Senin, 24 Maret 2008

Hate My Self...


Pernahkah kamu menjadi orang yang kamu benci? Saat ini saya sedang mengalaminya. Sialan.

Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, dalam satu bulan terakhir, mulut saya selalu menempel di mikoropon ponsel selama enam jam per hari. Tiga ratus ribu rupiah saya belanjakan hanya untuk pulsa simpati. Pikiran saya seperti dihantui. Jam tidur saya semakin menuju ke arah dini hari. Dan tentunya, semua pekerjaan saya jadi teraba-i. Dan celakanya, saya jatuh hati pada seseorang yang belum pernah saya temui. Tapi masalah tidak selesai sampai di sini. Saya tidak tahu apakah si seseorang tersebut adalah perempuan atau ... banci.

Rasa curiga tersebut muncul bukan dengan tanpa alasan. Seperti yang telah banyak diketahui banyak orang, saya adalah seorang lelaki pengagum kecantikan. Karena itu, ketika si seseorang tersebut menunjukkan gambar wajahnya, segera saya simpulkan bahwa titel cantik layak disandanginya. Penilaian saya tidak akan salah. Sekali-kali, tidak.

Yang menimbulkan rasa aneh adalah...suaranya. Serak-serak basah. Ditambah pula dengan selalu tertundanya pertemuan kami berdua. Terjangkiti demam berdarah. Atau salah satu sepupunya menikah. Dan yang terakhir acara perayaan Paskah.

Karena itu, telah diputuskan, bulan ini saya tidak akan membeli pulsa. Jika tigaratus ribu itu saya sedekahkan, atau enam jam per hari saya pakai untuk berkarya, atau saya tidur tepat pada waktunya, tentu saya akan menjadi lelaki yang jauh lebih baik, sehat dan kaya.

Amin.

Hate My Self...


Pernahkah kamu menjadi orang yang kamu benci? Saat ini saya sedang mengalaminya. Sialan.

Untuk pertama kalinya dalam hidup ini, dalam satu bulan terakhir, mulut saya selalu menempel di mikoropon ponsel selama enam jam per hari. Tiga ratus ribu rupiah saya belanjakan hanya untuk pulsa simpati. Pikiran saya seperti dihantui. Jam tidur saya semakin menuju ke arah dini hari. Dan tentunya, semua pekerjaan saya jadi teraba-i. Dan celakanya, saya jatuh hati pada seseorang yang belum pernah saya temui. Tapi masalah tidak selesai sampai di sini. Saya tidak tahu apakah si seseorang tersebut adalah perempuan atau ... banci.

Rasa curiga tersebut muncul bukan dengan tanpa alasan. Seperti yang telah banyak diketahui banyak orang, saya adalah seorang lelaki pengagum kecantikan. Karena itu, ketika si seseorang tersebut menunjukkan gambar wajahnya, segera saya simpulkan bahwa titel cantik layak disandanginya. Penilaian saya tidak akan salah. Sekali-kali, tidak.

Yang menimbulkan rasa aneh adalah...suaranya. Serak-serak basah. Ditambah pula dengan selalu tertundanya pertemuan kami berdua. Terjangkiti demam berdarah. Atau salah satu sepupunya menikah. Dan yang terakhir acara perayaan Paskah.

Karena itu, telah diputuskan, bulan ini saya tidak akan membeli pulsa. Jika tigaratus ribu itu saya sedekahkan, atau enam jam per hari saya pakai untuk berkarya, atau saya tidur tepat pada waktunya, tentu saya akan menjadi lelaki yang jauh lebih baik, sehat dan kaya.

Amin.

Selasa, 04 Maret 2008

L'Issey Miyake Pour Homme


SEUMUR hidup, saya selalu berjalan tegak di muka bumi karena tidak pernah melakukan hal yang bertentangan dengan nurani. Hitam-putih tampak jelas di mata saya. Meski berat, jalan lurus selalu saya tempuh. Keraguan hanya milik mereka yang berhati lemah. Saya adalah lelaki, penerus Musashi.

Tapi tiba-tiba kebimbangan itu datang. Jiwa saya goyah tak tertahan. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini saya merasa takut. Sampai-sampai saya meringkuk di pojok kamar seharian dengan tubuh menggigil. Langit-langit terasa berputar.

Siang itu saya sedang berjalan pulang seusai belanja kebutuhan bulanan di sebuah mall. Indra penciuman saya menangkap sesuatu yang exiting ketika melewati sebuah toko parfum. Ada yang berbeda di sana. Samar-samar, memang, tapi cukup kuat untuk membuat langkah saya tertahan. Sedikit ragu, saya hirup udara lebih dalam. Benar-benar wangi yang tidak biasa. Wangi yang sanggup meluluhkan hati, menaklukkan jiwa dan menciptakan sensasi.

Seakan teripnotis, saya melangkah masuk. Bahkan saya tidak sadar bahwa itulah untuk pertama kalinya kedua kaki saya berpijak di atas lantai sebuah toko parfum, tempat yang selama ini saya anggap terlarang.

Seorang pramuniaga menghampiri dan bertanya parfum apa yang sedang saya cari. Petanyaan tersebut membuat saya segera tersadar sedang berada di mana. Bukan menjawab, saya memilih lari meninggalkan tempat itu. Lari dan terus berlari, tidak peduli apa dan siapa yang menghalangi. Isi kantong belanja jatuh berhamburan dan orang-orang berusaha menghindar di sepanjang pelarian. Saya tidak mau teman-teman dan keluarga menangkap basah saya masuk ke tokom parfum tadi. Saya adalah lelaki, penerus Musashi.

Namun, justru ketika berada di rumah memori akan wangi itu muncul kembali. Bahkan lebih kuat. Tumbuh dan berkembang keinginan dalam benak untuk menyemprotkan parfum itu ke seluruh tubuh dan memamerkannya pada dunia. Di hati yang terdalam, ternyata sayapun ingin tercium harum untuk memperkuat eksistensi diri dan merebut hati banyak orang.

Lalu ditanya diri, adakah saya masih lelaki, penerus Musashi?




L'Issey Miyake Pour Homme


SEUMUR hidup, saya selalu berjalan tegak di muka bumi karena tidak pernah melakukan hal yang bertentangan dengan nurani. Hitam-putih tampak jelas di mata saya. Meski berat, jalan lurus selalu saya tempuh. Keraguan hanya milik mereka yang berhati lemah. Saya adalah lelaki, penerus Musashi.

Tapi tiba-tiba kebimbangan itu datang. Jiwa saya goyah tak tertahan. Untuk pertama kalinya dalam hidup ini saya merasa takut. Sampai-sampai saya meringkuk di pojok kamar seharian dengan tubuh menggigil. Langit-langit terasa berputar.

Siang itu saya sedang berjalan pulang seusai belanja kebutuhan bulanan di sebuah mall. Indra penciuman saya menangkap sesuatu yang exiting ketika melewati sebuah toko parfum. Ada yang berbeda di sana. Samar-samar, memang, tapi cukup kuat untuk membuat langkah saya tertahan. Sedikit ragu, saya hirup udara lebih dalam. Benar-benar wangi yang tidak biasa. Wangi yang sanggup meluluhkan hati, menaklukkan jiwa dan menciptakan sensasi.

Seakan teripnotis, saya melangkah masuk. Bahkan saya tidak sadar bahwa itulah untuk pertama kalinya kedua kaki saya berpijak di atas lantai sebuah toko parfum, tempat yang selama ini saya anggap terlarang.

Seorang pramuniaga menghampiri dan bertanya parfum apa yang sedang saya cari. Petanyaan tersebut membuat saya segera tersadar sedang berada di mana. Bukan menjawab, saya memilih lari meninggalkan tempat itu. Lari dan terus berlari, tidak peduli apa dan siapa yang menghalangi. Isi kantong belanja jatuh berhamburan dan orang-orang berusaha menghindar di sepanjang pelarian. Saya tidak mau teman-teman dan keluarga menangkap basah saya masuk ke tokom parfum tadi. Saya adalah lelaki, penerus Musashi.

Namun, justru ketika berada di rumah memori akan wangi itu muncul kembali. Bahkan lebih kuat. Tumbuh dan berkembang keinginan dalam benak untuk menyemprotkan parfum itu ke seluruh tubuh dan memamerkannya pada dunia. Di hati yang terdalam, ternyata sayapun ingin tercium harum untuk memperkuat eksistensi diri dan merebut hati banyak orang.

Lalu ditanya diri, adakah saya masih lelaki, penerus Musashi?