Rabu, 25 Februari 2009

Maju Produk Cibaduyut!

Kata orang bijak, tidak boleh kita menghitung-hitung kekayaan. Apalagi, kekayaan tetangga. Tapi malam ini tidak ada yang bisa saya lakukan mengingat mata terlalu segar untuk dipejamkan. Jadilah saya mulai mencatat inventaris barang yang berhasil saya beli selama ini.

#1
TV Asatron 14”.
Dibuat di negeri Cina, lalu dikirim dengan kapal dagang. Harga 500 ribuan. Tidak saya tawar. Sudah menjadi kebiasaan saya tidak suka tawar-menawar.
“Tabungnya LG, Mas,” begitu yang dibilang si penjual di bilangan pusat elektronik Jalan ABC tiga tahun lalu. Namun, bukan karena alasan tersebut saya beli. Tapi lebih karena terjangkau harganya.
Kondisi si tivi saat ini cukup memprihatikan. Selain terbungkus oleh lapisan debu tebal, remote-nya pun sudah pensiun entah sejak kapan. Tombol-tombolnya nyaris tanpa guna. Kalau saya tekan channel 5, yang muncul channel 10. Jika saya naikkan volume, yang terjadi adalah bergantinya mode, dari TV ke mode AV.
Tadinya mau saya berikan ke adik saya, tapi saya tidak tega. Memberi barang kan harus barang yang kita juga senang memakainya.

Mau saya buang, nanti dikiranya saya orang kaya. Nanti kamu ingin saya nikahi segera.

#2
Ponsel Sony Ericsson T630
Dibeli tepat empat tahun lalu. Itu pun second. Sudah enam bulan lamanya tidak bisa di-charge secara konvensional. Karena itulah saya selalu membawa 1 batere cadangan plus satu charger portable jika berpergian jauh. Tak ada keluhan lain kecuali tidak bisa memutar MP3 kesayangan.

Meski sudah ketinggalan jaman, maaf-maaf saja, tidak pernah tanpa pulsa.

#3
Motor Honda GL Pro 160 cc
Ini adalah motor impian saya sejak kecil. Buatan tahun 1997. Seperti ponsel saya, motor ini dibeli di tahun yang sama. Bulan yang sama. Second juga, tentunya.
Kondisi saat ini? Lampu depan, mati. Lampu belakang, mati. Lampu rem, mati. Lampu sein, jangan ditanya. Mati. STNK belum diperpanjang 3 tahun. Pelat nomor belakang buntung separuh. Jok motor mudah terembes air hujan sehingga membuat celana dalam saya selalu basah. Dan… jarang sekali dicuci. Apalagi, dilap.

Tapi di luar itu semua, saya sayang ini motor. Cinta saya sama dia. Sekaya apa pun nanti, tidak akan saya jual ke tetangga.

#4
Kipas Angin Maspion JF-2108T
Inilah produk kita. Sengaja saya beli demi membuktikan cinta pada negeri. Dan kelak, seluruh perabot rumah tangga saya adalah Maspion punya.

Maju produk dalam negeri!

#5
Laptop Asus EEEPC
Dibeli tepat tahun lalu di kala saya mulai menyadari bahwa dengan uang tiga juta, kita bisa puya laptop baru. Dengan ukuran layar monitornya yang hanya tujuh inch, sangat cocok dengan karakter saya yang lincah dan pandai berkelit. Baru-baru ini terjangkiti virus trojan dan bermacam spam.

Ukuran harddisk hanya 2 Giga!!
Hebat, ya, saya…

#6
Modem 3,5G Amoi
Dibuat di negeri Cina. Baru saja lunas setelah dicicil selama 18 bulan. Maklum, dulu harganya sekitar 2,4 juta. Tapi setelah lunas, koneksi internet justru sangat buruk sekali. Disko tiada henti.

Kini, berinternet seperti bermain catur dengan perempuan saja, rasanya. Banyak menunggu. Lama, pula.

#7
MP4 Player ZTE
Dibuat di negeri Cina. Saya pikir, barang ini sebagus Ipod sewaktu saya beli dari seorang temannya teman. Cuma 500 ribu. Bukan cuma, sebenarnya. Uang segitu juga berharga.
Maksud hati mau dihadiahkan pada adik, namun apa daya, saya tidak punya radio. Tape compo Aiwa saya dijual bertahun-tahun lalu demi…
Jadilah fungsinya saya alihkan menjadi mesin HR FM.

More radio, less TV.

#8
DVD Player Akira
Dibeli di tahun 2005 dengan harga 275 ribu. Konon, mendapatkan penghargaan Best Brand Awards di Singapur 2 tahun berturut-turut. Kelebihannya dibandingkan player merk lain adalah ukurannya yang amat kecil. Dan harga yang murah, tentunya. Bisa memutar film apa saja. Kecuali film porno.

Dan film Indonesia.

#9
Sepatu Reebok, Fila, Vans dan Hush Puppies.
Semua di beli di tahun-tahun yang berbeda. Saya bukan gila merk, sebenarnya. Tapi, hmm, mengingat langkah kaki saya yang lebar dan penuh tekanan, saya membutuhkan sepatu yang tahan cobaan. Yang kuat dipakai selama tahunan.

Kalau sudah banyak uang, nanti saya beli produk Cibaduyut. Rela saya tiap bulan berbelanja ke sana.

Beli produknya, sampaikan komplainnya. Maju produk dalam negeri!

#10
300-an DVD Collector Edition
Sebagian hilang entah ke mana. Sebagian lagi sebenarnya milik teman-teman saya. Tapi dalam meminjam barang teman, saya menganut "kalau ngga ditagih jadi milik sendiri".
Koleksi saya adalah film-film lama yang sulit dicari. Yang paling saya banggakan adalah film-film berlabel Unrated.

Semua bajakan.

#11
1 Novel, 4 Buku Sejarah, 1 Kamus Bahasa Indonesia
Sejak kecil, saya nyaris tidak pernah beli novel. Saya adalah anggota 12 taman bacaan di Bandung dan 1 di Rangkasbitung.

Tapi demi monyet yang membuat burung berkicau, saya rela mengeluarkan 130 ribu.


---------


Setelah direnungkan kembali, ternyata saya tidak sedemikian miskinnya. Maafkan, ya Tuhan, jika selama ini saya kurang bersyukur.










Ke arah manakah awan yang meninggalkan puncak gunung?
Ke barat? Ke timur?
[Hideyoshi, Taiko]








Maju Produk Cibaduyut!

Kata orang bijak, tidak boleh kita menghitung-hitung kekayaan. Apalagi, kekayaan tetangga. Tapi malam ini tidak ada yang bisa saya lakukan mengingat mata terlalu segar untuk dipejamkan. Jadilah saya mulai mencatat inventaris barang yang berhasil saya beli selama ini.

#1
TV Asatron 14”.
Dibuat di negeri Cina, lalu dikirim dengan kapal dagang. Harga 500 ribuan. Tidak saya tawar. Sudah menjadi kebiasaan saya tidak suka tawar-menawar.
“Tabungnya LG, Mas,” begitu yang dibilang si penjual di bilangan pusat elektronik Jalan ABC tiga tahun lalu. Namun, bukan karena alasan tersebut saya beli. Tapi lebih karena terjangkau harganya.
Kondisi si tivi saat ini cukup memprihatikan. Selain terbungkus oleh lapisan debu tebal, remote-nya pun sudah pensiun entah sejak kapan. Tombol-tombolnya nyaris tanpa guna. Kalau saya tekan channel 5, yang muncul channel 10. Jika saya naikkan volume, yang terjadi adalah bergantinya mode, dari TV ke mode AV.
Tadinya mau saya berikan ke adik saya, tapi saya tidak tega. Memberi barang kan harus barang yang kita juga senang memakainya.

Mau saya buang, nanti dikiranya saya orang kaya. Nanti kamu ingin saya nikahi segera.

#2
Ponsel Sony Ericsson T630
Dibeli tepat empat tahun lalu. Itu pun second. Sudah enam bulan lamanya tidak bisa di-charge secara konvensional. Karena itulah saya selalu membawa 1 batere cadangan plus satu charger portable jika berpergian jauh. Tak ada keluhan lain kecuali tidak bisa memutar MP3 kesayangan.

Meski sudah ketinggalan jaman, maaf-maaf saja, tidak pernah tanpa pulsa.

#3
Motor Honda GL Pro 160 cc
Ini adalah motor impian saya sejak kecil. Buatan tahun 1997. Seperti ponsel saya, motor ini dibeli di tahun yang sama. Bulan yang sama. Second juga, tentunya.
Kondisi saat ini? Lampu depan, mati. Lampu belakang, mati. Lampu rem, mati. Lampu sein, jangan ditanya. Mati. STNK belum diperpanjang 3 tahun. Pelat nomor belakang buntung separuh. Jok motor mudah terembes air hujan sehingga membuat celana dalam saya selalu basah. Dan… jarang sekali dicuci. Apalagi, dilap.

Tapi di luar itu semua, saya sayang ini motor. Cinta saya sama dia. Sekaya apa pun nanti, tidak akan saya jual ke tetangga.

#4
Kipas Angin Maspion JF-2108T
Inilah produk kita. Sengaja saya beli demi membuktikan cinta pada negeri. Dan kelak, seluruh perabot rumah tangga saya adalah Maspion punya.

Maju produk dalam negeri!

#5
Laptop Asus EEEPC
Dibeli tepat tahun lalu di kala saya mulai menyadari bahwa dengan uang tiga juta, kita bisa puya laptop baru. Dengan ukuran layar monitornya yang hanya tujuh inch, sangat cocok dengan karakter saya yang lincah dan pandai berkelit. Baru-baru ini terjangkiti virus trojan dan bermacam spam.

Ukuran harddisk hanya 2 Giga!!
Hebat, ya, saya…

#6
Modem 3,5G Amoi
Dibuat di negeri Cina. Baru saja lunas setelah dicicil selama 18 bulan. Maklum, dulu harganya sekitar 2,4 juta. Tapi setelah lunas, koneksi internet justru sangat buruk sekali. Disko tiada henti.

Kini, berinternet seperti bermain catur dengan perempuan saja, rasanya. Banyak menunggu. Lama, pula.

#7
MP4 Player ZTE
Dibuat di negeri Cina. Saya pikir, barang ini sebagus Ipod sewaktu saya beli dari seorang temannya teman. Cuma 500 ribu. Bukan cuma, sebenarnya. Uang segitu juga berharga.
Maksud hati mau dihadiahkan pada adik, namun apa daya, saya tidak punya radio. Tape compo Aiwa saya dijual bertahun-tahun lalu demi…
Jadilah fungsinya saya alihkan menjadi mesin HR FM.

More radio, less TV.

#8
DVD Player Akira
Dibeli di tahun 2005 dengan harga 275 ribu. Konon, mendapatkan penghargaan Best Brand Awards di Singapur 2 tahun berturut-turut. Kelebihannya dibandingkan player merk lain adalah ukurannya yang amat kecil. Dan harga yang murah, tentunya. Bisa memutar film apa saja. Kecuali film porno.

Dan film Indonesia.

#9
Sepatu Reebok, Fila, Vans dan Hush Puppies.
Semua di beli di tahun-tahun yang berbeda. Saya bukan gila merk, sebenarnya. Tapi, hmm, mengingat langkah kaki saya yang lebar dan penuh tekanan, saya membutuhkan sepatu yang tahan cobaan. Yang kuat dipakai selama tahunan.

Kalau sudah banyak uang, nanti saya beli produk Cibaduyut. Rela saya tiap bulan berbelanja ke sana.

Beli produknya, sampaikan komplainnya. Maju produk dalam negeri!

#10
300-an DVD Collector Edition
Sebagian hilang entah ke mana. Sebagian lagi sebenarnya milik teman-teman saya. Tapi dalam meminjam barang teman, saya menganut "kalau ngga ditagih jadi milik sendiri".
Koleksi saya adalah film-film lama yang sulit dicari. Yang paling saya banggakan adalah film-film berlabel Unrated.

Semua bajakan.

#11
1 Novel, 4 Buku Sejarah, 1 Kamus Bahasa Indonesia
Sejak kecil, saya nyaris tidak pernah beli novel. Saya adalah anggota 12 taman bacaan di Bandung dan 1 di Rangkasbitung.

Tapi demi monyet yang membuat burung berkicau, saya rela mengeluarkan 130 ribu.


---------


Setelah direnungkan kembali, ternyata saya tidak sedemikian miskinnya. Maafkan, ya Tuhan, jika selama ini saya kurang bersyukur.










Ke arah manakah awan yang meninggalkan puncak gunung?
Ke barat? Ke timur?
[Hideyoshi, Taiko]








Minggu, 22 Februari 2009

Monyet Berbulu Domba




“Pak, di mana matahari disembunyikan setiap kali malam datang?” tanya seorang anak pada ayahnya. Sok lucu dia. Dan pura-pura lugu.

“Di bantal ibu,” jawab si ayah sok romantis. “Biar hangat dia tidur.”

Anak itu beralih pada ibunya. “Ibu, di mana bantal tempat biasa matahari disimpan?”

Si ibu menjawab dengan sok tahu, “Sedang Ibu jemur di pelangi. Baru saja ia selesai dicuci.”

“Pak, kapan pelangi dapat kita lihat?”

“Tidak tentu, Nak. Bergantung awan memutuskan kapan turun hujan.”

Si anak bertanya lagi pada ibunya, “Bu, di mana bulan sewaktu siang hari?”

“Sedang dihangatkan di dapur. Coba kamu tanya si Bibi.”

Si anak berlari ke arah dapur. “Bi, katanya sedang menghangatkan bulan?”

“Iya. Mau kamu cicipi?” si Bibi menyodorkan sepotong kue tiong chiu pia.

Si anak langsung melahapnya. “MMmm… enak sekali, Bi. Dibuat dari apa ini?”

“Bahan utamanya cinta, Nak,” Bibi menjawab seakan beliau seorang penyair. “Dicampur sesendok teh rindu dan secukupnya cemburu. Dibuatnya harus tanggal tua saat menanti turunnya gaji dan kekasih yang tak kunjung kembali.”

“Cinta itu apa, Bi?” si Anak terus bertanya.

“Tanya kakakmu. Dia tentu sudah tahu.”

Anak itu pun berlari ke kamar kakaknya. “Kak, apa itu cinta?”

Sang kakak malah balik bertanya, ”Kenapa tanya Kakak?”

“Kata Bibi, Kakak lebih tahu tentang cinta daripada dia.”

“Tapi kakak cuma tahu cinta monyet. Dan monyet tentu lebih tahu itu daripada Kakak. Tutup pintunya! Kakak sedang patah hati!” sang Kakak berteriak dengan galak.

Kemudian, si anak pun pergi menuju Kebun Binatang dan mencari sekumpulan monyet di sana. “Ada diantara kalian yang tahu apa itu cinta?” tanyanya pada mereka.

Seekor monyet paling besar mengangkat tangan. “Cinta itu persis sama dengan yang didefinisikan oleh Wikipedia, yaitu sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain.”

Si anak mangut-mangut, seakan ia sudah mengerti saja. “Lalu, apa itu patah hati? Adakah hubungan antara keduanya?”

“Tentu, Nak,” kali ini monyet berbulu domba yang menjawab. “Patah hati adalah perasaan kecewa karena si objek lain tersebut hanya pasif saja, tidak balas melakukan aksi/kegiatan aktif.”

Merasa telah dibekali pengetahuan yang cukup, si anak itu pun pamit untuk pulang. Tidak lupa ia ucapkan terimakasih sebesar-besarnya.





Bandung, 23 Feb 09
Kantor, pagi hari...



Monyet Berbulu Domba




“Pak, di mana matahari disembunyikan setiap kali malam datang?” tanya seorang anak pada ayahnya. Sok lucu dia. Dan pura-pura lugu.

“Di bantal ibu,” jawab si ayah sok romantis. “Biar hangat dia tidur.”

Anak itu beralih pada ibunya. “Ibu, di mana bantal tempat biasa matahari disimpan?”

Si ibu menjawab dengan sok tahu, “Sedang Ibu jemur di pelangi. Baru saja ia selesai dicuci.”

“Pak, kapan pelangi dapat kita lihat?”

“Tidak tentu, Nak. Bergantung awan memutuskan kapan turun hujan.”

Si anak bertanya lagi pada ibunya, “Bu, di mana bulan sewaktu siang hari?”

“Sedang dihangatkan di dapur. Coba kamu tanya si Bibi.”

Si anak berlari ke arah dapur. “Bi, katanya sedang menghangatkan bulan?”

“Iya. Mau kamu cicipi?” si Bibi menyodorkan sepotong kue tiong chiu pia.

Si anak langsung melahapnya. “MMmm… enak sekali, Bi. Dibuat dari apa ini?”

“Bahan utamanya cinta, Nak,” Bibi menjawab seakan beliau seorang penyair. “Dicampur sesendok teh rindu dan secukupnya cemburu. Dibuatnya harus tanggal tua saat menanti turunnya gaji dan kekasih yang tak kunjung kembali.”

“Cinta itu apa, Bi?” si Anak terus bertanya.

“Tanya kakakmu. Dia tentu sudah tahu.”

Anak itu pun berlari ke kamar kakaknya. “Kak, apa itu cinta?”

Sang kakak malah balik bertanya, ”Kenapa tanya Kakak?”

“Kata Bibi, Kakak lebih tahu tentang cinta daripada dia.”

“Tapi kakak cuma tahu cinta monyet. Dan monyet tentu lebih tahu itu daripada Kakak. Tutup pintunya! Kakak sedang patah hati!” sang Kakak berteriak dengan galak.

Kemudian, si anak pun pergi menuju Kebun Binatang dan mencari sekumpulan monyet di sana. “Ada diantara kalian yang tahu apa itu cinta?” tanyanya pada mereka.

Seekor monyet paling besar mengangkat tangan. “Cinta itu persis sama dengan yang didefinisikan oleh Wikipedia, yaitu sebuah aksi/kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain.”

Si anak mangut-mangut, seakan ia sudah mengerti saja. “Lalu, apa itu patah hati? Adakah hubungan antara keduanya?”

“Tentu, Nak,” kali ini monyet berbulu domba yang menjawab. “Patah hati adalah perasaan kecewa karena si objek lain tersebut hanya pasif saja, tidak balas melakukan aksi/kegiatan aktif.”

Merasa telah dibekali pengetahuan yang cukup, si anak itu pun pamit untuk pulang. Tidak lupa ia ucapkan terimakasih sebesar-besarnya.





Bandung, 23 Feb 09
Kantor, pagi hari...



Kamis, 19 Februari 2009

Einstein vs Bohr





Beberapa hari yang lalu, di tengah jam makan siang pada hari yang cerah tapi banyak awan mengancam, saya terlibat dalam sebuah pembicaraan serius dengan seorang teman kantor. Teramat serius. Pembicaraan paling serius yang pernah kami alami sejak kami saling mengenal. Teman yang saya maksud ini kebetulan adalah seorang perempuan dan junior saya di kampus dahulu. Bukan kebetulan, sebenarnya. Karena Tuhan tidak sedang bermain dadu. Begitu kata Einstein. Atau kata Bohr, si penemu model atom itu? Ah, tidak penting.

Penting, sih. Karena ini adalah filosofi hidup yang juga penting.

Tapi terlepas dari Einstein ataupun Bohr, saya cukup yakin bahwa isi pembicaraan yang saya maksud tidak kalah pentingnya. Bahkan cukup penting untuk disimak dan dihayati. Sekiranya pekerjaan sedang menumpuk pun, sudah sepatutnya kamu diam sejenak dan memperhatikan apa yang hendak saya paparkan.

Begini.

Teman saya ini, sebut saja S, sedang menyelesaikan tesis S2 mengenai sebuah cabang ilmu yang saya tidak mau repot-repot menerangkan karena saya yakin kamu pun tidak akan mengerti dan seandainya kamu mengerti pun kamu akan lanjut bertanya ke hal lain yang membuat saya tidak juga memulai ceritanya. Karena itu, amat wajar jika saya bertanya kepada beliau tentang rencana selanjutnya seusai S2.

Sebagai catatan, beliau ini adalah lulusan terbaik pada angkatannya. Jadi, cukup pintarlah. Dibandingkan saya? Hmm… bagaimana, ya… sebagaimanapun pintarnya S, saya adalah asisten dosen waktu dia kuliah.

Kembali ke pembicaraan kami berdua, S memberi jawaban yang cukup mengecewakan saya.

“Saya akan kembali menekuni pekerjaan semula karena saya merasa nyaman dan enjoy di sana.”

Saya pun dengan blak-blakan, blak nangkarak blak nangkuban, menyatakan kekecewaan. Kenapa saya kecewa? Dia pun bingung kenapa. Dan kamu pasti bingung juga.

Wajar. Ada jurang intelejensi diantara kita.

Saya kecewa. Sungguh. Begitu kata saya dengan penuh api.

Tapi saya merasa nyaman dan enjoy, Andri. Eh, Andi. Katanya. Dan setiap orang punya hak untuk itu, bukan?

Saya bilang, merasa enjoy dengan apa yang kita kerjakan adalah tahap awal untuk hidup yang baik. Level pertama untuk menjadi manusia seutuhnya dan bahagia. Begitu saya jawab. Tapi, ada tapi di sini. Bagi mereka yang diberi kesempatan lebih dibandingkan orang lain, baik itu berupa kecerdasan, keterampilan ataupun kekayaan, tahap itu harus sudah dilewati dan naik menuju tahap berikutnya.

Maksud kamu?

Begitu dia bertanya dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang mimik lulusan terbaik. Dia tidak mengerti. Begitu juga kamu, saya yakin. Baiklah, akan saya jelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana.

Melakukan perubahan.

Begitu saya bilang. Singkat. Padat. Tanpa keraguan.

Kamu yang cukup cerdas, dan tidak lama lagi bergelar S2. Kamu satu-satunya yang punya cabang ilmu itu. Kamu tidak boleh kembali ke tempatmu semula, S. Kamu harus berbuat sesuatu yang bisa membawa perubahan ke arah lebih baik bagi perusahaan ini. Sungguh curang jika dengan segala kesempatan yang sudah diberikan, kamu sekedar enjoying your life.

Tidakkah kamu ingin tercatat dalam sejarah, S? Meski, hanya dalam sejarah perusahaan ini?

Dan S pun mangut-mangut. Saya yakin, dia masih juga tidak mengerti maksud saya.








Einstein vs Bohr





Beberapa hari yang lalu, di tengah jam makan siang pada hari yang cerah tapi banyak awan mengancam, saya terlibat dalam sebuah pembicaraan serius dengan seorang teman kantor. Teramat serius. Pembicaraan paling serius yang pernah kami alami sejak kami saling mengenal. Teman yang saya maksud ini kebetulan adalah seorang perempuan dan junior saya di kampus dahulu. Bukan kebetulan, sebenarnya. Karena Tuhan tidak sedang bermain dadu. Begitu kata Einstein. Atau kata Bohr, si penemu model atom itu? Ah, tidak penting.

Penting, sih. Karena ini adalah filosofi hidup yang juga penting.

Tapi terlepas dari Einstein ataupun Bohr, saya cukup yakin bahwa isi pembicaraan yang saya maksud tidak kalah pentingnya. Bahkan cukup penting untuk disimak dan dihayati. Sekiranya pekerjaan sedang menumpuk pun, sudah sepatutnya kamu diam sejenak dan memperhatikan apa yang hendak saya paparkan.

Begini.

Teman saya ini, sebut saja S, sedang menyelesaikan tesis S2 mengenai sebuah cabang ilmu yang saya tidak mau repot-repot menerangkan karena saya yakin kamu pun tidak akan mengerti dan seandainya kamu mengerti pun kamu akan lanjut bertanya ke hal lain yang membuat saya tidak juga memulai ceritanya. Karena itu, amat wajar jika saya bertanya kepada beliau tentang rencana selanjutnya seusai S2.

Sebagai catatan, beliau ini adalah lulusan terbaik pada angkatannya. Jadi, cukup pintarlah. Dibandingkan saya? Hmm… bagaimana, ya… sebagaimanapun pintarnya S, saya adalah asisten dosen waktu dia kuliah.

Kembali ke pembicaraan kami berdua, S memberi jawaban yang cukup mengecewakan saya.

“Saya akan kembali menekuni pekerjaan semula karena saya merasa nyaman dan enjoy di sana.”

Saya pun dengan blak-blakan, blak nangkarak blak nangkuban, menyatakan kekecewaan. Kenapa saya kecewa? Dia pun bingung kenapa. Dan kamu pasti bingung juga.

Wajar. Ada jurang intelejensi diantara kita.

Saya kecewa. Sungguh. Begitu kata saya dengan penuh api.

Tapi saya merasa nyaman dan enjoy, Andri. Eh, Andi. Katanya. Dan setiap orang punya hak untuk itu, bukan?

Saya bilang, merasa enjoy dengan apa yang kita kerjakan adalah tahap awal untuk hidup yang baik. Level pertama untuk menjadi manusia seutuhnya dan bahagia. Begitu saya jawab. Tapi, ada tapi di sini. Bagi mereka yang diberi kesempatan lebih dibandingkan orang lain, baik itu berupa kecerdasan, keterampilan ataupun kekayaan, tahap itu harus sudah dilewati dan naik menuju tahap berikutnya.

Maksud kamu?

Begitu dia bertanya dengan mimik wajah yang tidak bisa dibilang mimik lulusan terbaik. Dia tidak mengerti. Begitu juga kamu, saya yakin. Baiklah, akan saya jelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana.

Melakukan perubahan.

Begitu saya bilang. Singkat. Padat. Tanpa keraguan.

Kamu yang cukup cerdas, dan tidak lama lagi bergelar S2. Kamu satu-satunya yang punya cabang ilmu itu. Kamu tidak boleh kembali ke tempatmu semula, S. Kamu harus berbuat sesuatu yang bisa membawa perubahan ke arah lebih baik bagi perusahaan ini. Sungguh curang jika dengan segala kesempatan yang sudah diberikan, kamu sekedar enjoying your life.

Tidakkah kamu ingin tercatat dalam sejarah, S? Meski, hanya dalam sejarah perusahaan ini?

Dan S pun mangut-mangut. Saya yakin, dia masih juga tidak mengerti maksud saya.








Minggu, 15 Februari 2009

14 Februari 2009




Buitenzorg,
Lewat Dini Hari

Aisa,
Ada yang membuat Bapak tidak bisa tidur malam ini. Di luar sana, temperatur udara mendekati titik terendahnya. Juga gulita. Bulan sama sekali tidak terlihat, padahal ini malam purnama. Awan telah menelannya bulat-bulat, seperti yang dilakukannya pada matahari akhir-akhir ini. Satu-satunya sumber cahaya adalah mata ibumu di kejauhan. Dan itu pun mulai meredup secara perlahan.

Aisa Sayang,
Tahukah kamu bahwa mereka menyebut kota ini dengan sebutan Kota Hujan? Anak pintar seperti kamu tentu dapat dengan mudah menebak kenapa dinamakan demikian. Benar, Aisa. Itu disebabkan tidak ada, atau belum ada, hal yang bisa dibanggakan darinya. London tidak pernah disebut Kota Hujan meski hujan bisa turun setiap saat dan setiap musim di sana.

Belum, Aisa. Bapak belum sempat ke London. Tepatnya, belum ada ongkos.




Dan hujan turun merintik pada pukul 3 malam di Buitenzorg. Titip peluk cium untuk ibumu. Malam ini usianya bertambah satu.



The secret of staying young is to live honestly, eat slowly, and lie about your age.
[Lucille Ball
]





14 Februari 2009




Buitenzorg,
Lewat Dini Hari

Aisa,
Ada yang membuat Bapak tidak bisa tidur malam ini. Di luar sana, temperatur udara mendekati titik terendahnya. Juga gulita. Bulan sama sekali tidak terlihat, padahal ini malam purnama. Awan telah menelannya bulat-bulat, seperti yang dilakukannya pada matahari akhir-akhir ini. Satu-satunya sumber cahaya adalah mata ibumu di kejauhan. Dan itu pun mulai meredup secara perlahan.

Aisa Sayang,
Tahukah kamu bahwa mereka menyebut kota ini dengan sebutan Kota Hujan? Anak pintar seperti kamu tentu dapat dengan mudah menebak kenapa dinamakan demikian. Benar, Aisa. Itu disebabkan tidak ada, atau belum ada, hal yang bisa dibanggakan darinya. London tidak pernah disebut Kota Hujan meski hujan bisa turun setiap saat dan setiap musim di sana.

Belum, Aisa. Bapak belum sempat ke London. Tepatnya, belum ada ongkos.




Dan hujan turun merintik pada pukul 3 malam di Buitenzorg. Titip peluk cium untuk ibumu. Malam ini usianya bertambah satu.



The secret of staying young is to live honestly, eat slowly, and lie about your age.
[Lucille Ball
]





Selasa, 10 Februari 2009

Kampung Trip I

Banyak hal yang terjadi dalam satu-dua minggu terakhir ini. Sungguh banyak. Pengetahuan saya jadi bertambah dan wawasan saya semakin luas. Termasuk pengalaman yang sulit dicari bandingannya. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan saya atas kesempatan yang masih saja diberikan.

Hari kamis lalu saya terbang ke Garut. Bukan terbang, sebenarnya. Tapi tidak apa. Biar sedikit gaya.

Ada sebuah talkshow yang harus saya hadiri di sana. Tidak harus, sih. Terserah saya saja. Saya kan orang merdeka. Kalau saya mau, ya, silakan. Kalau pun saya menolak, tidak apa-apa. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa memaksa saya untuk melakukan sesuatu kecuali Dia yang di atas sana. Tidak juga uang atau perintah atasan.

Dan tidak seperti waktu di masa sekolah, bukan sekedar kehadiran yang dibutuhkan. Tapi lebih dari itu. Di acara talkshow tersebut, saya diberi peran sebagai pembicara. Sebenarnya, istilah “acara talkshow” itu keliru. Atau salah. Cukup “talkshow”, tidak perlu ditambah dengan embel-embel kata “acara”. Tapi, di jaman begini, orang banyak tidak peduli.

Saya pun tidak sekedar berbicara. Kadang-kadang, tertawa. Sesekali, menganggukkan kepala.

Bersama seorang penulis wanita beranak satu, kami bercerita di depan puluhan anak SMP tentang bagaimana menulis. Diantara mereka ada yang mirip Agnes Monica dan Chintami Atmanegara. Tentu, Agnes dan Chintami sewaktu mereka masih remaja.

“Menulis itu sangat susah, Ade-ade. Apalagi menulis kaligrafi Arab dan huruf Cina.”

Garut adalah salah satu kampung halaman saya. Tempat saya dititipkan sewaktu kecil. Setiap liburan sekolah. Tempat saya pulang berlebaran. Di sana, ibu saya dilahirkan. Di sana pula kedua orangtua saya berjumpa. Karena itu, pantaslah kiranya jika saya tahu benar bagaimana budaya penduduknya di masa lalu.

Dan sebagai penganut paham ultra-konservatif, saya sangat dikejutkan oleh foto-foto pengisi acara Gebyar Buku Murah Garut itu di hari Minggu sebelumnya: Garut Sexy Dancers.

Sungguh, saya sangat syok. Terkejut. Sampai-sampai saya mengelus dada dibuatnya.

Dada saya. Bukan dada ayam.

Garut, kampung halaman saya itu…
Kota santri itu… kini memiliki koleksi tim sexy dancer.
Dan sangat sexy.
Atau seksi.

Entah kenapa, saya merasa sedikit kecewa. Juga marah. Seperti melihat adik sendiri mempertontonkan tubuhnya di muka umum...





Kalau Bandung Sexy Dancer... Jakarta Sexy Dancer... bolehlah saya ikut menonton.



Kampung Trip I

Banyak hal yang terjadi dalam satu-dua minggu terakhir ini. Sungguh banyak. Pengetahuan saya jadi bertambah dan wawasan saya semakin luas. Termasuk pengalaman yang sulit dicari bandingannya. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan saya atas kesempatan yang masih saja diberikan.

Hari kamis lalu saya terbang ke Garut. Bukan terbang, sebenarnya. Tapi tidak apa. Biar sedikit gaya.

Ada sebuah talkshow yang harus saya hadiri di sana. Tidak harus, sih. Terserah saya saja. Saya kan orang merdeka. Kalau saya mau, ya, silakan. Kalau pun saya menolak, tidak apa-apa. Tidak ada satu kekuatan pun yang bisa memaksa saya untuk melakukan sesuatu kecuali Dia yang di atas sana. Tidak juga uang atau perintah atasan.

Dan tidak seperti waktu di masa sekolah, bukan sekedar kehadiran yang dibutuhkan. Tapi lebih dari itu. Di acara talkshow tersebut, saya diberi peran sebagai pembicara. Sebenarnya, istilah “acara talkshow” itu keliru. Atau salah. Cukup “talkshow”, tidak perlu ditambah dengan embel-embel kata “acara”. Tapi, di jaman begini, orang banyak tidak peduli.

Saya pun tidak sekedar berbicara. Kadang-kadang, tertawa. Sesekali, menganggukkan kepala.

Bersama seorang penulis wanita beranak satu, kami bercerita di depan puluhan anak SMP tentang bagaimana menulis. Diantara mereka ada yang mirip Agnes Monica dan Chintami Atmanegara. Tentu, Agnes dan Chintami sewaktu mereka masih remaja.

“Menulis itu sangat susah, Ade-ade. Apalagi menulis kaligrafi Arab dan huruf Cina.”

Garut adalah salah satu kampung halaman saya. Tempat saya dititipkan sewaktu kecil. Setiap liburan sekolah. Tempat saya pulang berlebaran. Di sana, ibu saya dilahirkan. Di sana pula kedua orangtua saya berjumpa. Karena itu, pantaslah kiranya jika saya tahu benar bagaimana budaya penduduknya di masa lalu.

Dan sebagai penganut paham ultra-konservatif, saya sangat dikejutkan oleh foto-foto pengisi acara Gebyar Buku Murah Garut itu di hari Minggu sebelumnya: Garut Sexy Dancers.

Sungguh, saya sangat syok. Terkejut. Sampai-sampai saya mengelus dada dibuatnya.

Dada saya. Bukan dada ayam.

Garut, kampung halaman saya itu…
Kota santri itu… kini memiliki koleksi tim sexy dancer.
Dan sangat sexy.
Atau seksi.

Entah kenapa, saya merasa sedikit kecewa. Juga marah. Seperti melihat adik sendiri mempertontonkan tubuhnya di muka umum...





Kalau Bandung Sexy Dancer... Jakarta Sexy Dancer... bolehlah saya ikut menonton.



Rabu, 04 Februari 2009

Halo.
Hi, how are you apa kabar?



Biasanya saya mudah menemukanmu
Di sudut terminal
Di pos polisi
Di balik teralis penjara
Di kolong jembatan
....
Di rumah sakit bersalin
dan dukun pembunuh janin...





Adakah sesuatu yang terjadi?
Halo.
Hi, how are you apa kabar?



Biasanya saya mudah menemukanmu
Di sudut terminal
Di pos polisi
Di balik teralis penjara
Di kolong jembatan
....
Di rumah sakit bersalin
dan dukun pembunuh janin...





Adakah sesuatu yang terjadi?

Minggu, 01 Februari 2009

1000 Miles to KUA




Setelah menggunakan KTP palsu selama enam tahun, hari ini saya memutuskan untuk membuat yang asli. Original. The real one. Ada pun kenapa akhirnya saya berubah, itu tidak lain dan tidak bukan karena syarat dari KUA. Bagi mereka yang hendak menikah, KTP merupakan modal utama. Di samping rumah, mobil, karir dan uang tunai, tentunya. Masa, mengawali rumah tangga dengan kepalsuan?

Sebagai seorang calon suami dan calon ayah yang penuh dedikasi dan komitmen, mengurus KTP harus dilakukan sendiri, dong. Bersih dan lurus. Tidak bengkok disertai pelicin. Kalau mengurus KTP saja tidak becus, bagaimana dalam mengurusi badan yang gemuk?

Ups…

Ini hari minggu, dan pukul delapan saya sudah mandi. Biasanya minggu pagi saya gunakan sebaik-baiknya untuk mencuci baju atau melap motor. Tapi tidak kali ini. Saya fokuskan untuk membuat KTP asli.

Sarapan nasi goreng dibuatkan si Mba… yang saya lupa namanya. Padahal, kami sudah hidup nyaris 5 tahun di bawah atap yang sama. Tapi, apalah artinya nama, bukan? Jengkol tetap bau meski kita ganti namanya jadi mawar.

Bukan, Mba. Mba ngga bau sama sekali. Yah, maafkan saya jika becanda berlebihan. Maklum. Anak muda.

Seusai sarapan, motor saya keluarkan dari garasi. Sebagai pengemudi hebat, saya periksa air akki terlebih dahulu. Isinya sudah nyaris kering. Ah, peduli. Pak RT dan Pak RW dekat rumah lama sudah menunggu. Berangkatlah saya dengan penuh semangat.

Entah kenapa, saya begitu semangat hari ini. Juga hari kemarin. Juga beberapa hari sebelumnya. Saya pikir, ini mungkin disebabkan oleh pengaruh alkohol. Tapi setelah direnungkan kembali, itu tidak mungkin. Alkohol tidak menyebabkan orang yang meminumnya menjadi bersemangat. Alkohol menyebabkan orang yang meminumnya masuk neraka. Itu yang ustadz saya bilang sewaktu saya kecil. Eh, bukan. Salah, bukan begitu. Ustadzah yang benar, soalnya dia perempuan.

Ketika sampai di rumah yang dituju, Pak RT yang saya temui rupanya sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua RT. Tidak pula naik jabatan menjadi Ketua RW. Tidak pula dimutasi dari Ketua RT 005 menjadi Ketua RT 002. Tapi saya tidak patah arang. Masa, baru diberi sedikit kesulitan sudah mundur menyerah? Hidup itu harus seru, sehingga bisa cerita pada anak-cucu.

Karena itu, perjalanan dilanjutkan menuju Ketua RT baru. Namanya Pak Heri. Atau Herry? Ah, saya tidak akan mempermasalahkannya. Biarlah mereka para sarjana hukum saja yang sibuk mengurusi hal seperti itu.

“A-N-D-Y atau A-N-D-E-E?” tanya Pak Heri (atau Herry) sewaktu menulis surat keterangan pindah.

Berikutnya, saya bawa surat tersebut ke rumah Ketua RW untuk meminta tandatangannya. Saya beruntung, rumah beliau sangat teramat dekat. Tinggal menyeberang. Sungguh kebetulan yang diatur-Nya, pagar rumah Pak RW terbuka, dan saya melangkah masuk dan ucapkan salam.

Bagai gayung tak bersambut. Ibarat menjaring air. Bertepuk sebelah tangan. Mengharap bulan membalas senyum. Bermimpi naik gaji. Sepuluh salam saya tak satupun dijawab orang. Mungkin seluruh penghuni rumah beserta isinya sedang berasyik-masyuk. Tidak boleh putus asa, hibur saya dalam hati. Tuhan bersama orang-orang yang bersabar.

Atas kebaikan Pak Heri (atau Harry), saya diberi tahu letak rumah Sekertaris RW. Konon, beliau bisa membantu karena beliaulah pemegang stempel. Saya pun menuju ke sana dan berharap pada-Nya agar si sekretaris yang akan saya temui ini bukan tipe sekretaris penggoda iman.

Keringat banjiri badan satu-satunya ini. Matahari sudah naik tinggi ketika rumah yang dimaksud terlihat. Saya ketuk pintu dan ucapkan salam, lalu pintu pun terbuka. Tuhan mengabulkan doa saya. Si Sekretaris RW adalah seorang bapak-bapak berkumis tebal. Usianya mungkin sudah lewat 40. Iman saya tetap kokoh di tempatnya.

“Stempelnya sedang dipinjam Pak RW.”






Hmm…
Ini seperti dejavu. Saya pernah mengalami ini. Sungguh. Yah, mirip banyak sekali. Beda sedikit jangan disinggung. Kita kan akrab.

Itu kejadian enam tahun lalu. Sewaktu saya baru saja pindah dari tempat tinggal lama menuju tempat tinggal baru. Dan waktu itu, atas kejadian tersebut, saya memutuskan untuk menggunakan KTP palsu.

Itulah yang membuat saya tidak bisa mengurus passport (atau paspor?), baru-baru ini ditolak saat mencairkan chek (atau cheque?), serta tidak mendapat hak pilih dalam pemilu (atau pemillu?).

*hiks…


Wahai, Pak RW.
Cepatlah kembali.






“Now, son, you don't want to drink beer. That's for daddies and kids with fake IDs.”
[Homer Simpson]


1000 Miles to KUA




Setelah menggunakan KTP palsu selama enam tahun, hari ini saya memutuskan untuk membuat yang asli. Original. The real one. Ada pun kenapa akhirnya saya berubah, itu tidak lain dan tidak bukan karena syarat dari KUA. Bagi mereka yang hendak menikah, KTP merupakan modal utama. Di samping rumah, mobil, karir dan uang tunai, tentunya. Masa, mengawali rumah tangga dengan kepalsuan?

Sebagai seorang calon suami dan calon ayah yang penuh dedikasi dan komitmen, mengurus KTP harus dilakukan sendiri, dong. Bersih dan lurus. Tidak bengkok disertai pelicin. Kalau mengurus KTP saja tidak becus, bagaimana dalam mengurusi badan yang gemuk?

Ups…

Ini hari minggu, dan pukul delapan saya sudah mandi. Biasanya minggu pagi saya gunakan sebaik-baiknya untuk mencuci baju atau melap motor. Tapi tidak kali ini. Saya fokuskan untuk membuat KTP asli.

Sarapan nasi goreng dibuatkan si Mba… yang saya lupa namanya. Padahal, kami sudah hidup nyaris 5 tahun di bawah atap yang sama. Tapi, apalah artinya nama, bukan? Jengkol tetap bau meski kita ganti namanya jadi mawar.

Bukan, Mba. Mba ngga bau sama sekali. Yah, maafkan saya jika becanda berlebihan. Maklum. Anak muda.

Seusai sarapan, motor saya keluarkan dari garasi. Sebagai pengemudi hebat, saya periksa air akki terlebih dahulu. Isinya sudah nyaris kering. Ah, peduli. Pak RT dan Pak RW dekat rumah lama sudah menunggu. Berangkatlah saya dengan penuh semangat.

Entah kenapa, saya begitu semangat hari ini. Juga hari kemarin. Juga beberapa hari sebelumnya. Saya pikir, ini mungkin disebabkan oleh pengaruh alkohol. Tapi setelah direnungkan kembali, itu tidak mungkin. Alkohol tidak menyebabkan orang yang meminumnya menjadi bersemangat. Alkohol menyebabkan orang yang meminumnya masuk neraka. Itu yang ustadz saya bilang sewaktu saya kecil. Eh, bukan. Salah, bukan begitu. Ustadzah yang benar, soalnya dia perempuan.

Ketika sampai di rumah yang dituju, Pak RT yang saya temui rupanya sudah tidak lagi menjabat sebagai Ketua RT. Tidak pula naik jabatan menjadi Ketua RW. Tidak pula dimutasi dari Ketua RT 005 menjadi Ketua RT 002. Tapi saya tidak patah arang. Masa, baru diberi sedikit kesulitan sudah mundur menyerah? Hidup itu harus seru, sehingga bisa cerita pada anak-cucu.

Karena itu, perjalanan dilanjutkan menuju Ketua RT baru. Namanya Pak Heri. Atau Herry? Ah, saya tidak akan mempermasalahkannya. Biarlah mereka para sarjana hukum saja yang sibuk mengurusi hal seperti itu.

“A-N-D-Y atau A-N-D-E-E?” tanya Pak Heri (atau Herry) sewaktu menulis surat keterangan pindah.

Berikutnya, saya bawa surat tersebut ke rumah Ketua RW untuk meminta tandatangannya. Saya beruntung, rumah beliau sangat teramat dekat. Tinggal menyeberang. Sungguh kebetulan yang diatur-Nya, pagar rumah Pak RW terbuka, dan saya melangkah masuk dan ucapkan salam.

Bagai gayung tak bersambut. Ibarat menjaring air. Bertepuk sebelah tangan. Mengharap bulan membalas senyum. Bermimpi naik gaji. Sepuluh salam saya tak satupun dijawab orang. Mungkin seluruh penghuni rumah beserta isinya sedang berasyik-masyuk. Tidak boleh putus asa, hibur saya dalam hati. Tuhan bersama orang-orang yang bersabar.

Atas kebaikan Pak Heri (atau Harry), saya diberi tahu letak rumah Sekertaris RW. Konon, beliau bisa membantu karena beliaulah pemegang stempel. Saya pun menuju ke sana dan berharap pada-Nya agar si sekretaris yang akan saya temui ini bukan tipe sekretaris penggoda iman.

Keringat banjiri badan satu-satunya ini. Matahari sudah naik tinggi ketika rumah yang dimaksud terlihat. Saya ketuk pintu dan ucapkan salam, lalu pintu pun terbuka. Tuhan mengabulkan doa saya. Si Sekretaris RW adalah seorang bapak-bapak berkumis tebal. Usianya mungkin sudah lewat 40. Iman saya tetap kokoh di tempatnya.

“Stempelnya sedang dipinjam Pak RW.”






Hmm…
Ini seperti dejavu. Saya pernah mengalami ini. Sungguh. Yah, mirip banyak sekali. Beda sedikit jangan disinggung. Kita kan akrab.

Itu kejadian enam tahun lalu. Sewaktu saya baru saja pindah dari tempat tinggal lama menuju tempat tinggal baru. Dan waktu itu, atas kejadian tersebut, saya memutuskan untuk menggunakan KTP palsu.

Itulah yang membuat saya tidak bisa mengurus passport (atau paspor?), baru-baru ini ditolak saat mencairkan chek (atau cheque?), serta tidak mendapat hak pilih dalam pemilu (atau pemillu?).

*hiks…


Wahai, Pak RW.
Cepatlah kembali.






“Now, son, you don't want to drink beer. That's for daddies and kids with fake IDs.”
[Homer Simpson]