Selasa, 31 Maret 2009

Buffalo vs Loch Ness


Rupa-rupanya, keinginan untuk melakukan perjalanan sedang menggebu-gebu di hati saya. Seperti baru lepas dari penjara setelah dikurung sekian lama. Atau karena ingin berlari dari sesuatu? Mencari penghiburan?

Masih teka-teki silang.

Setelah Garut, Buitenzorg, Sumedang Tandang, lalu saya kembali ke Garut Kota Intan. Beberapa teman ingin melihat hijaunya sawah dan mengabadikannya dengan kamera. Padahal, itu sungguh dusta. Sesungguhnya adalah ingin mencicipi sambal oncom buatan nenek saya dan makan baso kampung asli sana.

Masih dengan mobil dinas berpelat merah, perjalanan dimulai pada pukul sepuluh Minggu pagi. Hanya butuh satu setengah jam untuk sampai, sebenarnya, tapi gunung-gunung di kiri-kanan serta seekor kerbau di tengah sawah berhasil menarik perhatian. Menepilah mobil dan kami turun.




Bagi mereka yang tidak tahu perbedaan sapi dan kerbau, lihatlah baik-baik foto di atas. Sesungguhnya, sapi dan kerbau sama sekali tidak memiliki perbedaan. Jika pun ada, marilah kita berbesar hati untuk saling menerima segala beda. Tak usahlah diungkit-ungkit. Malu, sama tetangga.


Itu kami, mengendap-endap di tengah sawah.



Seandainya kamu ikut, sudah menjadi Sanchay bagi kami berempat.



*sigh...




Minggu berikutnya, kami meluncur menuju Kawah Putih yang berposisi dekat Lembang. Pemandangan yang dahsyat. Saya, a.k.a, Andi Eriawan, yang sudah duapuluh empat tahun tinggal, tumbuh dan membesar di Bandung, baru pertama kali berangkat ke sana. Takjub saya dibuatnya. Sungguh sebuah tempat yang tepat untuk berasyik-masyuk dengan selingkuhan, foto pre-wedding atau sekedar mencari udara segar tercampur belerang.



“Mari kita berburu Loch Ness.”

Itu teman saya yang bilang. Kawah putih memang mirip danau berwarna keputihan. Kadang, hijau muda. Dan kami sungguh berharap seekor naga muncul tiba-tiba.



Tapi kami tidak punya janji dengan cuaca. Gerimis turun merintik, memaksa kami kembali ke parkiran dekat si penjual strawberry tusuk yang dilumuri coklat. Juga pedagang ketan bakar serta beberapa turis lokal dan luar.

“Jien li she ie ik pu.”

Jangan minta saya menerjemahkannya.

Buffalo vs Loch Ness


Rupa-rupanya, keinginan untuk melakukan perjalanan sedang menggebu-gebu di hati saya. Seperti baru lepas dari penjara setelah dikurung sekian lama. Atau karena ingin berlari dari sesuatu? Mencari penghiburan?

Masih teka-teki silang.

Setelah Garut, Buitenzorg, Sumedang Tandang, lalu saya kembali ke Garut Kota Intan. Beberapa teman ingin melihat hijaunya sawah dan mengabadikannya dengan kamera. Padahal, itu sungguh dusta. Sesungguhnya adalah ingin mencicipi sambal oncom buatan nenek saya dan makan baso kampung asli sana.

Masih dengan mobil dinas berpelat merah, perjalanan dimulai pada pukul sepuluh Minggu pagi. Hanya butuh satu setengah jam untuk sampai, sebenarnya, tapi gunung-gunung di kiri-kanan serta seekor kerbau di tengah sawah berhasil menarik perhatian. Menepilah mobil dan kami turun.




Bagi mereka yang tidak tahu perbedaan sapi dan kerbau, lihatlah baik-baik foto di atas. Sesungguhnya, sapi dan kerbau sama sekali tidak memiliki perbedaan. Jika pun ada, marilah kita berbesar hati untuk saling menerima segala beda. Tak usahlah diungkit-ungkit. Malu, sama tetangga.


Itu kami, mengendap-endap di tengah sawah.



Seandainya kamu ikut, sudah menjadi Sanchay bagi kami berempat.



*sigh...




Minggu berikutnya, kami meluncur menuju Kawah Putih yang berposisi dekat Lembang. Pemandangan yang dahsyat. Saya, a.k.a, Andi Eriawan, yang sudah duapuluh empat tahun tinggal, tumbuh dan membesar di Bandung, baru pertama kali berangkat ke sana. Takjub saya dibuatnya. Sungguh sebuah tempat yang tepat untuk berasyik-masyuk dengan selingkuhan, foto pre-wedding atau sekedar mencari udara segar tercampur belerang.



“Mari kita berburu Loch Ness.”

Itu teman saya yang bilang. Kawah putih memang mirip danau berwarna keputihan. Kadang, hijau muda. Dan kami sungguh berharap seekor naga muncul tiba-tiba.



Tapi kami tidak punya janji dengan cuaca. Gerimis turun merintik, memaksa kami kembali ke parkiran dekat si penjual strawberry tusuk yang dilumuri coklat. Juga pedagang ketan bakar serta beberapa turis lokal dan luar.

“Jien li she ie ik pu.”

Jangan minta saya menerjemahkannya.

PLN Brengsex!

   
Perjalanan berikutnya adalah menuju Sumedang Tandang. Ada sate kambing dan gurame bakar yang hendak kami buru di sana. Konon, itu sate kambing terbaik yang pernah ada di muka bumi. Laku nian oleh para PNS setiap makan siang. Penuh selalu. Pemiliknya saja sampai mampu membeli sebuah pom bensin.



“Lemaknya menetes, Ndi. Dan ngga bikin kepala pusing.”

Begitu yang dipromosikan salah satu teman penggila makanan. Maka dari itu, di hari Minggu pagi yang mendung, berangkatlah kami berempat ke sana dengan menggunakan sebuah mobil dinas berpelat merah. Seluruh penumpang adalah laki-laki. Bekal kami: dua buah kamera Canon 1000D yang belum seminggu digunakan. Waktunya bagi mereka untuk diuji.

“Kalau malam, kasirnya ngga pakai BH, lho.”

Begitu yang dibilang salah satu penumpang sewaktu kami keluar pintu tol Cileunyi. Dalam hati berdoa, semoga kembali ke Bandung pada malam hari.

Kampus Unpad sangat lenggang sewaktu kami melewatinya. Tidak satu pun terlihat mahasiswi. Mungkin karena hari libur. Padahal, sekiranya ada, sudah barang tentu kami akan menepikan mobil, turun dan mengajak mereka berkenalan.

Saya Andi. Ini teman saya Rusky, Pepen dan Mei. Kami sedang menuju Sumedang, tempat Rossa dilahirkan. Meski kami laki-laki tidak dikenal, kami sungguh tidak berbahaya. Mau ikut kami? Lihat saja pelat mobil yang berwarna merah tanda bahwa kami laki-laki baik-baik dan tidak ganas. Iya, ini mobil dinas. Mobil dinas bapak teman saya yang bekerja di DikNas.

Di Cadas Pangeran, jalanan menanjak dan berliku. Di kanan jurang, di kiri gunung. Pohon-pohon ditempeli poster pemilu. Wajah-wajah tak dikenal, tersenyum. Senyum mohon doa restu dan dukungannya. Kami pun sempatkan berdoa untuk mereka. Berdoa agar mereka segera menghentikan ini semua.

“Itu rumah Rossa. Konon, sepanjang jalan ini diblokir sewaktu beliau menikah.”

Begitu komentar teman saya sambil menunjuk sebuah rumah bertingkat dua. Dia sudah beberapa kali ke Sumedang dengan pacarnya. Pacar lama, tentunya. Sudah putus sejak beberapa bulan lalu.

Aih, seumur begini, putus….

Dari balik kaca, mulai terlihat oleh kami tempat yang dituju. Mobil menepi untuk parkir. Kami turun. Hujan ikut turun. Petugas parkir menghampiri kami sambil menawarkan payung. Saya tolak dengan halus tanpa lupa ucapkan terimakasih.

Kami laki-laki, tidak pernah berpayung.

Empat porsi sate kambing, seekor gurame bakar, 2 karedok dan minumnya segera kami pesan. Sambil menunggu datangannya makanan, kamera pun dikeluarkan. Pemandangan sungguh indah untuk segera diabadikan dalam si penyimpan kenangan.

“PLN brengsek!!!”

Begitu komentar salah satu teman saya. Setiap kali mengambil gambar, selalu saja ada kabel listrik menghalang.




Dan benar saja. Sekembalinya kami di pintu tol Bandung pada pukul tujuh malam, tidak satu pun petugas kasirnya mengenakan BH.

PLN Brengsex!

   
Perjalanan berikutnya adalah menuju Sumedang Tandang. Ada sate kambing dan gurame bakar yang hendak kami buru di sana. Konon, itu sate kambing terbaik yang pernah ada di muka bumi. Laku nian oleh para PNS setiap makan siang. Penuh selalu. Pemiliknya saja sampai mampu membeli sebuah pom bensin.



“Lemaknya menetes, Ndi. Dan ngga bikin kepala pusing.”

Begitu yang dipromosikan salah satu teman penggila makanan. Maka dari itu, di hari Minggu pagi yang mendung, berangkatlah kami berempat ke sana dengan menggunakan sebuah mobil dinas berpelat merah. Seluruh penumpang adalah laki-laki. Bekal kami: dua buah kamera Canon 1000D yang belum seminggu digunakan. Waktunya bagi mereka untuk diuji.

“Kalau malam, kasirnya ngga pakai BH, lho.”

Begitu yang dibilang salah satu penumpang sewaktu kami keluar pintu tol Cileunyi. Dalam hati berdoa, semoga kembali ke Bandung pada malam hari.

Kampus Unpad sangat lenggang sewaktu kami melewatinya. Tidak satu pun terlihat mahasiswi. Mungkin karena hari libur. Padahal, sekiranya ada, sudah barang tentu kami akan menepikan mobil, turun dan mengajak mereka berkenalan.

Saya Andi. Ini teman saya Rusky, Pepen dan Mei. Kami sedang menuju Sumedang, tempat Rossa dilahirkan. Meski kami laki-laki tidak dikenal, kami sungguh tidak berbahaya. Mau ikut kami? Lihat saja pelat mobil yang berwarna merah tanda bahwa kami laki-laki baik-baik dan tidak ganas. Iya, ini mobil dinas. Mobil dinas bapak teman saya yang bekerja di DikNas.

Di Cadas Pangeran, jalanan menanjak dan berliku. Di kanan jurang, di kiri gunung. Pohon-pohon ditempeli poster pemilu. Wajah-wajah tak dikenal, tersenyum. Senyum mohon doa restu dan dukungannya. Kami pun sempatkan berdoa untuk mereka. Berdoa agar mereka segera menghentikan ini semua.

“Itu rumah Rossa. Konon, sepanjang jalan ini diblokir sewaktu beliau menikah.”

Begitu komentar teman saya sambil menunjuk sebuah rumah bertingkat dua. Dia sudah beberapa kali ke Sumedang dengan pacarnya. Pacar lama, tentunya. Sudah putus sejak beberapa bulan lalu.

Aih, seumur begini, putus….

Dari balik kaca, mulai terlihat oleh kami tempat yang dituju. Mobil menepi untuk parkir. Kami turun. Hujan ikut turun. Petugas parkir menghampiri kami sambil menawarkan payung. Saya tolak dengan halus tanpa lupa ucapkan terimakasih.

Kami laki-laki, tidak pernah berpayung.

Empat porsi sate kambing, seekor gurame bakar, 2 karedok dan minumnya segera kami pesan. Sambil menunggu datangannya makanan, kamera pun dikeluarkan. Pemandangan sungguh indah untuk segera diabadikan dalam si penyimpan kenangan.

“PLN brengsek!!!”

Begitu komentar salah satu teman saya. Setiap kali mengambil gambar, selalu saja ada kabel listrik menghalang.




Dan benar saja. Sekembalinya kami di pintu tol Bandung pada pukul tujuh malam, tidak satu pun petugas kasirnya mengenakan BH.

Minggu, 29 Maret 2009

Surat Cinta #747





Tidak mau saya mengawali surat ini dengan sapaan Apa Kabar? Benci sekali dengan kalimat yang terlalu sering diucapkan banyak orang itu. Ditambah dengan jawaban yang mudah tertebak sebelumnya. Artis favorit kita Pinkan Mambo juga sering melantunkan itu, bukan?

Saya kasih tahu, ya. Di sini sedang musim hujan. Banjir selalu mengancam setiap saat. Atap rumah bocor dan tetesan air mengukir banyak jejak di dinding kamar. Untungnya, tak ada korban.

Pertama-tama, ijinkanlah saya mengabarkan kondisi kesehatan saya saat ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan rutin para dokter di klinik kantor beberapa hari lalu, saya dinyatakan tidak mungkin hidup hingga usia 100 tahun. Vonis ini cukup mengejutkan mengingat saya sudah mulai mengurangi asupan nikotin ke dalam tubuh per harinya. Kolesterol, melanin, zat pewarna dan gorengan berminyak favorit saya pun sudah sangat dijatah ketat. Olahraga, sih, jangan ditanya. Tidak pernah saya absen berlari-lari setiap minggunya.

Ke dua, dari kota di mana kamu dilahirkan, saya laporkan pula kondisi batiniah saya. Kamu tahu, saya sedang bahagia. Amat bahagia. Sekiranya kamu bisa melihat wajah saya saat ini, kamu bisa dapatkan bahwa saya tidak bisa berhenti untuk terus tersenyum. Sedikit malu-malu, memang, senyuman saya. Bahkan terkadang, saya sampai tertawa sendiri.

Jika ditanya apa penyebabnya, saya kesulitan untuk memberi tahu. Mungkin karena A, atau bisa juga akibat B. Jika diceritakan satu per satu, akan banyak memakan waktu, sementara ada begitu banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Surat ini pun saya tulis dalam situasi tergesa-gesa dan diburu-buru. Karena itu, mafkqnn jika kmu melgat bayak tedapt kesalehan letik juruf dan tenda bca.

Hal berikut yang hendak saya laporkan adalah kondisi keuangan. Patut disyukuri bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan saya dalam kekurangan. Tidak pernah saya merasa khawatir lagi besok hendak makan apa dan di mana. Hanya saja, patut disayangkan bahwa ternyata saya tidak pandai mengatur rizki-Nya. Banyak saya beli ini-itu akhir-akhir ini, padahal sesungguhnya tidak diperlukan. Tabungan sudah nyaris kering kerontang. Isi dompet hanya tersisa bon tagihan.

Terakhir, saya juga ingin sampaikan berita bahwa di belahan lain dunia tempat kamu berada, seorang laki-laki sedang menunggu balasan surat ini. Cemas dia menanti. Penuh harap dia. Kasihan dia jika tidak dikabulkan.

Yang paling terakhir sekali, tidak lupa doa agar kamu senantiasa berada dalam lindungan-Nya.


Surat Cinta #747





Tidak mau saya mengawali surat ini dengan sapaan Apa Kabar? Benci sekali dengan kalimat yang terlalu sering diucapkan banyak orang itu. Ditambah dengan jawaban yang mudah tertebak sebelumnya. Artis favorit kita Pinkan Mambo juga sering melantunkan itu, bukan?

Saya kasih tahu, ya. Di sini sedang musim hujan. Banjir selalu mengancam setiap saat. Atap rumah bocor dan tetesan air mengukir banyak jejak di dinding kamar. Untungnya, tak ada korban.

Pertama-tama, ijinkanlah saya mengabarkan kondisi kesehatan saya saat ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan rutin para dokter di klinik kantor beberapa hari lalu, saya dinyatakan tidak mungkin hidup hingga usia 100 tahun. Vonis ini cukup mengejutkan mengingat saya sudah mulai mengurangi asupan nikotin ke dalam tubuh per harinya. Kolesterol, melanin, zat pewarna dan gorengan berminyak favorit saya pun sudah sangat dijatah ketat. Olahraga, sih, jangan ditanya. Tidak pernah saya absen berlari-lari setiap minggunya.

Ke dua, dari kota di mana kamu dilahirkan, saya laporkan pula kondisi batiniah saya. Kamu tahu, saya sedang bahagia. Amat bahagia. Sekiranya kamu bisa melihat wajah saya saat ini, kamu bisa dapatkan bahwa saya tidak bisa berhenti untuk terus tersenyum. Sedikit malu-malu, memang, senyuman saya. Bahkan terkadang, saya sampai tertawa sendiri.

Jika ditanya apa penyebabnya, saya kesulitan untuk memberi tahu. Mungkin karena A, atau bisa juga akibat B. Jika diceritakan satu per satu, akan banyak memakan waktu, sementara ada begitu banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Surat ini pun saya tulis dalam situasi tergesa-gesa dan diburu-buru. Karena itu, mafkqnn jika kmu melgat bayak tedapt kesalehan letik juruf dan tenda bca.

Hal berikut yang hendak saya laporkan adalah kondisi keuangan. Patut disyukuri bahwa Tuhan tidak pernah membiarkan saya dalam kekurangan. Tidak pernah saya merasa khawatir lagi besok hendak makan apa dan di mana. Hanya saja, patut disayangkan bahwa ternyata saya tidak pandai mengatur rizki-Nya. Banyak saya beli ini-itu akhir-akhir ini, padahal sesungguhnya tidak diperlukan. Tabungan sudah nyaris kering kerontang. Isi dompet hanya tersisa bon tagihan.

Terakhir, saya juga ingin sampaikan berita bahwa di belahan lain dunia tempat kamu berada, seorang laki-laki sedang menunggu balasan surat ini. Cemas dia menanti. Penuh harap dia. Kasihan dia jika tidak dikabulkan.

Yang paling terakhir sekali, tidak lupa doa agar kamu senantiasa berada dalam lindungan-Nya.


Lima Saja Cukup






“Jadi laki-laki itu harus begini, begitu. Jangan bla bla bla.”

Kira-kira, demikianlah yang diucapkan seorang kawan perempuan feminis pada saya di malam minggu lalu sewaktu kami menunggu antrean karaoke. Disampaikannya kalimat tersebut dengan iringan kekesalan. Wajar, beliau sedang datang bulan.

Tapi bukan itu yang terpenting. Juga bukan apakah suara saya bagus sewaktu menyanyi atau sebaliknya. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah apa yang dia bilang ternyata sama dengan kebanyakan orang. Semua bilang begitu. Dan semua menyudutkan saya. Dan karena saya tidak suka membela diri, maka saya iya-iya saja dan menganggukkan kepala.

Kadang aku benci dalam membela diri. Andai aku lebih perkasa, bukan itu yang aku pakai sebagai senjata.

Demikianlah kutipan dari seseorang yang saya lupa siapa.

Tapi, mari kita bahas ini lebih dalam.

#1
Sudah 29 tahun lebih saya menjadi laki-laki. Dan sama sekali tidak berniat untuk berganti haluan.

Artinya? Saya pikir, menurut saya, tidaklah perlu dijelaskan lagi bagaimana seharusnya menjadi seorang laki-laki itu. Saya sudah cukup tahu rasanya. Sangat tahu.

#2
Apa itu laki-laki? Tidak usah dijawab. Yang terpenting adalah, tidak bertambah kadar kelaki-lakian seseorang sewaktu orang tersebut berani dan terbiasa untuk mendekati lawan jenis yang disukainya. Dan tidak berkurang kelaki-lakian seseorang sewaktu dia merasa malu untuk melakukan itu.
Di dunia ini, begitu banyak tantangan hidup, bukan? Dan cukup banyak pula di mana saya sangat berani untuk melawannya.

Banyak yang saya menangkan, tidak sedikit saya dikalahkan.

#3
Kenapa Superman begitu disukai, sementara Clark Kent teramat dicintai? Aih. Karena di luar segala kekurangan dan sifat pemalu Clark Kent, sebenarnya dialah si Superman itu.

#4
Mandiri, tanggung jawab dan setia kawan. Tidak punya salah satu dari ketiga hal tersebut, barulah kadar kelaki-lakian bisa disebut berkurang. Meski, bukan berarti perempuan tidak punya itu semua. Tentu saja punya.

Lalu? Jangan tanya-tanya!

#5
Ini bukan sedang membela diri.

#6
Sudah. Cukup lima saja.




Lima Saja Cukup






“Jadi laki-laki itu harus begini, begitu. Jangan bla bla bla.”

Kira-kira, demikianlah yang diucapkan seorang kawan perempuan feminis pada saya di malam minggu lalu sewaktu kami menunggu antrean karaoke. Disampaikannya kalimat tersebut dengan iringan kekesalan. Wajar, beliau sedang datang bulan.

Tapi bukan itu yang terpenting. Juga bukan apakah suara saya bagus sewaktu menyanyi atau sebaliknya. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah apa yang dia bilang ternyata sama dengan kebanyakan orang. Semua bilang begitu. Dan semua menyudutkan saya. Dan karena saya tidak suka membela diri, maka saya iya-iya saja dan menganggukkan kepala.

Kadang aku benci dalam membela diri. Andai aku lebih perkasa, bukan itu yang aku pakai sebagai senjata.

Demikianlah kutipan dari seseorang yang saya lupa siapa.

Tapi, mari kita bahas ini lebih dalam.

#1
Sudah 29 tahun lebih saya menjadi laki-laki. Dan sama sekali tidak berniat untuk berganti haluan.

Artinya? Saya pikir, menurut saya, tidaklah perlu dijelaskan lagi bagaimana seharusnya menjadi seorang laki-laki itu. Saya sudah cukup tahu rasanya. Sangat tahu.

#2
Apa itu laki-laki? Tidak usah dijawab. Yang terpenting adalah, tidak bertambah kadar kelaki-lakian seseorang sewaktu orang tersebut berani dan terbiasa untuk mendekati lawan jenis yang disukainya. Dan tidak berkurang kelaki-lakian seseorang sewaktu dia merasa malu untuk melakukan itu.
Di dunia ini, begitu banyak tantangan hidup, bukan? Dan cukup banyak pula di mana saya sangat berani untuk melawannya.

Banyak yang saya menangkan, tidak sedikit saya dikalahkan.

#3
Kenapa Superman begitu disukai, sementara Clark Kent teramat dicintai? Aih. Karena di luar segala kekurangan dan sifat pemalu Clark Kent, sebenarnya dialah si Superman itu.

#4
Mandiri, tanggung jawab dan setia kawan. Tidak punya salah satu dari ketiga hal tersebut, barulah kadar kelaki-lakian bisa disebut berkurang. Meski, bukan berarti perempuan tidak punya itu semua. Tentu saja punya.

Lalu? Jangan tanya-tanya!

#5
Ini bukan sedang membela diri.

#6
Sudah. Cukup lima saja.




Senin, 23 Maret 2009

Mike and Me




Pertanyaan: Perempuan seperti apa yang paling sulit ditemukan di zaman ini?
Jawaban: Perempuan yang tidak tertarik pada ponsel dan segala aktivitas yang berhubungan dengannya.

Sungguh jawaban yang sangat mencengangkan saya. Terhenyak saya sesaat. Diam sejenak untuk mengatur nafas. Dalam hati,

“Women…”

Memisahkan perempuan dengan ponsel sama saja dengan memisahkan benang basah. Memang tidak nyambung. Jangan protes. Saya sedang kesal hari ini. Kalau sedang kesal, terserah saya mau menganalogikan segala sesuatu dengan apa. Sekiranya saya analogikan bahwa memisahkan perempuan dengan ponsel sama saja dengan memisahkan H2 dan O dari air, bisa-bisa saja, bukan?

Satu kali lagi, ah.

Memisahkan perempuan dengan ponsel sama saja dengan memisahkan saya dengan mike sewaktu karaoke.

Yah, mungkin ini lebih tepat, sepertinya.

Bagi saya, tidak ada masalah dengan kegiatan sms bang sms atau yang sejenis. Ini memang sudah menjadi trend dan budaya. Trend dan budaya menyimpang, tentunya. Tapi, please dong. Hentikan sejenak kegiatan itu sewaktu berkumpul dengan teman, saudara dan orangtua. Juga dengan saya. Kalau sedang di hadapan klien atau atasan saja, baru kalian mau berhenti. Ini sungguh tidak benar. Tidak adil. Sementara kalau sudah tidak adil, apa baiknya kita ini... Eh, kalian ini...

Kesal mode: ON




Mike and Me




Pertanyaan: Perempuan seperti apa yang paling sulit ditemukan di zaman ini?
Jawaban: Perempuan yang tidak tertarik pada ponsel dan segala aktivitas yang berhubungan dengannya.

Sungguh jawaban yang sangat mencengangkan saya. Terhenyak saya sesaat. Diam sejenak untuk mengatur nafas. Dalam hati,

“Women…”

Memisahkan perempuan dengan ponsel sama saja dengan memisahkan benang basah. Memang tidak nyambung. Jangan protes. Saya sedang kesal hari ini. Kalau sedang kesal, terserah saya mau menganalogikan segala sesuatu dengan apa. Sekiranya saya analogikan bahwa memisahkan perempuan dengan ponsel sama saja dengan memisahkan H2 dan O dari air, bisa-bisa saja, bukan?

Satu kali lagi, ah.

Memisahkan perempuan dengan ponsel sama saja dengan memisahkan saya dengan mike sewaktu karaoke.

Yah, mungkin ini lebih tepat, sepertinya.

Bagi saya, tidak ada masalah dengan kegiatan sms bang sms atau yang sejenis. Ini memang sudah menjadi trend dan budaya. Trend dan budaya menyimpang, tentunya. Tapi, please dong. Hentikan sejenak kegiatan itu sewaktu berkumpul dengan teman, saudara dan orangtua. Juga dengan saya. Kalau sedang di hadapan klien atau atasan saja, baru kalian mau berhenti. Ini sungguh tidak benar. Tidak adil. Sementara kalau sudah tidak adil, apa baiknya kita ini... Eh, kalian ini...

Kesal mode: ON




Rabu, 18 Maret 2009

 
   
datanglah pada hari perkawinan kami
lihat si tante menangis haru
paman-paman tertawa kecil
para ponakan berlarian
tatkala menyaksikan
kami berdua dipersatukan

dan kelak putra-putri kami
terlahir, tumbuh,
dan bahagia
kisah ini takkan pernah lelah
untuk diceritakan

hingga rambut yang memutih
berjalan yang tertatih
tuhan, biarkan cinta kami
lulus teruji

dan yang kami pertengkarkan hanyalah
siapa yang lebih mencintai siapa

















Bukan.
Bukan hendak mengundang kalian.
Juga bukan tentang pernikahan saya.
Sekedar absen di blog belaka.


"Hadir, Bu..."
 
   
datanglah pada hari perkawinan kami
lihat si tante menangis haru
paman-paman tertawa kecil
para ponakan berlarian
tatkala menyaksikan
kami berdua dipersatukan

dan kelak putra-putri kami
terlahir, tumbuh,
dan bahagia
kisah ini takkan pernah lelah
untuk diceritakan

hingga rambut yang memutih
berjalan yang tertatih
tuhan, biarkan cinta kami
lulus teruji

dan yang kami pertengkarkan hanyalah
siapa yang lebih mencintai siapa

















Bukan.
Bukan hendak mengundang kalian.
Juga bukan tentang pernikahan saya.
Sekedar absen di blog belaka.


"Hadir, Bu..."

Rabu, 11 Maret 2009

Alif Ba Ta

 
 
 
Dan tiba-tiba saja saya bilang, 

“Di hari yang cerah ini, ijinkanlah saya membaca satu dua bait puisi cinta.”

“Ijin diberikan.”

Begitu kamu menjawab pelan.

“Apa?”

Tanya saya, pura-pura tidak mendengar.

Kamu meraih secarik post it dan menuliskan sesuatu di sana. Diserahkannya pada saya sambil lalu: Surat Ijin Membaca Puisi. Lengkap dengan tandatangan. Yang kurang hanya cap jempol saja.

Mengatur nafas, saya perhatikan kamu sesaat. Terlambat saya sadari bahwa Tuhan telah menitipkan padamu kecerdasan, selain bola mata yang begitu menarik, tentunya. 

Tapi, yang namanya titipan itu, harus dipergunakan dan dipelihara baik-baik, ya. Jangan digadai ke mana-mana. Atau dipakai lirik-melirik sembarangan. Juga bukan untuk dikedip-kedip pada laki-laki tidak dikenal.

“Ehm.”

Kamu berdehem, mengais perhatian.

“Ya?”

Saya bertanya dengan pandangan dermawan.

“Surat ijin itu ada masa berlakunya, Andi. Jangan terlalu lama membuat saya menunggu.”

Kamu memperingatkan saya. Ada nada mengancam dan tidak main-main yang berhasil saya tangkap di sana. 

Meski begitu, sepertinya kamu sungguh tahu jika saya paling senang sewaktu nama saya disebut penuh. Apalagi kalau kamu bersedia menambah sebutan “Kang” di depannya. Padahal, belum terlalu lama kita saling kenal. Mungkin di kehidupan sebelumnya, kita adalah saudara kembar.

Kamu duduk di situ, saya berdiri di sini. Memandang langit, mencoba mencari kata-kata pembuka. 

Mungkin awan bagus juga, keras saya berpikir. Atau gunung hijau di kejauhan? Sayang, di sini tidak ada pantai. Dan masih terlalu lama sampai matahari tenggelam.

“Boleh sambil merokok?”

Saya bertanya, mencari alasan untuk berlama-lama.

Kamu mengangguk, memandang saya tanpa berkedip.

Aih. Padahal sekiranya menolak, masih banyak waktu untuk berdebat.

Rokok pun dibakar, dan asapnya mulai keluar-masuk paru-paru. 

“Kamu mau?”

Tidak bermaksud kurang ajar, lho. Juga bukan sedang mencari perkara.

Masih menatap, kamu menggelengkan kepala dan tangan mengelus perut.

“Tidak baik untuk janin.”

“Sungguh?”

“Iya. Itu tertulis di kotak pembungkusnya, Kang Andi.”

Setengah tidak percaya, saya periksa si kotak pembungkus rokok di tangan kiri. Dan saya dapatkan peringatan itu. 

Wow. Lagi-lagi, kamu benar. Selalu saja kamu perhatikan banyak hal. Hal besar, hal kecil… tidak pernah luput dari perhatian kamu. Kamu hanya tidak tertarik memperhatikan kekurangan orang lain. Itu saja.

Saya pun membuat keputusan yang saya nilai teramat bijaksana, yaitu mengambil jarak lebih jauh dari kamu. Saya mundur. Sepuluh langkah. Dua puluh langkah. Berusaha agar si asap tidak kamu hisap.

“Segini, cukup?!”

Saya berteriak.

“Apa? Tidak terdengar!”

Kamu balas berteriak.

Aih. Padahal asap rokok tadi kan tidak berbahaya bagi pendengaran, kenapa tiba-tiba suara saya tidak sampai ke telinga kamu.
Tadinya, saya hendak maju dua atau tiga langkah. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata kamu cantik juga jika dipandang dari jarak segini. Bukan. Bukan berarti jika sedang berdekatan, kamu jadi tidak menarik. Bukan itu. Jauhkan pikiran itu segera. Saat ini juga. Maksud saya adalah, saya berhasil melihat sesuatu lain sewaktu kita berjauhan. Ada sudut warna dan cahaya baru yang berhasil saya tangkap.

Sayang, saya tidak bawa kamera.

Eh, ralat.

Sayang, saya belum punya kamera. Jika punya, sudah saya abadikan kamu saat ini juga. Saya cetak besar-besar, lalu saya pampang di kamar. Biar dilepaskan saja itu poster What Women Want.

“Andi, kapan mulainya?!”

Ya, ampun. Ditunggu, rupanya. Saya pikir kamu sudah lupa. Ternyata kamu punya daya ingat juga, ya. Maaf. Tapi, senang rasanya menjadi lelaki yang ditunggu.

“Baiklah, saya mulai sekarang, ya. Siap?”

Kamu mengangguk.

“Suara saya jelas terdengar?”

“Iya, Andi. Cepat mulai!”

“Sungguh?”

“Iya.”

Saya pun mulai menghitung aba-aba dalam hati. Satu, dua. Belum juga keluar kata-kata. Lima… Keringat dingin mulai bercucuran. Sepuluh... Dan suara adzan ashar di masjid sebelah menyelamatkan saya.

“Nanti dilanjutkan, ya. Waktunya sembahyang dulu.”

Saya berjalan mendekat, dan kamu bangkit tanpa bisa menolak. 










biar ibu yang ajarkan melukis
bapak yang ajarkan menulis
lalu kanak-kanak kita 
membaca alif ba ta
dengan lancarnya





Alif Ba Ta

 
 
 
Dan tiba-tiba saja saya bilang, 

“Di hari yang cerah ini, ijinkanlah saya membaca satu dua bait puisi cinta.”

“Ijin diberikan.”

Begitu kamu menjawab pelan.

“Apa?”

Tanya saya, pura-pura tidak mendengar.

Kamu meraih secarik post it dan menuliskan sesuatu di sana. Diserahkannya pada saya sambil lalu: Surat Ijin Membaca Puisi. Lengkap dengan tandatangan. Yang kurang hanya cap jempol saja.

Mengatur nafas, saya perhatikan kamu sesaat. Terlambat saya sadari bahwa Tuhan telah menitipkan padamu kecerdasan, selain bola mata yang begitu menarik, tentunya. 

Tapi, yang namanya titipan itu, harus dipergunakan dan dipelihara baik-baik, ya. Jangan digadai ke mana-mana. Atau dipakai lirik-melirik sembarangan. Juga bukan untuk dikedip-kedip pada laki-laki tidak dikenal.

“Ehm.”

Kamu berdehem, mengais perhatian.

“Ya?”

Saya bertanya dengan pandangan dermawan.

“Surat ijin itu ada masa berlakunya, Andi. Jangan terlalu lama membuat saya menunggu.”

Kamu memperingatkan saya. Ada nada mengancam dan tidak main-main yang berhasil saya tangkap di sana. 

Meski begitu, sepertinya kamu sungguh tahu jika saya paling senang sewaktu nama saya disebut penuh. Apalagi kalau kamu bersedia menambah sebutan “Kang” di depannya. Padahal, belum terlalu lama kita saling kenal. Mungkin di kehidupan sebelumnya, kita adalah saudara kembar.

Kamu duduk di situ, saya berdiri di sini. Memandang langit, mencoba mencari kata-kata pembuka. 

Mungkin awan bagus juga, keras saya berpikir. Atau gunung hijau di kejauhan? Sayang, di sini tidak ada pantai. Dan masih terlalu lama sampai matahari tenggelam.

“Boleh sambil merokok?”

Saya bertanya, mencari alasan untuk berlama-lama.

Kamu mengangguk, memandang saya tanpa berkedip.

Aih. Padahal sekiranya menolak, masih banyak waktu untuk berdebat.

Rokok pun dibakar, dan asapnya mulai keluar-masuk paru-paru. 

“Kamu mau?”

Tidak bermaksud kurang ajar, lho. Juga bukan sedang mencari perkara.

Masih menatap, kamu menggelengkan kepala dan tangan mengelus perut.

“Tidak baik untuk janin.”

“Sungguh?”

“Iya. Itu tertulis di kotak pembungkusnya, Kang Andi.”

Setengah tidak percaya, saya periksa si kotak pembungkus rokok di tangan kiri. Dan saya dapatkan peringatan itu. 

Wow. Lagi-lagi, kamu benar. Selalu saja kamu perhatikan banyak hal. Hal besar, hal kecil… tidak pernah luput dari perhatian kamu. Kamu hanya tidak tertarik memperhatikan kekurangan orang lain. Itu saja.

Saya pun membuat keputusan yang saya nilai teramat bijaksana, yaitu mengambil jarak lebih jauh dari kamu. Saya mundur. Sepuluh langkah. Dua puluh langkah. Berusaha agar si asap tidak kamu hisap.

“Segini, cukup?!”

Saya berteriak.

“Apa? Tidak terdengar!”

Kamu balas berteriak.

Aih. Padahal asap rokok tadi kan tidak berbahaya bagi pendengaran, kenapa tiba-tiba suara saya tidak sampai ke telinga kamu.
Tadinya, saya hendak maju dua atau tiga langkah. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata kamu cantik juga jika dipandang dari jarak segini. Bukan. Bukan berarti jika sedang berdekatan, kamu jadi tidak menarik. Bukan itu. Jauhkan pikiran itu segera. Saat ini juga. Maksud saya adalah, saya berhasil melihat sesuatu lain sewaktu kita berjauhan. Ada sudut warna dan cahaya baru yang berhasil saya tangkap.

Sayang, saya tidak bawa kamera.

Eh, ralat.

Sayang, saya belum punya kamera. Jika punya, sudah saya abadikan kamu saat ini juga. Saya cetak besar-besar, lalu saya pampang di kamar. Biar dilepaskan saja itu poster What Women Want.

“Andi, kapan mulainya?!”

Ya, ampun. Ditunggu, rupanya. Saya pikir kamu sudah lupa. Ternyata kamu punya daya ingat juga, ya. Maaf. Tapi, senang rasanya menjadi lelaki yang ditunggu.

“Baiklah, saya mulai sekarang, ya. Siap?”

Kamu mengangguk.

“Suara saya jelas terdengar?”

“Iya, Andi. Cepat mulai!”

“Sungguh?”

“Iya.”

Saya pun mulai menghitung aba-aba dalam hati. Satu, dua. Belum juga keluar kata-kata. Lima… Keringat dingin mulai bercucuran. Sepuluh... Dan suara adzan ashar di masjid sebelah menyelamatkan saya.

“Nanti dilanjutkan, ya. Waktunya sembahyang dulu.”

Saya berjalan mendekat, dan kamu bangkit tanpa bisa menolak. 










biar ibu yang ajarkan melukis
bapak yang ajarkan menulis
lalu kanak-kanak kita 
membaca alif ba ta
dengan lancarnya