, kan sekarang sudah ada komputer. Ada telepon. Ada internet. Ada mesin fax. Kalau masih merasa bahwa pekerjaan kantor itu banyak banget, ugh, jangan-jangan… itu masalah skill dan intelejensi saja…


Bercanda, ah. Jangan marah.

Mungkin cuma sekedar ingin memberi kesan kepada banyak orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush hush…”








Bapak, kalau putramu ini jarang menelepon dan jarang pulang kampung, itu bukan karena sibuk dengan kerjaan. Bukan, Pak. Sama sekali bukan.






Tapi karena… lupa.








Hush Hush...




“Duh, saya sibuk banget! Ngga sempat makan. Jadinya kena maag…”

“Deadline sialan!”
“Hari kemarin, lembur. Besok lembur lagi!”
“Maaf, saya ngga bisa. Banyak kerjaan di kantor…”
“Ugh, boro-boro nonton. Bisa mandi aja sudah syukur….”




Ini mungkin yang dimaksud dengan istilah: dipoyok, dilebok. Artinya: ngeluh, tapi terus dilakukan.

Atau, ada juga beberapa yang hanya ingin memberikan kesan kepada orang-orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush…”

Dan sebaliknya, banyak sekali… banyak nian yang bertanya pada saya betapa saya ini tampak santai dan tidak ada kerjaan. Sempat-sempatnya menonton dvd, jalan-jalan melulu, karaoke, ongkang-ongkang kaki, kongkow di kafe…

Online yahoo messenger…
.
.
Fitness…
.
.
.



Biasanya saya beri jawaban,

“Dengan skill dan intelejensi yang saya miliki, semua pekerjaan dapat saya selesaikan dalam hitungan menit. Itu pun hanya menggunakan sebelah tangan kiri dan mata terpejamkan.”



Tentu, hanya bercanda. Saya pun terkadang pakai tangan kanan sesekali.



Memangnya, pekerjaan saya banyak atau tidak, sih?

Pertanyaan menyebalkan.

Sebanyak apa pun pekerjaan kita, kan sekarang sudah ada komputer. Ada telepon. Ada internet. Ada mesin fax. Kalau masih merasa bahwa pekerjaan kantor itu banyak banget, ugh, jangan-jangan… itu masalah skill dan intelejensi saja…


Bercanda, ah. Jangan marah.

Mungkin cuma sekedar ingin memberi kesan kepada banyak orang bahwa,

“Saya ini sedang menjalani tangga kesuksesan. Tidak bisa diganggu. Lihat saja, saya sibuk sekali. Menyapa kamu saja saya ngga sempat. Hush hush…”








Bapak, kalau putramu ini jarang menelepon dan jarang pulang kampung, itu bukan karena sibuk dengan kerjaan. Bukan, Pak. Sama sekali bukan.






Tapi karena… lupa.








Minggu, 21 Juni 2009



jika makanan itu pacar
dan makanan enak itu pacar yang menyenangkan
dan makanan mahal itu pacar yang matre

kami sudah puluhan tahun berpacaran


tapi
kali ini
saya merasa dikhianati






jika makanan itu pacar
dan makanan enak itu pacar yang menyenangkan
dan makanan mahal itu pacar yang matre

kami sudah puluhan tahun berpacaran


tapi
kali ini
saya merasa dikhianati




Rabu, 17 Juni 2009

Satu Milyar Duapuluh Satu




Adalah waktu itu tengah malam di bukit Sukawana. Berempat kami membangun sebuah tenda, menghangatkan tubuh di sekeliling api unggun sambil memanggang sosis yang ditusuk ranting cemara. Di belakang kami, bayang gelap Gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu. Di hadapan, terhampar kerlip lampu kota Bandung penuh warna dan warni. Ada biru laut. Ada kuning langsat. Ada pink tua. Juga ada hijau botol. Botolnya botol saos.

Sementara langit, tidak ada yang dapat diceritakan tentangnya. Seperti bintik jerawat di wajah kamu, langit malam ditaburi semilyar duapuluh dua bintang. Baru usai saya hitung semua, satu persatu. Lalu kembali mengulangnya dari awal. Kali ini masing-masing saya beri nama.

Dan bulan, di manakah kamu berada?

Begitu saya bertanya dalam hati. Lupa, jika saat itu akhir bulan. Pantas saja dompet terasa tipis sekali di pantat.

Acara yang sungguh membosankan mengingat tidak ada satu pun yang membawa gitar. Apalagi harmonika. Tapi, sekalipun seseorang membawa harmonika, tidak ada satupun diantara kami yang bisa memainkannya. Jangankan meniup harmonika, bersiul saja kami sumbang.

Setelah usai memberi nama pada bintang-bintang di langit (tentu, saya beri nama kamu pada yang paling terang), seseorang akhirnya membuka suara.

Yaitu, saya sendiri.

“Menurut kalian, apa yang paling menarik di dunia ini?”

.

.

Tak ada yang menjawab. Diam semua. Ada yang terlihat begitu mengantuk, membiarkan sosis panggangannya hangus hitam. Ada yang melamun, memandang ke arah semilyar duapuluh satu bintang (iya, sudah saya simpan satu untuk kamu sebagai oleh-oleh pulang). Mungkin sedang memikirkan pacarnya. Mungkin selingkuhannya. Dan ada yang duduk berjongkok memunggungi kami, menghadapkan tubuhnya ke arah gunung. Sama-sama melamun. Atau sedang pundung?

Sepertinya pertanyaan saya tentang hal yang paling menarik di dunia ini sama sekali tidak menarik bagi mereka. Tak tega diri ini mengganggu keasyikan masing-masing. Tapi, setelah dipikir ulang, lebih baik tega daripada bengong.

“Kamu,” kata saya pada teman nomor satu sambil menunjuk ke arah wajahnya menggunakan sosis hangus, “lakukan sesuatu untuk menghibur kita semua.”

Maka jadilah area api unggun ini sebagai panggung hiburan.

“Untuk menghibur hati yang murung, ijinkanlah saya menyumbangkan sebuah lagu.”

Teman nomor satu ini memang punya suara yang mumpuni. Merdu sangat. Juga khas. Nafasnya pun amat kuat. Jika beliau menyanyi, burung-burung pun akan diam khidmad medengarkan. Daun-daun berguguran, tak kuasa menahan berat suaranya. Lalu air mata kita akan mengalir tanpa terasa. Dan ingatan pun terbang menuju berbagai peristiwa. Kekasih yang pergi, keluarga yang ditinggalkan, serta gaduh seisi rumah saat merayakan lebaran.

Sudah beberapa kali dia menjuarai Festival Bintang Radio dan Televisi. Tawaran untuk masuk ke dapur rekaman bukannya tidak pernah datang, tapi justru sebaliknya. Ia tolak satu persatu setiap kontrak yang disodorkan.

“Saya cuma ingin berduet…
…Dan saya menunggu pasangan yang benar-benar tepat.”

Dan suasana di bukit Sukawana menjadi syahdu sewaktu beliau membawakan Perfect Day. Mata kami mulai basah di Merepih Alam. Lalu, kerinduan pada ayah menjadi menggebu sewaktu beliau mendendangkan lagu Daddy. Terpaksa saya menghentikannya sebelum kami semua ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan memeluk ayah kami.

“Berikutnya,” kata saya pada teman nomor dua yang kedapatan sedang menyeka air mata.

Tahu benar bahwa saya tidak suka menunggu, teman saya mengeluarkan sesuatu dari tasnya: sebuah saklar. Dia berdiri, sebentar membersihkan tanah di pantat, lalu menghadap ke arah hamparan kota. Bibirnya tersenyum, kini. Tersenyum simpul. Tapi dia sungguh keliru jika mengira manis senyumannya. Namun demikian, itu sungguh senyum yang sangat misterius dan membuat penasaran.

“Lihat,” dia bilang.

Tombol saklar pun ditekan. Terdengar suara klik, dan satu-persatu lampu kota Bandung dan sekitarnya padam. Jutaan lampu padam. Padam tak bersisa. Dibuatnya Bandung gelap gulita. Juga Cimahi, Soreang dan Kabupaten Bandung Barat. Juga Banjaran. Juga Ujungberung. Juga Jatinangor.

Juga rumah kamu.

“Belum selesai,” katanya lagi, seakan masih ada kejutan lain.

Suara klik kembali terdengar. Tapi tidak ada sesuatu yang terjadi. Kami tidak melihat ada perubahan sesuatu apa.

“Lihat ke arah timur.”

Serta merta kami bertiga menggerakkan kepala. Tapi dasar mereka yang tidak terbiasa dengan mata angin, maka pandangan mereka berbeda-beda arahnya. Ada yang ke atas ke bawah. Dan ada yang ke semak-semak. Hanya saya, dan cuma saya yang mengarahkan pandangan dengan benar. Cuma saya yang tahu bagaimana menentukan arah timur di malam hari dengan benar. Karena sangat mudah. Amat mudah.

Untuk menentukan di mana itu timur, kamu cukup dengan mengetahui arah barat terlebih dahulu. Lalu, putar tubuhmu dengan sudut 180 derajat celcius.

Dan di sana, di arah timur sana, samar-samar saya melihat sebuah lampu menyala, menerangi sebuah rumah. Hanya satu, lain tidak.

Saya tahu pemilik rumah itu.

Rumah pacarnya.

.

Sungguh menarik. Menarik sekali. Lain waktu akan saya pinjam saklar tersebut. Akan saya padamkan lampu rumah kamu. Ya, hanya rumah kamu. Lalu saya datang ke sana dengan membawa sebatang lilin dan senter. Lalu kita berdua akan candle light dinner.

Setelah meminta si anak Direktur PLN mengembalikan lampu-lampu kota ke sedia kala, saya menunjuk teman nomor tiga.

“Giliran kamu. Berceritalah.”

Nah, teman satu ini rajanya mendongeng. Beliau punya koleksi dongeng klasik yang nyaris tak terbatas. Dari manca negara. Berbagai daerah. Maka, dimulailah cerita nasib buruk tukang celup yang terkenal itu.

Alkisah, seorang pencuri sedang beraksi. Mengendap-endap ia pada atap sebuah rumah yang diincarnya. Dasar nasib buruk, atap rumah tersebut tiba-tiba roboh, tidak kuat menahan beban tubuhnya. Ia pun jatuh dan mati.

Anggota keluarga si pencuri tidak menerima kejadian tersebut, lalu menuntut si pemilik rumah ke pengadilan. Alasannya: Gara-gara atap rumah yang tidak kuat, saudara/ ayah/ putera/ menantu kami meninggal dunia. Sang hakim yang adil mengabulkan tuntutannya, menjatuhkan hukuman gantung sampai mati pada si pemilik rumah.
Tapi si pemilik rumah membela diri.

“Bukan salah saya, Pak Hakim.Ini salah tukang kayu yang membuat atap. Dia yang membuat atap rumah saya tidak kuat.”

Maka sang hakim pun memanggil tukang kayu dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tapi si tukang kayu membela diri.

“Ini salah si janda tetangga saya yang berbaju hijau, Pak Hakim. Gara-gara baju hijaunya yang menyala, perhatian saya terbagi sewaktu membuat atap rumah.”

Maka sang hakim memanggil si janda dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Si janda pun membela diri.

“Ini salah tukang celup, Pak Hakim. Saya meminta baju saya dicelup warna coklat, jadinya malah hijau muda.”

Maka tukang celup pun dipanggil. Tidak bisa membela diri, sang hakim menjatuhkan hukuman mati pada si tukang celup dengan cara digantung. Seorang algojo ditugaskan untuk melaksanakan eksekusi. Tapi dasar algojo, tiang gantungannya terlalu pendek bagi si tukang celup yang bertubuh tinggi itu. Akibatnya, meski tali gantungan sudah melingkar di leher, tapi tukang celup tidak mati-mati juga. Lalu sang algojo melaporkan masalah tersebut pada sang hakim.

Kata hakim, “Bodoh kamu. Cari saja tukang celup pendek.”

Maka, seorang tukang celup bertubuh pendek pun ditangkap dan dihukum gantung sampai mati.








Sebuah dongeng pengantar tidur yang sangat ciamik. Kami berempat mimpi indah malam itu. Senyum tipis menyungging di masing-masing wajah kami.











Sukawana, 10 Maret 2001







Satu Milyar Duapuluh Satu




Adalah waktu itu tengah malam di bukit Sukawana. Berempat kami membangun sebuah tenda, menghangatkan tubuh di sekeliling api unggun sambil memanggang sosis yang ditusuk ranting cemara. Di belakang kami, bayang gelap Gunung Burangrang dan Tangkuban Perahu. Di hadapan, terhampar kerlip lampu kota Bandung penuh warna dan warni. Ada biru laut. Ada kuning langsat. Ada pink tua. Juga ada hijau botol. Botolnya botol saos.

Sementara langit, tidak ada yang dapat diceritakan tentangnya. Seperti bintik jerawat di wajah kamu, langit malam ditaburi semilyar duapuluh dua bintang. Baru usai saya hitung semua, satu persatu. Lalu kembali mengulangnya dari awal. Kali ini masing-masing saya beri nama.

Dan bulan, di manakah kamu berada?

Begitu saya bertanya dalam hati. Lupa, jika saat itu akhir bulan. Pantas saja dompet terasa tipis sekali di pantat.

Acara yang sungguh membosankan mengingat tidak ada satu pun yang membawa gitar. Apalagi harmonika. Tapi, sekalipun seseorang membawa harmonika, tidak ada satupun diantara kami yang bisa memainkannya. Jangankan meniup harmonika, bersiul saja kami sumbang.

Setelah usai memberi nama pada bintang-bintang di langit (tentu, saya beri nama kamu pada yang paling terang), seseorang akhirnya membuka suara.

Yaitu, saya sendiri.

“Menurut kalian, apa yang paling menarik di dunia ini?”

.

.

Tak ada yang menjawab. Diam semua. Ada yang terlihat begitu mengantuk, membiarkan sosis panggangannya hangus hitam. Ada yang melamun, memandang ke arah semilyar duapuluh satu bintang (iya, sudah saya simpan satu untuk kamu sebagai oleh-oleh pulang). Mungkin sedang memikirkan pacarnya. Mungkin selingkuhannya. Dan ada yang duduk berjongkok memunggungi kami, menghadapkan tubuhnya ke arah gunung. Sama-sama melamun. Atau sedang pundung?

Sepertinya pertanyaan saya tentang hal yang paling menarik di dunia ini sama sekali tidak menarik bagi mereka. Tak tega diri ini mengganggu keasyikan masing-masing. Tapi, setelah dipikir ulang, lebih baik tega daripada bengong.

“Kamu,” kata saya pada teman nomor satu sambil menunjuk ke arah wajahnya menggunakan sosis hangus, “lakukan sesuatu untuk menghibur kita semua.”

Maka jadilah area api unggun ini sebagai panggung hiburan.

“Untuk menghibur hati yang murung, ijinkanlah saya menyumbangkan sebuah lagu.”

Teman nomor satu ini memang punya suara yang mumpuni. Merdu sangat. Juga khas. Nafasnya pun amat kuat. Jika beliau menyanyi, burung-burung pun akan diam khidmad medengarkan. Daun-daun berguguran, tak kuasa menahan berat suaranya. Lalu air mata kita akan mengalir tanpa terasa. Dan ingatan pun terbang menuju berbagai peristiwa. Kekasih yang pergi, keluarga yang ditinggalkan, serta gaduh seisi rumah saat merayakan lebaran.

Sudah beberapa kali dia menjuarai Festival Bintang Radio dan Televisi. Tawaran untuk masuk ke dapur rekaman bukannya tidak pernah datang, tapi justru sebaliknya. Ia tolak satu persatu setiap kontrak yang disodorkan.

“Saya cuma ingin berduet…
…Dan saya menunggu pasangan yang benar-benar tepat.”

Dan suasana di bukit Sukawana menjadi syahdu sewaktu beliau membawakan Perfect Day. Mata kami mulai basah di Merepih Alam. Lalu, kerinduan pada ayah menjadi menggebu sewaktu beliau mendendangkan lagu Daddy. Terpaksa saya menghentikannya sebelum kami semua ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan memeluk ayah kami.

“Berikutnya,” kata saya pada teman nomor dua yang kedapatan sedang menyeka air mata.

Tahu benar bahwa saya tidak suka menunggu, teman saya mengeluarkan sesuatu dari tasnya: sebuah saklar. Dia berdiri, sebentar membersihkan tanah di pantat, lalu menghadap ke arah hamparan kota. Bibirnya tersenyum, kini. Tersenyum simpul. Tapi dia sungguh keliru jika mengira manis senyumannya. Namun demikian, itu sungguh senyum yang sangat misterius dan membuat penasaran.

“Lihat,” dia bilang.

Tombol saklar pun ditekan. Terdengar suara klik, dan satu-persatu lampu kota Bandung dan sekitarnya padam. Jutaan lampu padam. Padam tak bersisa. Dibuatnya Bandung gelap gulita. Juga Cimahi, Soreang dan Kabupaten Bandung Barat. Juga Banjaran. Juga Ujungberung. Juga Jatinangor.

Juga rumah kamu.

“Belum selesai,” katanya lagi, seakan masih ada kejutan lain.

Suara klik kembali terdengar. Tapi tidak ada sesuatu yang terjadi. Kami tidak melihat ada perubahan sesuatu apa.

“Lihat ke arah timur.”

Serta merta kami bertiga menggerakkan kepala. Tapi dasar mereka yang tidak terbiasa dengan mata angin, maka pandangan mereka berbeda-beda arahnya. Ada yang ke atas ke bawah. Dan ada yang ke semak-semak. Hanya saya, dan cuma saya yang mengarahkan pandangan dengan benar. Cuma saya yang tahu bagaimana menentukan arah timur di malam hari dengan benar. Karena sangat mudah. Amat mudah.

Untuk menentukan di mana itu timur, kamu cukup dengan mengetahui arah barat terlebih dahulu. Lalu, putar tubuhmu dengan sudut 180 derajat celcius.

Dan di sana, di arah timur sana, samar-samar saya melihat sebuah lampu menyala, menerangi sebuah rumah. Hanya satu, lain tidak.

Saya tahu pemilik rumah itu.

Rumah pacarnya.

.

Sungguh menarik. Menarik sekali. Lain waktu akan saya pinjam saklar tersebut. Akan saya padamkan lampu rumah kamu. Ya, hanya rumah kamu. Lalu saya datang ke sana dengan membawa sebatang lilin dan senter. Lalu kita berdua akan candle light dinner.

Setelah meminta si anak Direktur PLN mengembalikan lampu-lampu kota ke sedia kala, saya menunjuk teman nomor tiga.

“Giliran kamu. Berceritalah.”

Nah, teman satu ini rajanya mendongeng. Beliau punya koleksi dongeng klasik yang nyaris tak terbatas. Dari manca negara. Berbagai daerah. Maka, dimulailah cerita nasib buruk tukang celup yang terkenal itu.

Alkisah, seorang pencuri sedang beraksi. Mengendap-endap ia pada atap sebuah rumah yang diincarnya. Dasar nasib buruk, atap rumah tersebut tiba-tiba roboh, tidak kuat menahan beban tubuhnya. Ia pun jatuh dan mati.

Anggota keluarga si pencuri tidak menerima kejadian tersebut, lalu menuntut si pemilik rumah ke pengadilan. Alasannya: Gara-gara atap rumah yang tidak kuat, saudara/ ayah/ putera/ menantu kami meninggal dunia. Sang hakim yang adil mengabulkan tuntutannya, menjatuhkan hukuman gantung sampai mati pada si pemilik rumah.
Tapi si pemilik rumah membela diri.

“Bukan salah saya, Pak Hakim.Ini salah tukang kayu yang membuat atap. Dia yang membuat atap rumah saya tidak kuat.”

Maka sang hakim pun memanggil tukang kayu dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Tapi si tukang kayu membela diri.

“Ini salah si janda tetangga saya yang berbaju hijau, Pak Hakim. Gara-gara baju hijaunya yang menyala, perhatian saya terbagi sewaktu membuat atap rumah.”

Maka sang hakim memanggil si janda dan menjatuhkan hukuman mati padanya. Si janda pun membela diri.

“Ini salah tukang celup, Pak Hakim. Saya meminta baju saya dicelup warna coklat, jadinya malah hijau muda.”

Maka tukang celup pun dipanggil. Tidak bisa membela diri, sang hakim menjatuhkan hukuman mati pada si tukang celup dengan cara digantung. Seorang algojo ditugaskan untuk melaksanakan eksekusi. Tapi dasar algojo, tiang gantungannya terlalu pendek bagi si tukang celup yang bertubuh tinggi itu. Akibatnya, meski tali gantungan sudah melingkar di leher, tapi tukang celup tidak mati-mati juga. Lalu sang algojo melaporkan masalah tersebut pada sang hakim.

Kata hakim, “Bodoh kamu. Cari saja tukang celup pendek.”

Maka, seorang tukang celup bertubuh pendek pun ditangkap dan dihukum gantung sampai mati.








Sebuah dongeng pengantar tidur yang sangat ciamik. Kami berempat mimpi indah malam itu. Senyum tipis menyungging di masing-masing wajah kami.











Sukawana, 10 Maret 2001







Senin, 15 Juni 2009

Menunggu Hujan Reda...



"Kalau istrinya orang Padang, bisa jadi Capres..."
Begitu kata Pak Bambang.














Ingin cepat pulang
tapi mampir dulu ke RM Simpang Raya....





Menunggu Hujan Reda...



"Kalau istrinya orang Padang, bisa jadi Capres..."
Begitu kata Pak Bambang.














Ingin cepat pulang
tapi mampir dulu ke RM Simpang Raya....





Kamis, 11 Juni 2009

Monyet!





Luar negeri itu begitu memikat, ya. Menawan hati sebagian besar orang. Dari mulai ingin kuliah, bekerja, sampai dipinang bule dan diboyong untuk tinggal di sana.

Di luar negeri itu, kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa. Begitulah cerita mereka sepulang dari luar negeri.

Lalu, bagaimana dengan saya?

Hmm.

Sejak menjelang kelulusan dulu, nyaris semua orang-orang terdekat menganjurkan saya untuk melanjutkan sekolah di luar. Luar negeri, bukan di luar rumah. Ada yang menganjurkan ke Belanda, Jepang, Jerman, sampai ke Korea. Korea bagian selatan, tentunya. Kalau yang di utara, itu bagi mereka yang hendak kuliah di akhirat. Atau menguji kekebalan tubuh.

Dengan gagahnya waktu itu saya menolak. Menampik. Bukan. Bukan karena takut ditolak oleh para calon pemberi beasiswa. Bukan pula karena TOEFL saya rendah (bahkan, saya belum pernah ikut test TOEFL). Dan meski kemungkinannya memang ditolak, tapi bukan karena itu.

Saya sendiri awalnya kebingungan. Seorang saya yang sejak kecil senang sekali menuntut ilmu, dan bercita-cita amat luhur, kenapa tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah di luar negeri asing. Di kampus-kampus terbaik di dunia. Di negeri-negeri yang kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa.

Kenapa, ya, saya tidak tertarik?

Kenapa?

Kenapa, wahai diri, kenapa?

Begitu saya bertanya-tanya dalam hati selama beberapa tahun ke belakang. Bertahun-tahun, lho. Lama, itu. Selama bertahun-tahun, saya memikirkan hanya itu dan itu saja. Yang lain tidak. Kamu juga tidak.

Dan, sampai saat ini pun, jawaban itu belum saya temukan. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa… tidak usahlah saya memikirkan hal yang tidak-tidak. Masih banyak hal lain dalam hidup yang harus dipikirkan benar-benar. Misalkan, bagaimana mengatasi masalah celana saya yang melorot semua akibat sukses berolahraga. Atau, lagu-lagu apa yang harus saya nyanyikan di acara karaoke mendatang. Atau, menyelesaikan perhitungan luas dan vektor normal persegi sembarang.




Ya. Mungkin karena saya begitu terikat dengan negeri ini, bumi dan manusianya.
(Aih. Indahnya gaung kata-kata itu.)




Bandung,
setengah jam menjelang
tengah malam
sehabis menyimak
mimpi seseorang









“Hindia adalah rimba belantara dan aku hanya salah satu dari jutaan monyetnya.”
[Minke]






Monyet!





Luar negeri itu begitu memikat, ya. Menawan hati sebagian besar orang. Dari mulai ingin kuliah, bekerja, sampai dipinang bule dan diboyong untuk tinggal di sana.

Di luar negeri itu, kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa. Begitulah cerita mereka sepulang dari luar negeri.

Lalu, bagaimana dengan saya?

Hmm.

Sejak menjelang kelulusan dulu, nyaris semua orang-orang terdekat menganjurkan saya untuk melanjutkan sekolah di luar. Luar negeri, bukan di luar rumah. Ada yang menganjurkan ke Belanda, Jepang, Jerman, sampai ke Korea. Korea bagian selatan, tentunya. Kalau yang di utara, itu bagi mereka yang hendak kuliah di akhirat. Atau menguji kekebalan tubuh.

Dengan gagahnya waktu itu saya menolak. Menampik. Bukan. Bukan karena takut ditolak oleh para calon pemberi beasiswa. Bukan pula karena TOEFL saya rendah (bahkan, saya belum pernah ikut test TOEFL). Dan meski kemungkinannya memang ditolak, tapi bukan karena itu.

Saya sendiri awalnya kebingungan. Seorang saya yang sejak kecil senang sekali menuntut ilmu, dan bercita-cita amat luhur, kenapa tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah di luar negeri asing. Di kampus-kampus terbaik di dunia. Di negeri-negeri yang kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa.

Kenapa, ya, saya tidak tertarik?

Kenapa?

Kenapa, wahai diri, kenapa?

Begitu saya bertanya-tanya dalam hati selama beberapa tahun ke belakang. Bertahun-tahun, lho. Lama, itu. Selama bertahun-tahun, saya memikirkan hanya itu dan itu saja. Yang lain tidak. Kamu juga tidak.

Dan, sampai saat ini pun, jawaban itu belum saya temukan. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa… tidak usahlah saya memikirkan hal yang tidak-tidak. Masih banyak hal lain dalam hidup yang harus dipikirkan benar-benar. Misalkan, bagaimana mengatasi masalah celana saya yang melorot semua akibat sukses berolahraga. Atau, lagu-lagu apa yang harus saya nyanyikan di acara karaoke mendatang. Atau, menyelesaikan perhitungan luas dan vektor normal persegi sembarang.




Ya. Mungkin karena saya begitu terikat dengan negeri ini, bumi dan manusianya.
(Aih. Indahnya gaung kata-kata itu.)




Bandung,
setengah jam menjelang
tengah malam
sehabis menyimak
mimpi seseorang









“Hindia adalah rimba belantara dan aku hanya salah satu dari jutaan monyetnya.”
[Minke]






Senin, 08 Juni 2009

Lontong!



Ceritanya, minggu lalu kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita. Letaknya di 60 km arah barat laut Rangkasbitung. Dan di mana itu Rangkasbitung, bukan tanggung jawab saya untuk memberi tahu. Dan benarkah ke arah barat laut? Dan benarkah 60 km jauhnya? Jujur, saya sekedar sok tahu. Mungkin lebih, mungkin kurang. Data tersebut disampaikan hanya cuma sekedar formalitas belaka sahaja, yang bila dihapus, tidak akan mengurangi maknanya barang sedikit pun.

Rangkasbitung itu ibukota Provinsi Banten. Dulunya. Atau, kepinginnya. Dan hanya tinggal kepingin karena pembangunan di sana nyaris baru dimulai lima-enam tahun ke belakang. Sejak bupati yang saat ini menjabat. Namanya Jayabaya. Meski, menurut sassus yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, beliau hanya lulusan sma, namun Kabupaten Rangkasbitung mulai bergeliat dari tidurnya yang panjang dan nyenyak. Padahal, di sana banyak nyamuk bukan alang kepalang. Mungkin juga itu sebab di sana tidak ada bencong berpakaian seksi mangkal malam hari.

Di Rangkasbitung, hanya terdapat dua buah bioskop. Itu pun sudah tutup sejak tahun 1994. Apollo, bioskop paling tua dan paling lama bertahan, dan Mandala yang hanya sempat beroperasi selama dua tahun. Keduanya tidak kuasa bersaing dengan kemunculan berbagai stasiun tv swasta. Padahal, saya suka sekali menonton di bioskop yang ada jeda istirahatnya, lalu para pedagang asongan menyerbu masuk ke dalam.

"Teh botol? Rokok? Lontong?"



Jangan mencari restoran fastfood jika, entah apa yang ada dalam pikiran kamu, berkunjung ke Rangkasbitung. Jangan bertanya di mana tempat yang romantis untuk berkencan, atau outlet yang menjual fashion kesukaan. Dan yang terpenting, jangan sekali-sekali bertanya… kapan pulang. Sudah jauh-jauh datang ke Rangkasbitung, masa langsung pulang?! Kamu harus mencicipi dahulu mie ayam Uum yang sangat terkenal itu. Terkenal di mana? Ya, di Rangkasbitung. Atau, cicipi baso Ismo yang sangat digemari itu. Yang kuahnya penuh lemak dengan sambal dahsyat pedasnya itu. Yang, konon, para peliput acara tv wisata kuliner berebut ke sana. TV mana? Ya, stasiun tv lokal sana. Atau, rasakan hangat nasi uduknya yang sangat populer. Dan tentunya, harus mencoba juga sayur lada yang… bau tiada tara, namun nikmat tak terkira. Maklum, bahan dasar sayur ini adalah daun yang digunakan sang rakun bersarang. Di sinilah perlunya kerjasama yang baik antara hidung dan mulut. Bagaimana pun, dalam hal makan, si hidung harus menurut.

Kini, Rangkasbitung semakin semarak dengan berdirinya sebuah mall Barata, singkatan dari Banten Ra… Ta... Memang tidak sebesar dan semegah Senayan City, tapi lumayanlah. Ada toko buku Karisma dan, tentu saja, penjaja dvd bajakan di sana. Kalau sudah ada dua macam toko itu, sudah lebih dari cukup, bukan?

Kalau ke Rangkasbitung, tidak usah bawa jaket tebal. Atau, syal. Temperatur udara di sana tidak jauh beda dengan Jakarta. Tapi, tenang saja. Kamu tidak perlu disuntik malaria.





Jadi, ceritanya, kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita.

Lontong!



Ceritanya, minggu lalu kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita. Letaknya di 60 km arah barat laut Rangkasbitung. Dan di mana itu Rangkasbitung, bukan tanggung jawab saya untuk memberi tahu. Dan benarkah ke arah barat laut? Dan benarkah 60 km jauhnya? Jujur, saya sekedar sok tahu. Mungkin lebih, mungkin kurang. Data tersebut disampaikan hanya cuma sekedar formalitas belaka sahaja, yang bila dihapus, tidak akan mengurangi maknanya barang sedikit pun.

Rangkasbitung itu ibukota Provinsi Banten. Dulunya. Atau, kepinginnya. Dan hanya tinggal kepingin karena pembangunan di sana nyaris baru dimulai lima-enam tahun ke belakang. Sejak bupati yang saat ini menjabat. Namanya Jayabaya. Meski, menurut sassus yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, beliau hanya lulusan sma, namun Kabupaten Rangkasbitung mulai bergeliat dari tidurnya yang panjang dan nyenyak. Padahal, di sana banyak nyamuk bukan alang kepalang. Mungkin juga itu sebab di sana tidak ada bencong berpakaian seksi mangkal malam hari.

Di Rangkasbitung, hanya terdapat dua buah bioskop. Itu pun sudah tutup sejak tahun 1994. Apollo, bioskop paling tua dan paling lama bertahan, dan Mandala yang hanya sempat beroperasi selama dua tahun. Keduanya tidak kuasa bersaing dengan kemunculan berbagai stasiun tv swasta. Padahal, saya suka sekali menonton di bioskop yang ada jeda istirahatnya, lalu para pedagang asongan menyerbu masuk ke dalam.

"Teh botol? Rokok? Lontong?"



Jangan mencari restoran fastfood jika, entah apa yang ada dalam pikiran kamu, berkunjung ke Rangkasbitung. Jangan bertanya di mana tempat yang romantis untuk berkencan, atau outlet yang menjual fashion kesukaan. Dan yang terpenting, jangan sekali-sekali bertanya… kapan pulang. Sudah jauh-jauh datang ke Rangkasbitung, masa langsung pulang?! Kamu harus mencicipi dahulu mie ayam Uum yang sangat terkenal itu. Terkenal di mana? Ya, di Rangkasbitung. Atau, cicipi baso Ismo yang sangat digemari itu. Yang kuahnya penuh lemak dengan sambal dahsyat pedasnya itu. Yang, konon, para peliput acara tv wisata kuliner berebut ke sana. TV mana? Ya, stasiun tv lokal sana. Atau, rasakan hangat nasi uduknya yang sangat populer. Dan tentunya, harus mencoba juga sayur lada yang… bau tiada tara, namun nikmat tak terkira. Maklum, bahan dasar sayur ini adalah daun yang digunakan sang rakun bersarang. Di sinilah perlunya kerjasama yang baik antara hidung dan mulut. Bagaimana pun, dalam hal makan, si hidung harus menurut.

Kini, Rangkasbitung semakin semarak dengan berdirinya sebuah mall Barata, singkatan dari Banten Ra… Ta... Memang tidak sebesar dan semegah Senayan City, tapi lumayanlah. Ada toko buku Karisma dan, tentu saja, penjaja dvd bajakan di sana. Kalau sudah ada dua macam toko itu, sudah lebih dari cukup, bukan?

Kalau ke Rangkasbitung, tidak usah bawa jaket tebal. Atau, syal. Temperatur udara di sana tidak jauh beda dengan Jakarta. Tapi, tenang saja. Kamu tidak perlu disuntik malaria.





Jadi, ceritanya, kami sekeluarga berlibur ke Pantai Carita.

Rabu, 03 Juni 2009

Nama-nama Bulan




dan kepada mei
saya meminta maaf
tak sanggup untuk
penuhi janji


sssttt...
bilang juga pada april yang malang
si cemberut maret
dan februari yang ruwet

sedang januari
suruh tidur kembali

juli agustus,
kalian terlalu serius
dan biarkan juni yang sepi
cepat-cepat pergi



syuh syuh...

Nama-nama Bulan




dan kepada mei
saya meminta maaf
tak sanggup untuk
penuhi janji


sssttt...
bilang juga pada april yang malang
si cemberut maret
dan februari yang ruwet

sedang januari
suruh tidur kembali

juli agustus,
kalian terlalu serius
dan biarkan juni yang sepi
cepat-cepat pergi



syuh syuh...