Senin, 25 April 2005

abituari

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa.

Ah..., seharusnya saya tahu sejak awal, sejak tujuh bulan lalu. Seandainya saja saya mau membuka mata dan sedikit mengerti, saya mungkin dapat mencegahnya. Gejala-gejala itu. Cat yang terkelupas. Flip yang patah. Sinyal yang perlahan-lahan berubah menjadi putus-putus. Seharusnya segera saya bawa dia ke tempat service. Atau, saya simpan untuk dipensiunkan. Tapi, itu semua tidak saya lakukan.

Mungkin memang benar dia sangat berguna buat saya. Bahkan mereka pernah mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang serasi. Saya selalu membawanya ke mana saya pergi. Juga kamar mandi dan tempat-tempat suci. Saya hanya tertawa sinis sewaktu dengar apa yang mereka bilang, sambil melemparnya begitu saja ke atas ranjang.

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa. Mungkin karena saya sudah mendapatkan gantinya - yang tentu lebih baik.

abituari

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa.

Ah..., seharusnya saya tahu sejak awal, sejak tujuh bulan lalu. Seandainya saja saya mau membuka mata dan sedikit mengerti, saya mungkin dapat mencegahnya. Gejala-gejala itu. Cat yang terkelupas. Flip yang patah. Sinyal yang perlahan-lahan berubah menjadi putus-putus. Seharusnya segera saya bawa dia ke tempat service. Atau, saya simpan untuk dipensiunkan. Tapi, itu semua tidak saya lakukan.

Mungkin memang benar dia sangat berguna buat saya. Bahkan mereka pernah mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang serasi. Saya selalu membawanya ke mana saya pergi. Juga kamar mandi dan tempat-tempat suci. Saya hanya tertawa sinis sewaktu dengar apa yang mereka bilang, sambil melemparnya begitu saja ke atas ranjang.

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa. Mungkin karena saya sudah mendapatkan gantinya - yang tentu lebih baik.

Selasa, 19 April 2005

Ketika Penulis...

jatuh miskin... maka dia tidak akan mampu untuk membalas sms-sms, keluyuran, nonton bioskop, pacaran, ngewarnet, pulang kampung, bayar hutang dan tentu saja: ngeborong dvd-dvd bajakan. Tapi, justru pada saat seperti itulah proses saya dalam menulis novel jadi berjalan lancar. Lah wong ora ono kerjaan lain...

Dua bulan yang lalu, seorang pembaca pernah mengirim sms dengan isi kurang lebih kayak gini: "MAS, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR."

Dalam hati saya, "Ngga tau apa kalo ngga ada pulsa, Neng!"
Malah hampir hangus nomer hp saya. Kalo kirim sms, sertakan pula dengan pulsa balasan...


Tapi saya jadi teringat kejadian enam bulan yang lalu. Waktu itu, saya kirim sms kepada Dian Sastro untuk meminta dia menulis paper back comment novel saya. Saya berhasil mendapatkan nomor hp si Cantik ini dari temannya - temannya teman saya. Tiga nomor Hp sekaligus!!! Dan saya pun mengirim sms ke ketiga-tiganya.

Selama dua hari saya menunggu balasan dengan manis dan manja di kos-an. Hari ke-tiga, belum juga saya terima. Saya mulai gelisah. Kalau duduk, pantat saya selalu harus digoyang-goyang. Kemudian diputuskanlah untuk mengirim sms lagi. Tapi tetap sama, sms saya tidak dibalas.

Akhirnya, pada malam itu juga saya sms lagi si Cinta ini dengan kata-kata: "MBA, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR!"


(atau jangan2... Dian Sastro lagi ngga punya pulsa juga?)

Ketika Penulis...

jatuh miskin... maka dia tidak akan mampu untuk membalas sms-sms, keluyuran, nonton bioskop, pacaran, ngewarnet, pulang kampung, bayar hutang dan tentu saja: ngeborong dvd-dvd bajakan. Tapi, justru pada saat seperti itulah proses saya dalam menulis novel jadi berjalan lancar. Lah wong ora ono kerjaan lain...

Dua bulan yang lalu, seorang pembaca pernah mengirim sms dengan isi kurang lebih kayak gini: "MAS, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR."

Dalam hati saya, "Ngga tau apa kalo ngga ada pulsa, Neng!"
Malah hampir hangus nomer hp saya. Kalo kirim sms, sertakan pula dengan pulsa balasan...


Tapi saya jadi teringat kejadian enam bulan yang lalu. Waktu itu, saya kirim sms kepada Dian Sastro untuk meminta dia menulis paper back comment novel saya. Saya berhasil mendapatkan nomor hp si Cantik ini dari temannya - temannya teman saya. Tiga nomor Hp sekaligus!!! Dan saya pun mengirim sms ke ketiga-tiganya.

Selama dua hari saya menunggu balasan dengan manis dan manja di kos-an. Hari ke-tiga, belum juga saya terima. Saya mulai gelisah. Kalau duduk, pantat saya selalu harus digoyang-goyang. Kemudian diputuskanlah untuk mengirim sms lagi. Tapi tetap sama, sms saya tidak dibalas.

Akhirnya, pada malam itu juga saya sms lagi si Cinta ini dengan kata-kata: "MBA, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR!"


(atau jangan2... Dian Sastro lagi ngga punya pulsa juga?)

cape

selama ini...
kubawa-bawa hatiku sendirian
berat tahu!
cape-cape kutata hati ini buat kamu
eh..., kamu berantakin lagi...

cape

selama ini...
kubawa-bawa hatiku sendirian
berat tahu!
cape-cape kutata hati ini buat kamu
eh..., kamu berantakin lagi...

Jumat, 15 April 2005

Literacy Workshop 2005

HIMANI-HIMAHI UNPAR PRESENT:

Literacy Workshop 2005
Books for Life: Feed your Mind and Soul

One-day writing workshop with authors, journalist and publishers.
Friday, 22nd April 20059.30 am - onwards
Common Room
Kyai Gede Utama 8, Bandung

Spokepersons:
Fransisca Dewi Ria Utari (journalist of Tempo)
Isman H Suryaman (editor: Advance Publisher, the author of Bertanya atau Mati)
Andi Eriawan (the author of Always Layla)

Fee: Rp. 30.000,-
(includes: snack, lunch,workshop kit and certificate)

Further information:
Himahi-Himani FISIP UNPAR
Osis-osis SMA
Yana: 08156102520
Novi: 08122079028
Ami: 08562187000
Tari: 08122170284

Limited seats!!!

Literacy Workshop 2005

HIMANI-HIMAHI UNPAR PRESENT:

Literacy Workshop 2005
Books for Life: Feed your Mind and Soul

One-day writing workshop with authors, journalist and publishers.
Friday, 22nd April 20059.30 am - onwards
Common Room
Kyai Gede Utama 8, Bandung

Spokepersons:
Fransisca Dewi Ria Utari (journalist of Tempo)
Isman H Suryaman (editor: Advance Publisher, the author of Bertanya atau Mati)
Andi Eriawan (the author of Always Layla)

Fee: Rp. 30.000,-
(includes: snack, lunch,workshop kit and certificate)

Further information:
Himahi-Himani FISIP UNPAR
Osis-osis SMA
Yana: 08156102520
Novi: 08122079028
Ami: 08562187000
Tari: 08122170284

Limited seats!!!

Selasa, 12 April 2005

The Name of the Rose: Book vs Movie


Membaca novel Umberto Eco: The Name of the Rose ini seperti membaca sebuah manuskrip tua zaman Mesir kuno. Kaga ngarti. Meski saya percaya bahwa si penulis memang seorang ahli semiotika kelas dunia... tapi plis dong... membacanya saja sulit. Setidaknya, dua teman saya yang sudah membacanya, dan saya yakini mereka memiliki intelejensia di atas rata-rata pun menyatakan hal yang serupa. Apalagi, terbit pula buku panduan bagaimana membaca The Name of the Rose.

Kalau begitu, apa yang sudah membuat novel ini terjual sampai 50 juta copy??

Menurut teman saya yang lain, sebut saja namanya U. Si U ini bilang, bahwa memusingkannya sebuah novel berbanding lurus dengan angka penjualannya. Dengan kata lain, semakin novel itu njelimet dan memusingkan pembaca, maka semakin laku novel tersebut. Lihat saja Supernova...:p

Tapi ternyata....

Setelah bulanan novel itu saya simpan sebagai pajangan, tanpa sengaja, minggu lalu saya temukan The Name of the Rose dalam versi film-nya. Diperankan dengan baik oleh Sean Connery dan Christian Slater, The Name of the Rose tidak lagi menjadi cerita njlimet dan memusingkan. Malahan, saya nilai bobot konflik cerita tidak berat sama sekali. Setidaknya, tidak saya temukan film panduan bagaimana menonton film The Name of the Rose...:p

The Name of the Rose: Book vs Movie


Membaca novel Umberto Eco: The Name of the Rose ini seperti membaca sebuah manuskrip tua zaman Mesir kuno. Kaga ngarti. Meski saya percaya bahwa si penulis memang seorang ahli semiotika kelas dunia... tapi plis dong... membacanya saja sulit. Setidaknya, dua teman saya yang sudah membacanya, dan saya yakini mereka memiliki intelejensia di atas rata-rata pun menyatakan hal yang serupa. Apalagi, terbit pula buku panduan bagaimana membaca The Name of the Rose.

Kalau begitu, apa yang sudah membuat novel ini terjual sampai 50 juta copy??

Menurut teman saya yang lain, sebut saja namanya U. Si U ini bilang, bahwa memusingkannya sebuah novel berbanding lurus dengan angka penjualannya. Dengan kata lain, semakin novel itu njelimet dan memusingkan pembaca, maka semakin laku novel tersebut. Lihat saja Supernova...:p

Tapi ternyata....

Setelah bulanan novel itu saya simpan sebagai pajangan, tanpa sengaja, minggu lalu saya temukan The Name of the Rose dalam versi film-nya. Diperankan dengan baik oleh Sean Connery dan Christian Slater, The Name of the Rose tidak lagi menjadi cerita njlimet dan memusingkan. Malahan, saya nilai bobot konflik cerita tidak berat sama sekali. Setidaknya, tidak saya temukan film panduan bagaimana menonton film The Name of the Rose...:p

Sabtu, 09 April 2005

My 1st...

Hari Selasa kemarin, saya ikut numpang acara workshop-nya Pondok Kreasi-Common Room di SMA 5 Bandung. Dengan mengambil tema bahwa "Menulis Itu Asik", kita bagi2 sharing pengalaman menulis sama anak2 sma. Ada beberapa pertanyaan yang agak sulit dijawab waktu itu. Salah satunya adalah, "Bagaimana antisipasinya kalau ide mentok?"
Semua kompak menyatakan bahwa hal itu hampir sering dialami semua orang, dan sulit mencari solusinya. Mungkin itu juga sebabnya kenapa diambil tema: "Menulis Itu Asik", bukan... "Menulis Itu Gampang"
Tapi gara2 acara itu, jadi teringat tulisan2 pertama saya, yang waktu itu masih merasa "Menulis Itu Asik". Ngga perlu EYD dan ngga perlu Editor. Waktu itu, saya baru kelas 2 SMA, sering menulis jurnal di luslif dan digilir untuk dibaca temen2 (ngga ada blog kalo dulu). Jurnal tentang kejadian di sekolah, yang kebanyakan lagi musim tawuran. Dan... waktu itu punya nama pena pula. Selamat Baca!
------------------------------
Bandung, 7 April 1997 (1)

Edan! Edan! Everybody was edan!
SMA 5 sedang mengalami masa-masa panas. Peristiwa-demi peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya adalah tragedi Underlamp (2). Hal negatif yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita masing-masing menghadapi suatu masalah dengan kepala dingin. Hanya karena salah paham, emosi dikobarkan. Hanya karena tatapan, mengapa darah harus ditumpahkan? Mengapa persatuan yang harus kita junjung, tecerai-berai di sekolah kita sendiri? Anjing teh, bagong pisan maneh! Goblok!
Bagaimana kita harus melawan seteru kita (3) kalau dalam diri sendiri kita harus berkobar. Bagaimana tanggung jawab kita pada Pak Supomo (4), orangtua, Pak Bahrudin (5)? Dan pada diri kita sendiri? Maukah kita dicap sebagai Pemuda Urakan Namun Kreatif (6)? Tidak adalah jawabannya. Setelah susah payah datang ke SMA 5, ada yang dari Cianjur, Jakarta, Surabaya, Brebes, Wonosobo, Ujungberung, tapi malah begini hasilnya. Tawuran. Pertengkaran. Permusuhan. Bagaimana mengenai BHINEKA TUNGGAL IKA? Bukankah sesama muslim adalah saudara maka damikanlah permusuhan saudaramu itu? Kendalikan emosi kalian, Bung! Ingat, Pemilu diambang pintu! Pergunakan hak pilih Saudara. Hal itu adalah bukti kepedulian terhadap negara! Jangan permasalahkan Irian Barat dan Timor Timur yang merupakan utopia yang basi! Pikirkan diri sendiri, tapi jangan egois. Sebab dalam pada itu terdapat hak-hak anak yatim, janda-janda tua dan para manula (7). Ingat, kita tinggal dua bulan lagi di kelas 2. Karena itu, puas-puaskanlah ke Bu Tata dan waktu sholatmu (8)! Hanya satu pesanku: Be your self in reality, don’t be another personality. Masih ada langit di atas langit. Masih ada gunung di balik gunung.

“dari suara hati yang tidak bersuara”
Notes:
(1) waktu itu kelas 2 sma, menjelang pemilu orba terakhir
(2) tempat nongkrong depan sma 5
(3) waktu itu lagi musuhan dengan SMA 2
(4) kepsek
(5) wali kelas
(6) PUNK
(7) lagi ngetren iklannya KH Zainudin, MZwaktu itu kelas 2 masuknya siang, jadi kalau mau bolos tinggal bilng mau solat, padahal ke kantin Bu Tata
Bandung, 11 April 1997
Gelo bangbang pispot! Akhirnya, meledak juga apa yang selama ini memanasi jiwa-jiwa yang tergadai!! Hal itu terjadi pada hari Selasa di Kantin Biru ujung, tempat mangkal keluarga buah-buahan (Toge dan Cau bersaudara, kelas tiga-red). Tokoh utama pada tragedi berbenjol itu mengalami kekalahan yang dilihat tinggi sebelah antara korban dan dan pelaku penamparan (sekitar 20 senti).
Sungguh saya merasa sedih, terharu, sengsara sekaligus bangga (naon, deuih!). Sungguh disayangkan, hal demikian harus terjadi. Perpecahan dan kesenjangan sosial sudah jelas-jelasnya hinggap di bumi parahyangn ini, khususnya SMA 5 yang katanya berdisiplin tinggi. Malahan… ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja memisahkan diri dari pergaulan kita. Seperti KASUS (nama kelas 2K-red)!!! Apa itu?? Bukankah kita sama-sama orang Indonesia? Lalu kenapa mesti muncul geng-geng yang katanya mempunya paham dan pandangan yang berbeda. Untung saja ada KECUTE (kelas saya-red), yang berani tampil beda tanpa malu-malu dan ngga tahu malu, yang berani membela yang CUTE dan melawan yang FUNKY dan COOL (naon, anjing teh!). Tapi saya simpati dengan apa yang mereka perjuangkan, yaitu menegakkan hak-hak orang boni. Apalagi sekarang ada peraturan baru yang malah dapat merangsang siswa bolos, yaitu Jum’at bersih (semakin tidak nyambung, Bung! Kita stop saja sampai di sini).
“dari suara hati yang tuli”
Bandung, 16 April 1997
Sekoah yang dirintis sudah bertahun-tahun, apakah harus hancur sekarang setelah mencapai titik akumulasi? Apalagi Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning” (Golkar-red) sedang giat-giatnya membangun kelas dan masjid baru. Sayang, sungguh sayang!! Masa persaudaraan yang tadinya begitu erat harus terpupus dan putus oleh generasi kita? Apa tega kita melihat tanah Belitung (nama jalan-red) bersimbah darah akibat peperangan antar saudara sependidikan?
Mungkin para pembaca bingung atas apa yang ditulis di atas. Tapi… ketahuilah! Belitung… di ambang perpecahan! (ayo baca 7 kali). Sungguh ironi, 2 sekolah (SMA 3 dan 5) yang dianggap panutan, teladan bagi sekolah-sekolah di Jawa Barat, bahkan Timor Timur, WC-nya bau dan jorok (eh, maaf… ini kritik buat yang suka pipis dan buat Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning”). Tapi, mohon kendalikan emosi kita bila mendengar selentingan yang bisa bikin mata melotot, telinga mendelik, jantung copot, lidah kelu, hati pilu, keringat bercucuran, ketombe dan belek berhamburan. Tahan! Salurkan emosi dan energi agar jangan terbuang. Bila ingin berkelahi, tahan!!! Jangan diumbar! Salurkan bakat dan minatmu ke tempatnya yang cocok, seperti beladiri. Bila ingin berteriak, tahan!! Jangan sampai meneriaki orang. Ikuti saja lomba adzan. Kalau menang dapat hadiah dan pahala. Bila ingin menangis, tahan!! Salurkan tangisanmu ke film India. Selain tidak sia-sia juga dapat uang. Apabila perpecahan terjadi jua, siapa yang harus dikambinghitamkan? Andi? Dia hitam, tapi bukan kambing. Atau Doni? Dia seperti kambing tapi tidak hitam. Apakah Akhmad? Akhmad hitam tapi buaya, bukan kambing. Apakah kita harus menunggu Idul Adha untuk mendapatkan kambing hitam? Tidak, Saudara!!! Jangan mengkambinghitamkan Andi hanya karena dia hitam. Jangan menghitamkan Doni hanya karena dia kambing. Jangan membuayahitamkan Akhmad hanya karena Akhmad buaya. Tapi kita harus bertakbir, karena Idul Adha sebentar lagi! Ingat, besok malam takbiran. Siapkan kopi karena kita akan begadang!
“dari teriakan hati”

My 1st...

Hari Selasa kemarin, saya ikut numpang acara workshop-nya Pondok Kreasi-Common Room di SMA 5 Bandung. Dengan mengambil tema bahwa "Menulis Itu Asik", kita bagi2 sharing pengalaman menulis sama anak2 sma. Ada beberapa pertanyaan yang agak sulit dijawab waktu itu. Salah satunya adalah, "Bagaimana antisipasinya kalau ide mentok?"
Semua kompak menyatakan bahwa hal itu hampir sering dialami semua orang, dan sulit mencari solusinya. Mungkin itu juga sebabnya kenapa diambil tema: "Menulis Itu Asik", bukan... "Menulis Itu Gampang"
Tapi gara2 acara itu, jadi teringat tulisan2 pertama saya, yang waktu itu masih merasa "Menulis Itu Asik". Ngga perlu EYD dan ngga perlu Editor. Waktu itu, saya baru kelas 2 SMA, sering menulis jurnal di luslif dan digilir untuk dibaca temen2 (ngga ada blog kalo dulu). Jurnal tentang kejadian di sekolah, yang kebanyakan lagi musim tawuran. Dan... waktu itu punya nama pena pula. Selamat Baca!
------------------------------
Bandung, 7 April 1997 (1)

Edan! Edan! Everybody was edan!
SMA 5 sedang mengalami masa-masa panas. Peristiwa-demi peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya adalah tragedi Underlamp (2). Hal negatif yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita masing-masing menghadapi suatu masalah dengan kepala dingin. Hanya karena salah paham, emosi dikobarkan. Hanya karena tatapan, mengapa darah harus ditumpahkan? Mengapa persatuan yang harus kita junjung, tecerai-berai di sekolah kita sendiri? Anjing teh, bagong pisan maneh! Goblok!
Bagaimana kita harus melawan seteru kita (3) kalau dalam diri sendiri kita harus berkobar. Bagaimana tanggung jawab kita pada Pak Supomo (4), orangtua, Pak Bahrudin (5)? Dan pada diri kita sendiri? Maukah kita dicap sebagai Pemuda Urakan Namun Kreatif (6)? Tidak adalah jawabannya. Setelah susah payah datang ke SMA 5, ada yang dari Cianjur, Jakarta, Surabaya, Brebes, Wonosobo, Ujungberung, tapi malah begini hasilnya. Tawuran. Pertengkaran. Permusuhan. Bagaimana mengenai BHINEKA TUNGGAL IKA? Bukankah sesama muslim adalah saudara maka damikanlah permusuhan saudaramu itu? Kendalikan emosi kalian, Bung! Ingat, Pemilu diambang pintu! Pergunakan hak pilih Saudara. Hal itu adalah bukti kepedulian terhadap negara! Jangan permasalahkan Irian Barat dan Timor Timur yang merupakan utopia yang basi! Pikirkan diri sendiri, tapi jangan egois. Sebab dalam pada itu terdapat hak-hak anak yatim, janda-janda tua dan para manula (7). Ingat, kita tinggal dua bulan lagi di kelas 2. Karena itu, puas-puaskanlah ke Bu Tata dan waktu sholatmu (8)! Hanya satu pesanku: Be your self in reality, don’t be another personality. Masih ada langit di atas langit. Masih ada gunung di balik gunung.

“dari suara hati yang tidak bersuara”
Notes:
(1) waktu itu kelas 2 sma, menjelang pemilu orba terakhir
(2) tempat nongkrong depan sma 5
(3) waktu itu lagi musuhan dengan SMA 2
(4) kepsek
(5) wali kelas
(6) PUNK
(7) lagi ngetren iklannya KH Zainudin, MZwaktu itu kelas 2 masuknya siang, jadi kalau mau bolos tinggal bilng mau solat, padahal ke kantin Bu Tata
Bandung, 11 April 1997
Gelo bangbang pispot! Akhirnya, meledak juga apa yang selama ini memanasi jiwa-jiwa yang tergadai!! Hal itu terjadi pada hari Selasa di Kantin Biru ujung, tempat mangkal keluarga buah-buahan (Toge dan Cau bersaudara, kelas tiga-red). Tokoh utama pada tragedi berbenjol itu mengalami kekalahan yang dilihat tinggi sebelah antara korban dan dan pelaku penamparan (sekitar 20 senti).
Sungguh saya merasa sedih, terharu, sengsara sekaligus bangga (naon, deuih!). Sungguh disayangkan, hal demikian harus terjadi. Perpecahan dan kesenjangan sosial sudah jelas-jelasnya hinggap di bumi parahyangn ini, khususnya SMA 5 yang katanya berdisiplin tinggi. Malahan… ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja memisahkan diri dari pergaulan kita. Seperti KASUS (nama kelas 2K-red)!!! Apa itu?? Bukankah kita sama-sama orang Indonesia? Lalu kenapa mesti muncul geng-geng yang katanya mempunya paham dan pandangan yang berbeda. Untung saja ada KECUTE (kelas saya-red), yang berani tampil beda tanpa malu-malu dan ngga tahu malu, yang berani membela yang CUTE dan melawan yang FUNKY dan COOL (naon, anjing teh!). Tapi saya simpati dengan apa yang mereka perjuangkan, yaitu menegakkan hak-hak orang boni. Apalagi sekarang ada peraturan baru yang malah dapat merangsang siswa bolos, yaitu Jum’at bersih (semakin tidak nyambung, Bung! Kita stop saja sampai di sini).
“dari suara hati yang tuli”
Bandung, 16 April 1997
Sekoah yang dirintis sudah bertahun-tahun, apakah harus hancur sekarang setelah mencapai titik akumulasi? Apalagi Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning” (Golkar-red) sedang giat-giatnya membangun kelas dan masjid baru. Sayang, sungguh sayang!! Masa persaudaraan yang tadinya begitu erat harus terpupus dan putus oleh generasi kita? Apa tega kita melihat tanah Belitung (nama jalan-red) bersimbah darah akibat peperangan antar saudara sependidikan?
Mungkin para pembaca bingung atas apa yang ditulis di atas. Tapi… ketahuilah! Belitung… di ambang perpecahan! (ayo baca 7 kali). Sungguh ironi, 2 sekolah (SMA 3 dan 5) yang dianggap panutan, teladan bagi sekolah-sekolah di Jawa Barat, bahkan Timor Timur, WC-nya bau dan jorok (eh, maaf… ini kritik buat yang suka pipis dan buat Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning”). Tapi, mohon kendalikan emosi kita bila mendengar selentingan yang bisa bikin mata melotot, telinga mendelik, jantung copot, lidah kelu, hati pilu, keringat bercucuran, ketombe dan belek berhamburan. Tahan! Salurkan emosi dan energi agar jangan terbuang. Bila ingin berkelahi, tahan!!! Jangan diumbar! Salurkan bakat dan minatmu ke tempatnya yang cocok, seperti beladiri. Bila ingin berteriak, tahan!! Jangan sampai meneriaki orang. Ikuti saja lomba adzan. Kalau menang dapat hadiah dan pahala. Bila ingin menangis, tahan!! Salurkan tangisanmu ke film India. Selain tidak sia-sia juga dapat uang. Apabila perpecahan terjadi jua, siapa yang harus dikambinghitamkan? Andi? Dia hitam, tapi bukan kambing. Atau Doni? Dia seperti kambing tapi tidak hitam. Apakah Akhmad? Akhmad hitam tapi buaya, bukan kambing. Apakah kita harus menunggu Idul Adha untuk mendapatkan kambing hitam? Tidak, Saudara!!! Jangan mengkambinghitamkan Andi hanya karena dia hitam. Jangan menghitamkan Doni hanya karena dia kambing. Jangan membuayahitamkan Akhmad hanya karena Akhmad buaya. Tapi kita harus bertakbir, karena Idul Adha sebentar lagi! Ingat, besok malam takbiran. Siapkan kopi karena kita akan begadang!
“dari teriakan hati”