Sabtu, 05 November 2005

Jalangkung atau Maling?

Setiap orang bebas untuk datang dan pergi dari kehidupan orang lain. Jaman demokrasi, gitu. Dalam hal ini saya setuju-setuju saja. Asalkan dengan cara yang sopan, tentunya. Mesti ada ketuk pintu. Ada permisi. Termasuk berpamitan untuk sekedar basa-basi. Biar tidak dikira jalangkung. Datang tak diundang, pergi tak diantar. Juga biar tidak digebuki massa layaknya pencuri alias maling.

Beberapa minggu yang lalu, seseorang mendobrak pintu kehidupan pribadi saya dengan cara dan gaya lama. Berondongan sms, e-mail dan telepon. Saya—yang meski sombong, berintelegensi di atas rata-rata, dan terbiasa memilih bertemu muka daripada berpetualang di dunia maya—tidak kuasa untuk menahan itu semua. Akhirnya, ia terbiarkan masuk dan mengacaukan dimensi—yang saya sebut—xlindosat.

Sampai di sini, tidak ada yang salah, memang. Bahkan terasa cukup menyenangkan. Seperti saling membangunkan di tengah malam, “say hi” pada dini hari, hingga sekedar menanyakan menu makan. Ditambah sedikit mencampuri urusan pribadi, sekali-sekali.

Namun, tiba-tiba dia pergi begitu saja. Wussss. Wusss. Preettt.

Bukan menghilang. Karena bisa terkira tubuhnya berada di mana dan sedang melakukan apa. Dia hanya pergi, meninggalkan jejak kaki yang masih basah hingga saat ini. Pergi. Tanpa pamit. Tanpa permisi. Seperti jalangkung saja. Atau pencuri alias maling.

Tadinya, saya hendak mengejar. Atau sekedar membuntuti. Tapi, please dong. Saya memang miskin, tapi sombong!

Eh, udah lebaran, nih...

"Pintu masuk harap ditutup kembali. Pintu maafku selalu terbuka."
Met, lebaran, ya.

(Ah, mangap sih gampang)

Jalangkung atau Maling?

Setiap orang bebas untuk datang dan pergi dari kehidupan orang lain. Jaman demokrasi, gitu. Dalam hal ini saya setuju-setuju saja. Asalkan dengan cara yang sopan, tentunya. Mesti ada ketuk pintu. Ada permisi. Termasuk berpamitan untuk sekedar basa-basi. Biar tidak dikira jalangkung. Datang tak diundang, pergi tak diantar. Juga biar tidak digebuki massa layaknya pencuri alias maling.

Beberapa minggu yang lalu, seseorang mendobrak pintu kehidupan pribadi saya dengan cara dan gaya lama. Berondongan sms, e-mail dan telepon. Saya—yang meski sombong, berintelegensi di atas rata-rata, dan terbiasa memilih bertemu muka daripada berpetualang di dunia maya—tidak kuasa untuk menahan itu semua. Akhirnya, ia terbiarkan masuk dan mengacaukan dimensi—yang saya sebut—xlindosat.

Sampai di sini, tidak ada yang salah, memang. Bahkan terasa cukup menyenangkan. Seperti saling membangunkan di tengah malam, “say hi” pada dini hari, hingga sekedar menanyakan menu makan. Ditambah sedikit mencampuri urusan pribadi, sekali-sekali.

Namun, tiba-tiba dia pergi begitu saja. Wussss. Wusss. Preettt.

Bukan menghilang. Karena bisa terkira tubuhnya berada di mana dan sedang melakukan apa. Dia hanya pergi, meninggalkan jejak kaki yang masih basah hingga saat ini. Pergi. Tanpa pamit. Tanpa permisi. Seperti jalangkung saja. Atau pencuri alias maling.

Tadinya, saya hendak mengejar. Atau sekedar membuntuti. Tapi, please dong. Saya memang miskin, tapi sombong!

Eh, udah lebaran, nih...

"Pintu masuk harap ditutup kembali. Pintu maafku selalu terbuka."
Met, lebaran, ya.

(Ah, mangap sih gampang)

Selasa, 04 Oktober 2005

Ramadhan

maraban hayam ku huut
maraban domba ku jukut

Marhaban ya Ramadhan

Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, kalian semua saya maafkan.

(Ah, pernahkah kalian tidak saya maafkan?)

Ramadhan

maraban hayam ku huut
maraban domba ku jukut

Marhaban ya Ramadhan

Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, kalian semua saya maafkan.

(Ah, pernahkah kalian tidak saya maafkan?)

Rabu, 28 September 2005

Mitos, Legenda dan Mistis

“Kamu percaya Sangkuriang?” Teman saya yang paling saya harapkan menghilang dari muka bumi itu bertanya sekali waktu, tanpa malu-malu dan sedikit belagu.

“Tentu saja tidak!” jawab saya ketus, melemparnya dengan tutup kakus. “Saya lebih percaya pada Dayang Sumbi.”

Mungkin karena terbiasa dengan sikap saya yang demikian, dia hanya tersenyum, menangkis lemparan tutup kakus saya dengan tutup drum. “Bukan itu maksud pertanyaan saya. Tapi, apa kamu percaya dengan keberadaan mereka?”

Saya tertegun, berdiri terpaku di hadapannya dengan berbagai macam isi pikiran, berusaha menebak ke arah mana pembicaraan. “Saya percaya,” jawab saya setelah merasa yakin bahwa teman saya tidak main-main.

Tiba-tiba saja teman saya itu terbahak-bahak. Sangat keras. Keras sekali. Bahkan saya sampai perlu menutup kedua telinga dengan tutup kakus dan drum.

“HAHAHAHAHAHAHA!! Dan sundal bolong? Kamu percaya dengan adanya sundal bolong?”
Tanpa ragu saya menjawab, “Tentu saja! Saya pernah melihatnya di bioskop dan tivi. Tetangga saya pun pernah bercerita melihatnya di kebun jagung dekat kampung.”

Teman saya kembali terbahak-bahak, melambaikan tangannya meremehkan saya.

“Apa itu salah?” saya bertanya dengan pertanyaan paling bodoh sedunia.

“Tidak… tidak… bukan kamu yang salah,” katanya di sela tawa. “Fiuuhhh. Capek juga. Sudah begitu lama saya tidak tertawa seperti ini.”

Saat itulah saya benar-benar merasa tersinggung. Benar-benar tersinggung. Dia… telah menertawaan saya. Saya! Saya, yang selama ini… ditertawakan oleh dia. Dia! Dia, yang hanya…
Dengan langkah tegap tak berirama, saya dekati dia hingga jarak kami cukup dekat. Cukup dekat sehingga orang-orang yang melihat akan mengira kami sedang berhomo ria. “Kenapa kamu tertawa?” tanya saya dingin dengan tatapan menusuk. Tutup kakus dan tutup drum yang saya genggam saya sembunyikan di belakang punggung.

Teman saya terdiam sesaat. Kilatan matanya meredup menandakan penyesalan mendalam. “Sa… ya,” katanya terbata, “hanya tidak mengira… kamu yang memiliki intelegensi tinggi dan sombong itu ternyata… percaya mitos, legenda, dan mistik murahan.”

Akibatnya, “Daaannnggggggggggggg!” Saya gabungkan tutup kakus dan drum dengan kepala teman saya diantaranya.
-------------

Itulah awal dari keraguan saya terhadap keberadaan Sangkuriang dan sundal bolong. Juga akhir dari keberadaan teman saya itu yang berasal dari Malangbong. Satu persatu, apa yang sebelumya saya percaya, luluh lantah. Saya jadi menganggap bahwa segala hal yang belum pernah saya lihat secara langsung hanyalah mitos, legenda, dan mistik belaka. Dan percaya pada hal-hal demikian adalah dosa besar.

“Jadi, kamu ngga percaya dengan adanya… rektor kampus?” tanya teman saya nomor dua.

“Tentu saja tidak. Saya belum pernah melihatnya. Kamu juga kan? Dia adalah makhluk ghaib.” Saya lalu berdiri di meja kelas. “Kalian semua! Ada yang pernah melihat rektor?”

Semuanya tertegun, menggeleng.

“Tapi…,” kata seseorang yang saya tidak ingat siapa namanya, “desas-desusnya, memang ada rektor itu. Hanya saja, perlu waktu. Untuk bisa melihatnya, kita harus menyelesaikan kuliah dulu.”

“Mereka, yang pernah bertemu dan bersalaman dengan rektor, tak pernah lagi kembali ke kampus ini. Itu salah satu tanda bahwa rektor kampus adalah makhluk gaib,” saya menjelaskan dengan bijaksana.

Tanpa disangka-sangka, seseorang mengangkat tangan, yang ternyata perempuan cantik rupawan. “Saya setuju dengan kamu, bahwa sebenarnya rektor itu tidak pernah ada. Bahkan, di kampus tetangga, Unpad, rektornya benar-benar mistis. Sampai lulus pun para wisudawan tidak diperkenankan melihat dan menjabat tangannya. Hanya mereka, yang lulus cumlaude saja, yang diberi kesempatan.”

Agak mengembang dada ini, merasa mendapat dukungan dari si cantik itu. “Ehm. Nama kamu siapa?”

“Apalah artinya nama?” Dia balik bertanya, seperti seorang pujangga pernah berkata.

Saya turun dari meja dan mendekatinya. “Tentu besar artinya. Atau kamu ingin saya panggil ‘Eh’ dan kadang-kadang ‘Hei’?”

Si cantik tertunduk malu dan pura-pura membaca buku. Pada saat saya hendak mengajak dia makan siang, seorang teman yang ke sekian datang mengganggu tanpa diundang. Namanya Agus Suragus, anaknya Dadang Suradang.

“Bagaimana kabar Dadang, Gus? Anakmu itu sudah bisa berdiri?” tanya saya sekedar basa-basi.

“Plakkk!!” Dia menampar saya tiba-tiba. “Saya sudah melihatnya!”

“Siapa???”

“SBY!”

“Kamu…,” saya terbata, “Yakin? Sudah pegang dia?”

“Ya! Saya jabat tangannya. Kenyal berdaging dan keras bertulang. Bukan hantu, boneka, hollogram atau trik kamera seperti yang selama ini kamu bilang!”

Keyakinan saya mulai goyah. Saya melotot dan mencengkram kerah kemejanya. “Kamu tidak sedang mempermainkan saya kan?”

“Dalam masalah ini, saya tidak pernah bercanda. Bahkan, saya mendengar dia berbicara. Suaranya sama dengan suara manusia seperti kita. Hanya berlogat Jawa.”

“Plakkk!” saya tampar dia. “Jangan sembarangan menggunakan kata ‘kita’!!!” Lalu, saya pergi, membawa berbagai macam pertanyaan dan kebingungan.

Sampai hari kemarin, jawaban itu akhirnya saya peroleh. Minggu, 25 September 2005, Jakarta. Saya menghadiri resepsi pernikahan kawan lama. Orang nomor satu itu muncul ketika saya sedang menghabiskan bebek panggang dan kambing guling porsi ke tiga. Jarak kami hanya lima atau enam meter saja. Saya terpaku. Diakah orangnya, si RI-1? Tidak terkesan angker dan tak tercium bau menyan. Saya pun mendengar derap langkahnya yang menandakan orang itu bukan trik kamera atau hollogram.

Untuk memuaskan rasa penasaran, saya berlari mendekat dengan membawa dua tutup panci, menembus barisan Paspampres yang siap mati. Saya berhasil mendekatinya. Kata saya, “Jadi, elo yang namanya SBY?”

Dan memang benar, beliau SBY. Maka, "Daaaaaannnngggg!"

Mitos, Legenda dan Mistis

“Kamu percaya Sangkuriang?” Teman saya yang paling saya harapkan menghilang dari muka bumi itu bertanya sekali waktu, tanpa malu-malu dan sedikit belagu.

“Tentu saja tidak!” jawab saya ketus, melemparnya dengan tutup kakus. “Saya lebih percaya pada Dayang Sumbi.”

Mungkin karena terbiasa dengan sikap saya yang demikian, dia hanya tersenyum, menangkis lemparan tutup kakus saya dengan tutup drum. “Bukan itu maksud pertanyaan saya. Tapi, apa kamu percaya dengan keberadaan mereka?”

Saya tertegun, berdiri terpaku di hadapannya dengan berbagai macam isi pikiran, berusaha menebak ke arah mana pembicaraan. “Saya percaya,” jawab saya setelah merasa yakin bahwa teman saya tidak main-main.

Tiba-tiba saja teman saya itu terbahak-bahak. Sangat keras. Keras sekali. Bahkan saya sampai perlu menutup kedua telinga dengan tutup kakus dan drum.

“HAHAHAHAHAHAHA!! Dan sundal bolong? Kamu percaya dengan adanya sundal bolong?”
Tanpa ragu saya menjawab, “Tentu saja! Saya pernah melihatnya di bioskop dan tivi. Tetangga saya pun pernah bercerita melihatnya di kebun jagung dekat kampung.”

Teman saya kembali terbahak-bahak, melambaikan tangannya meremehkan saya.

“Apa itu salah?” saya bertanya dengan pertanyaan paling bodoh sedunia.

“Tidak… tidak… bukan kamu yang salah,” katanya di sela tawa. “Fiuuhhh. Capek juga. Sudah begitu lama saya tidak tertawa seperti ini.”

Saat itulah saya benar-benar merasa tersinggung. Benar-benar tersinggung. Dia… telah menertawaan saya. Saya! Saya, yang selama ini… ditertawakan oleh dia. Dia! Dia, yang hanya…
Dengan langkah tegap tak berirama, saya dekati dia hingga jarak kami cukup dekat. Cukup dekat sehingga orang-orang yang melihat akan mengira kami sedang berhomo ria. “Kenapa kamu tertawa?” tanya saya dingin dengan tatapan menusuk. Tutup kakus dan tutup drum yang saya genggam saya sembunyikan di belakang punggung.

Teman saya terdiam sesaat. Kilatan matanya meredup menandakan penyesalan mendalam. “Sa… ya,” katanya terbata, “hanya tidak mengira… kamu yang memiliki intelegensi tinggi dan sombong itu ternyata… percaya mitos, legenda, dan mistik murahan.”

Akibatnya, “Daaannnggggggggggggg!” Saya gabungkan tutup kakus dan drum dengan kepala teman saya diantaranya.
-------------

Itulah awal dari keraguan saya terhadap keberadaan Sangkuriang dan sundal bolong. Juga akhir dari keberadaan teman saya itu yang berasal dari Malangbong. Satu persatu, apa yang sebelumya saya percaya, luluh lantah. Saya jadi menganggap bahwa segala hal yang belum pernah saya lihat secara langsung hanyalah mitos, legenda, dan mistik belaka. Dan percaya pada hal-hal demikian adalah dosa besar.

“Jadi, kamu ngga percaya dengan adanya… rektor kampus?” tanya teman saya nomor dua.

“Tentu saja tidak. Saya belum pernah melihatnya. Kamu juga kan? Dia adalah makhluk ghaib.” Saya lalu berdiri di meja kelas. “Kalian semua! Ada yang pernah melihat rektor?”

Semuanya tertegun, menggeleng.

“Tapi…,” kata seseorang yang saya tidak ingat siapa namanya, “desas-desusnya, memang ada rektor itu. Hanya saja, perlu waktu. Untuk bisa melihatnya, kita harus menyelesaikan kuliah dulu.”

“Mereka, yang pernah bertemu dan bersalaman dengan rektor, tak pernah lagi kembali ke kampus ini. Itu salah satu tanda bahwa rektor kampus adalah makhluk gaib,” saya menjelaskan dengan bijaksana.

Tanpa disangka-sangka, seseorang mengangkat tangan, yang ternyata perempuan cantik rupawan. “Saya setuju dengan kamu, bahwa sebenarnya rektor itu tidak pernah ada. Bahkan, di kampus tetangga, Unpad, rektornya benar-benar mistis. Sampai lulus pun para wisudawan tidak diperkenankan melihat dan menjabat tangannya. Hanya mereka, yang lulus cumlaude saja, yang diberi kesempatan.”

Agak mengembang dada ini, merasa mendapat dukungan dari si cantik itu. “Ehm. Nama kamu siapa?”

“Apalah artinya nama?” Dia balik bertanya, seperti seorang pujangga pernah berkata.

Saya turun dari meja dan mendekatinya. “Tentu besar artinya. Atau kamu ingin saya panggil ‘Eh’ dan kadang-kadang ‘Hei’?”

Si cantik tertunduk malu dan pura-pura membaca buku. Pada saat saya hendak mengajak dia makan siang, seorang teman yang ke sekian datang mengganggu tanpa diundang. Namanya Agus Suragus, anaknya Dadang Suradang.

“Bagaimana kabar Dadang, Gus? Anakmu itu sudah bisa berdiri?” tanya saya sekedar basa-basi.

“Plakkk!!” Dia menampar saya tiba-tiba. “Saya sudah melihatnya!”

“Siapa???”

“SBY!”

“Kamu…,” saya terbata, “Yakin? Sudah pegang dia?”

“Ya! Saya jabat tangannya. Kenyal berdaging dan keras bertulang. Bukan hantu, boneka, hollogram atau trik kamera seperti yang selama ini kamu bilang!”

Keyakinan saya mulai goyah. Saya melotot dan mencengkram kerah kemejanya. “Kamu tidak sedang mempermainkan saya kan?”

“Dalam masalah ini, saya tidak pernah bercanda. Bahkan, saya mendengar dia berbicara. Suaranya sama dengan suara manusia seperti kita. Hanya berlogat Jawa.”

“Plakkk!” saya tampar dia. “Jangan sembarangan menggunakan kata ‘kita’!!!” Lalu, saya pergi, membawa berbagai macam pertanyaan dan kebingungan.

Sampai hari kemarin, jawaban itu akhirnya saya peroleh. Minggu, 25 September 2005, Jakarta. Saya menghadiri resepsi pernikahan kawan lama. Orang nomor satu itu muncul ketika saya sedang menghabiskan bebek panggang dan kambing guling porsi ke tiga. Jarak kami hanya lima atau enam meter saja. Saya terpaku. Diakah orangnya, si RI-1? Tidak terkesan angker dan tak tercium bau menyan. Saya pun mendengar derap langkahnya yang menandakan orang itu bukan trik kamera atau hollogram.

Untuk memuaskan rasa penasaran, saya berlari mendekat dengan membawa dua tutup panci, menembus barisan Paspampres yang siap mati. Saya berhasil mendekatinya. Kata saya, “Jadi, elo yang namanya SBY?”

Dan memang benar, beliau SBY. Maka, "Daaaaaannnngggg!"

Rabu, 14 September 2005

Kolam Spirtus

Terlalu menyedihkan rasanya setiap kali orang yang sangat istimewa bagi kita akan pergi jauh. Apalagi, bagi saya yang masih menganggap bahwa surat, kabel, sinyal GSM, CDMA ataupun GPRS belum mampu menggantikan kehadiran dan suara sang teristimewa tersebut. Apalagi, argo pulsa yang bergerak cepat seperti kuda, bisa membuat gajian tanggal satu habis tanggal dua.

"Maksud kamu... kamu ngga bisa pacaran jarak jauh?" tiba-tiba teman saya yang, maaf, belum cukup umur itu bertanya.

"Apakah saya barusan mengatakan... kata 'pacaran'?" tanya saya tersinggung, menatapnya penuh nanar.

"Jadi... kamu sedih perempuan itu akan pergi?" tanya dia lagi, tidak sopan.

"Tentu saja! Apakah kamu pernah mendengar kata kesepian? Dan, sesuatu itu semakin berharga justru karena hilang, kan?" cerocos saya sambil mencengkram kerah kemejanya dan mendorongnya pada dinding.

Dengan kalem, teman saya itu menepiskan cengkraman saya. "Sampai kapan kamu akan terus kekanak-kanakan begini?"

Dikatai seperti itu, darah muda saya bergejolak ria. Jotosan pun terlepas dari tangan saya ke wajahnya yang, maaf, sangat berjerawat. Kemudian tendangan. Cekikan. Teman saya itu tidak juga membalas. Malah terus menyebut saya seperti anak kecil, bau kencur, abege dan anak kemarin sore. Hampir saja saya menceburkannya ke kolam bensin dan melemparkan korek api. Tapi, tiba-tiba saya sadar bahwa harga BBM saat ini sangat mahal.

"Puas?" tanya dia setelah saya berhenti menyiksanya.

Napas saya naik turun, karena capek dan emosi. "Kenapa? Kenapa kamu ngga berpihak pada saya?!"

Teman saya yang hidungnya mulai mimisan, menggeleng. "Saya berada di pihak kamu. Tapi, kamu bodoh!"

Darah saya naik lagi. "Bodoh? Kamu menyebut saya bodoh? Dengan IPe tiga koma alhamdulillah kamu menyebut saya bodoh?"

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka mata. Tidakkah kamu sadar, perempuan cantik ada di mana-mana? Bukan cuma dia!"

"..."

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka hati. Padahal, kamu bisa jatuh cinta kapan saja, di mana saja. Tidak terbatas dimensi ruang dan waktu."

"^...^"

"Ya. Kamu bodoh! Padahal kamu bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti."

"(^...^)"

"Ya. Kamu bodoh! Karena kamu memilih untuk berpura-pura mengerti dan tidak terluka."

Akhirnya, kesabaran saya habis juga. Saya cemplungkan saja dia ke kolam spirtus dan melemparkan sisa puntung rokok saya yang masih membara.

"Byaaarrrr."

Setelah memastikan tubuhnya hangus terbakar dan menjadi abu, saya pulang. Tapi justru di dalam kamar kata-katanya tadi kembali terngiang dan mulai saya pikirkan. Ah, saya sungguh bodoh! Padahal saya bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti.

"Memangnya, apa yang hendak kamu tawarkan pada dia?" tanya teman saya nomor dua, yang tiba-tiba muncul dari kolong kasur. "Kamu hanya seorang biasa, baik tingkah mau pun rupa. Kamu hanya seorang miskin yang sombong. Kamu memang lelaki baik-baik, tapi kamu tidak gentle. Kamu butuh waktu dua tahun untuk sekedar tahu nama lengkap perempuan itu dan membutuhkan setahun lagi untuk tahu kapan ulang tahunnya. Kamu membutuhkan waktu lama untuk tahu apa yang dia suka dan tidak. Bahkan sampai saat ini, yang kamu tahu hanyalah bagaimana membuat dia marah."

Pada teman yang satu ini, saya hanya bisa menunduk, membenarkan kata-katanya. "Kamu benar," desah saya. "Tapi..."

Teman nomor dua ini tiba-tiba menampar saya dengan keras. Plakk!

"Tapi apa???!!" bentaknya.

"Tapi..."

Sekali lagi beliau menampar saya. Bahkan dengan bonus tiga buah tendangan. "Tapi apa??? Cepat jawab, waktu saya tidak banyak!"

Saya menengadah dan memberanikan diri menatapnya. "Tapi... saya... cinta dia."

Akibat jawaban itu, saya menerima siksaan bertubi-tubi. Tendangan, jotosan, pitingan tak terhitung jumlahnya tanpa saya berani membalas. Hidung saya mimisan, kepala benjol, airmata berlinang, lidah saya kelu dan seluruh badan pegel linu.

"Jangan...!! Jangan sekali-kali kamu mengatakan kata itu!! Kamu... sungguh belum pantas!" kata beliau geram. Lalu beliau berbalik dan pergi, meninggalkan saya babak belur sendiri. Namun, beberapa detik kemudian teman saya nomor dua itu kembali dan berdiri di dekat pintu.

Katanya pelan, "Cinta itu bukan milik arjuna atau cleopatra. Tapi milik ayah-ibu atau kakek-nenek kita. Saat rambut mulai memutih, dan berjalan mulai tertatih, barulah cinta sudah lulus teruji. Dan yang dipertengkarkan hanyalah... siapa yang lebih mencintai siapa."

Kali ini, beliau pergi dan benar-benar tidak pernah kembali. Ah, teman saya yang satu itu, selalu saja membuat saya tenggelam dalam ketidakmengertian.





(suatu ketika di kosan, saat mengantri mandi)
(untuk teman-teman saya yang sudah dan berencana menikah)




Kolam Spirtus

Terlalu menyedihkan rasanya setiap kali orang yang sangat istimewa bagi kita akan pergi jauh. Apalagi, bagi saya yang masih menganggap bahwa surat, kabel, sinyal GSM, CDMA ataupun GPRS belum mampu menggantikan kehadiran dan suara sang teristimewa tersebut. Apalagi, argo pulsa yang bergerak cepat seperti kuda, bisa membuat gajian tanggal satu habis tanggal dua.

"Maksud kamu... kamu ngga bisa pacaran jarak jauh?" tiba-tiba teman saya yang, maaf, belum cukup umur itu bertanya.

"Apakah saya barusan mengatakan... kata 'pacaran'?" tanya saya tersinggung, menatapnya penuh nanar.

"Jadi... kamu sedih perempuan itu akan pergi?" tanya dia lagi, tidak sopan.

"Tentu saja! Apakah kamu pernah mendengar kata kesepian? Dan, sesuatu itu semakin berharga justru karena hilang, kan?" cerocos saya sambil mencengkram kerah kemejanya dan mendorongnya pada dinding.

Dengan kalem, teman saya itu menepiskan cengkraman saya. "Sampai kapan kamu akan terus kekanak-kanakan begini?"

Dikatai seperti itu, darah muda saya bergejolak ria. Jotosan pun terlepas dari tangan saya ke wajahnya yang, maaf, sangat berjerawat. Kemudian tendangan. Cekikan. Teman saya itu tidak juga membalas. Malah terus menyebut saya seperti anak kecil, bau kencur, abege dan anak kemarin sore. Hampir saja saya menceburkannya ke kolam bensin dan melemparkan korek api. Tapi, tiba-tiba saya sadar bahwa harga BBM saat ini sangat mahal.

"Puas?" tanya dia setelah saya berhenti menyiksanya.

Napas saya naik turun, karena capek dan emosi. "Kenapa? Kenapa kamu ngga berpihak pada saya?!"

Teman saya yang hidungnya mulai mimisan, menggeleng. "Saya berada di pihak kamu. Tapi, kamu bodoh!"

Darah saya naik lagi. "Bodoh? Kamu menyebut saya bodoh? Dengan IPe tiga koma alhamdulillah kamu menyebut saya bodoh?"

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka mata. Tidakkah kamu sadar, perempuan cantik ada di mana-mana? Bukan cuma dia!"

"..."

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka hati. Padahal, kamu bisa jatuh cinta kapan saja, di mana saja. Tidak terbatas dimensi ruang dan waktu."

"^...^"

"Ya. Kamu bodoh! Padahal kamu bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti."

"(^...^)"

"Ya. Kamu bodoh! Karena kamu memilih untuk berpura-pura mengerti dan tidak terluka."

Akhirnya, kesabaran saya habis juga. Saya cemplungkan saja dia ke kolam spirtus dan melemparkan sisa puntung rokok saya yang masih membara.

"Byaaarrrr."

Setelah memastikan tubuhnya hangus terbakar dan menjadi abu, saya pulang. Tapi justru di dalam kamar kata-katanya tadi kembali terngiang dan mulai saya pikirkan. Ah, saya sungguh bodoh! Padahal saya bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti.

"Memangnya, apa yang hendak kamu tawarkan pada dia?" tanya teman saya nomor dua, yang tiba-tiba muncul dari kolong kasur. "Kamu hanya seorang biasa, baik tingkah mau pun rupa. Kamu hanya seorang miskin yang sombong. Kamu memang lelaki baik-baik, tapi kamu tidak gentle. Kamu butuh waktu dua tahun untuk sekedar tahu nama lengkap perempuan itu dan membutuhkan setahun lagi untuk tahu kapan ulang tahunnya. Kamu membutuhkan waktu lama untuk tahu apa yang dia suka dan tidak. Bahkan sampai saat ini, yang kamu tahu hanyalah bagaimana membuat dia marah."

Pada teman yang satu ini, saya hanya bisa menunduk, membenarkan kata-katanya. "Kamu benar," desah saya. "Tapi..."

Teman nomor dua ini tiba-tiba menampar saya dengan keras. Plakk!

"Tapi apa???!!" bentaknya.

"Tapi..."

Sekali lagi beliau menampar saya. Bahkan dengan bonus tiga buah tendangan. "Tapi apa??? Cepat jawab, waktu saya tidak banyak!"

Saya menengadah dan memberanikan diri menatapnya. "Tapi... saya... cinta dia."

Akibat jawaban itu, saya menerima siksaan bertubi-tubi. Tendangan, jotosan, pitingan tak terhitung jumlahnya tanpa saya berani membalas. Hidung saya mimisan, kepala benjol, airmata berlinang, lidah saya kelu dan seluruh badan pegel linu.

"Jangan...!! Jangan sekali-kali kamu mengatakan kata itu!! Kamu... sungguh belum pantas!" kata beliau geram. Lalu beliau berbalik dan pergi, meninggalkan saya babak belur sendiri. Namun, beberapa detik kemudian teman saya nomor dua itu kembali dan berdiri di dekat pintu.

Katanya pelan, "Cinta itu bukan milik arjuna atau cleopatra. Tapi milik ayah-ibu atau kakek-nenek kita. Saat rambut mulai memutih, dan berjalan mulai tertatih, barulah cinta sudah lulus teruji. Dan yang dipertengkarkan hanyalah... siapa yang lebih mencintai siapa."

Kali ini, beliau pergi dan benar-benar tidak pernah kembali. Ah, teman saya yang satu itu, selalu saja membuat saya tenggelam dalam ketidakmengertian.





(suatu ketika di kosan, saat mengantri mandi)
(untuk teman-teman saya yang sudah dan berencana menikah)




Jumat, 19 Agustus 2005

things

Terlalu banyak hal yang terjadi dalam dua bulan terakhr ini. Saya juga terlalu sombong untuk sekedar membagi itu semua dalam blog ini
'ah, yang bacanya dikit, kok', kata teman saya.
'ngaku aja, males gitu,' kata teman saya yang ke dua.
Oke. Saya akui. Karena kalimat teman saya yang ke dualah yang benar. Saya agak malas mengisi blog ini. Kenapa? Karena yang bacanya di... Tapi, malam ini saya ingin menyombongkan beberapa hal.
PERTAMA
always, Laila sudah memasuki cetakan ke enam. Syukur, ya Allah. Dan terimakasih sebesar-besarnya untuk semua yang sudah membantu dan membeli. Khususon bagi mereka yang membeli. Apalagi, buat para pembeli yang setelah baca novel itu langsung membakarnya dan... beli lagi.
KEDUA
Sejak sebulan lalu saya resmi menjadi karyawan PT. Dirgantara Indonesia sebagai Junior Engineer. Sekali lagi, syukur, ya Allah. Dan keluarga tercinta yang sudah mendoakan. Mamah, Bapak... anakmu akhirnya tidak lagi dagaNga angGur.
Ada hal yang lucu sewaktu proses interview. Seorang interviewer bertanya tentang profesi saya sebelumnya. Saya jawab bahwa saya menulis novel. Seorang interviewer yang lain menimbrung, 'anak saya punya novel kamu'.
Dunia di sekitar saya menjadi berubah. Di mana-mana cuma bapak-bapak dan sedikit ibu-ibu yang kelihatan. Memang, ada juga 'gadis-gadis' di sana, tapi jumlahnya kurang dari lima atau enam. Yang jomblonya cuma dua. Dan itu pun sedang diperebutkan oleh dua ratus bujangan dan tigapuluh empat duda.
KETIGA
Novel ke-2 saya belum selesai-selesai juga. Selalu ada cobaan yang ganggu. Teori saya tentang 'ketika penulis jatuh miskin' mungkin akan diaplikasikan lagi dalam beberapa hari ini.
TERAKHIR
Saya sedang jatuh cinta. Tapi saya tidak akan mengatakan jatuh cinta pada siapa di blog ini. Malu, gila! Akan terlalu banyak orang yang akan tahu.
'ah, yang baca blog ini dikit, kok', kata teman saya.
'bener juga, sih,' aku saya. 'tapi saya malu.'
'makanya, pake celana biar ga malu.'
Saya pun menuruti nasihat dia, memakai celana. Dan ajaibnya, saya lebih percaya diri dan tidak malu lagi. Baiklah, akan saya tunjukkan kepada siapa saya sedang jatuh cinta. Dia.

things

Terlalu banyak hal yang terjadi dalam dua bulan terakhr ini. Saya juga terlalu sombong untuk sekedar membagi itu semua dalam blog ini
'ah, yang bacanya dikit, kok', kata teman saya.
'ngaku aja, males gitu,' kata teman saya yang ke dua.
Oke. Saya akui. Karena kalimat teman saya yang ke dualah yang benar. Saya agak malas mengisi blog ini. Kenapa? Karena yang bacanya di... Tapi, malam ini saya ingin menyombongkan beberapa hal.
PERTAMA
always, Laila sudah memasuki cetakan ke enam. Syukur, ya Allah. Dan terimakasih sebesar-besarnya untuk semua yang sudah membantu dan membeli. Khususon bagi mereka yang membeli. Apalagi, buat para pembeli yang setelah baca novel itu langsung membakarnya dan... beli lagi.
KEDUA
Sejak sebulan lalu saya resmi menjadi karyawan PT. Dirgantara Indonesia sebagai Junior Engineer. Sekali lagi, syukur, ya Allah. Dan keluarga tercinta yang sudah mendoakan. Mamah, Bapak... anakmu akhirnya tidak lagi dagaNga angGur.
Ada hal yang lucu sewaktu proses interview. Seorang interviewer bertanya tentang profesi saya sebelumnya. Saya jawab bahwa saya menulis novel. Seorang interviewer yang lain menimbrung, 'anak saya punya novel kamu'.
Dunia di sekitar saya menjadi berubah. Di mana-mana cuma bapak-bapak dan sedikit ibu-ibu yang kelihatan. Memang, ada juga 'gadis-gadis' di sana, tapi jumlahnya kurang dari lima atau enam. Yang jomblonya cuma dua. Dan itu pun sedang diperebutkan oleh dua ratus bujangan dan tigapuluh empat duda.
KETIGA
Novel ke-2 saya belum selesai-selesai juga. Selalu ada cobaan yang ganggu. Teori saya tentang 'ketika penulis jatuh miskin' mungkin akan diaplikasikan lagi dalam beberapa hari ini.
TERAKHIR
Saya sedang jatuh cinta. Tapi saya tidak akan mengatakan jatuh cinta pada siapa di blog ini. Malu, gila! Akan terlalu banyak orang yang akan tahu.
'ah, yang baca blog ini dikit, kok', kata teman saya.
'bener juga, sih,' aku saya. 'tapi saya malu.'
'makanya, pake celana biar ga malu.'
Saya pun menuruti nasihat dia, memakai celana. Dan ajaibnya, saya lebih percaya diri dan tidak malu lagi. Baiklah, akan saya tunjukkan kepada siapa saya sedang jatuh cinta. Dia.

Kamis, 11 Agustus 2005

temu wicara always, Laila

Atrium Istana Plaza Bandung
Minggu, 14 Agustus 2005
Jam 16.30 - selesei
Moderator : Anjar (Beraja, Kidung, Tiga)

Silakan datang, maki dan tendang...

temu wicara always, Laila

Atrium Istana Plaza Bandung
Minggu, 14 Agustus 2005
Jam 16.30 - selesei
Moderator : Anjar (Beraja, Kidung, Tiga)

Silakan datang, maki dan tendang...

Senin, 06 Juni 2005

Ngobrol Bareng Penulis-penulis GagasMedia

Ayo... rame-rame datang, ketemu, protes, kasih kritik, saran dan ngobrol bareng penulis-penulis GagasMedia.
Hari : Sabtu, Minggu
Tanggal : 11, 12, 18, 19, 25 dan 26 Juni
Pukul : 16.00 s.d 17.30 WIB
Tempat : Toko Buku Gunung Agung Ciwalk, Bandung
Jadwal pembicara :
1. Sabtu, 11 Juni : Andi Eriawan (always, Laila)
2. Minggu, 12 Juni : Danni Junus (ei to zie)
3. Sabtu, 18 Juni : Icha Rahmanti (Beauty Case, Cintapuccino)
4. Minggu, 19 Juni : Harry Haryanto (Empat Cowok Mencari Cinte)
5. Sabtu, 25 Juni : Wisnu Wage (Katakan Cinta (mu))
6. Minggu, 26 Juni : Bangsal 13 (F.X. Rudy Gunawan)

Ngobrol Bareng Penulis-penulis GagasMedia

Ayo... rame-rame datang, ketemu, protes, kasih kritik, saran dan ngobrol bareng penulis-penulis GagasMedia.
Hari : Sabtu, Minggu
Tanggal : 11, 12, 18, 19, 25 dan 26 Juni
Pukul : 16.00 s.d 17.30 WIB
Tempat : Toko Buku Gunung Agung Ciwalk, Bandung
Jadwal pembicara :
1. Sabtu, 11 Juni : Andi Eriawan (always, Laila)
2. Minggu, 12 Juni : Danni Junus (ei to zie)
3. Sabtu, 18 Juni : Icha Rahmanti (Beauty Case, Cintapuccino)
4. Minggu, 19 Juni : Harry Haryanto (Empat Cowok Mencari Cinte)
5. Sabtu, 25 Juni : Wisnu Wage (Katakan Cinta (mu))
6. Minggu, 26 Juni : Bangsal 13 (F.X. Rudy Gunawan)

Jumat, 13 Mei 2005

Ketemu Artis

Dua minggu yang lalu saya mengantar seorang teman berinisial Z untuk mengikuti audisi sebuah film layar lebar di Jakarta. Seperti artis-artis beken lain, yang karirnya justru berawal "cuma nganter temen casting", dengan penuh harap, pengalaman akting nol, ongkos pergi tanpa pulang, kami berdua pun berangkat. Dollywood... We're comin!!

Untuk menghabiskan waktu selama di perjalanan, Z meminta saya menyusun speech saat beliau nanti mendapatkan piala Citra-nya untuk pertama kali. Tentu saja, saya menempatkan nama saya di urutan pertama ucapan terimakasih. Dia juga bilang bahwa menjadi bintang film akan membuka cita-citanya menjadi RI-1. Sebuah cita-cita yang agung!!

Sesampainya di sana, saya terheran-heran. Apa yang saya lihat berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya tentang sebuah tempat audisi. Dimana gadis-gadis ABG cantik nan seksi itu? Selidik-punya selidik, ternyata mereka sedang syuting sepertinya. Sedikit kecewa, saya duduk di ruang tamu, sementara teman saya mengikuti audisi di ruang yang lain.

Seorang perempuan berambut panjang masuk saat lima belas menit menjadi waktu yang menyebalkan untuk menunggu. Wajahnya lumayan cantik untuk seorang figuran atau calon bintang. Dia duduk di sebelah saya.

"Hai. Ikut audisi juga?" tanya saya.
Perempuan itu cuma senyum-senyum tidak jelas. "Nggak," jawabnya. "Aku baru balik syuting."
"Sinetron?"
"Bukan. Film."
"Pasti film pertama," tebak saya tanpa malu.
"Yang ke-empat."
"Ooooohhhh...."

Saya agak ragu-ragu. Semenit kemudian saya pandangi wajahnya dan mencoba mencocokkan dengan wajah-wajah artis di benak saya. Kemudian saya pun teringat pernah menonton salah satu filmnya. "Saya ingat. Kamu... Dina Sastro, kan?
"Bukan. Dian," selanya membetulkan.
"Iya. Dian maksud saya. Saya pernah nonton film kamu. Apa, ya... Mmmm... ABCD atau apalah. Pokoknya film ngga terkenal kan?"
"AADC," selanya lagi. Dan kali ini saya dapat menangkap mimik memusuhi di wajahnya.
"Maaf... saya ngga bermaksud...," kata saya mencoba memperbaiki sikap.
Kami berdua terdiam lagi beberapa menit. Suaranya yang cukup merdu memecah kesunyian. "Siapa namanya?"
"Saya?"
"Siapa lagi?"
"Saya datang dengan teman sa..."
"Maksudnya, nama kamu siapa?" tanyanya dengan kesal.
"Andi. Maaf... bercanda, Dian."
"Kamu ikut audisi?"
"Ngga. Cuma nganter. Ehm... saya penulis novel," kata saya sedikit memberi penekanan pada dua kata terakhir.
"Waahhh... novel? Saya suka sekali baca novel. Terutama novel-novel Indonesia yang ditulis penulis-penulis muda. Tunggu... biar saya tebak. Novel kamu... Jomblo?"
"Bukan."
"GMC?"
"Bukan."
"Mmmm... Lovely Luna?"
"Bu... kan."
"Waduh. Apa, dong... Playboy Kaleng?"
"Bukan. Novel saya... always, Laila," kata saya mulai sedikit kesal.
"Always... apa tadi?"
"Always, Laila."
"Oohhh..."
"Sudah pernah baca?"
Dian Sastro menggeleng. "Belum. Baru, ya?"
"Sudah terbit enam bulan dan cetakan ke-empat."
"Maaf. Saya belum baca. Malah belum pernah denger," katanya sambil pamit pergi.

Ketemu Artis

Dua minggu yang lalu saya mengantar seorang teman berinisial Z untuk mengikuti audisi sebuah film layar lebar di Jakarta. Seperti artis-artis beken lain, yang karirnya justru berawal "cuma nganter temen casting", dengan penuh harap, pengalaman akting nol, ongkos pergi tanpa pulang, kami berdua pun berangkat. Dollywood... We're comin!!

Untuk menghabiskan waktu selama di perjalanan, Z meminta saya menyusun speech saat beliau nanti mendapatkan piala Citra-nya untuk pertama kali. Tentu saja, saya menempatkan nama saya di urutan pertama ucapan terimakasih. Dia juga bilang bahwa menjadi bintang film akan membuka cita-citanya menjadi RI-1. Sebuah cita-cita yang agung!!

Sesampainya di sana, saya terheran-heran. Apa yang saya lihat berbeda dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya tentang sebuah tempat audisi. Dimana gadis-gadis ABG cantik nan seksi itu? Selidik-punya selidik, ternyata mereka sedang syuting sepertinya. Sedikit kecewa, saya duduk di ruang tamu, sementara teman saya mengikuti audisi di ruang yang lain.

Seorang perempuan berambut panjang masuk saat lima belas menit menjadi waktu yang menyebalkan untuk menunggu. Wajahnya lumayan cantik untuk seorang figuran atau calon bintang. Dia duduk di sebelah saya.

"Hai. Ikut audisi juga?" tanya saya.
Perempuan itu cuma senyum-senyum tidak jelas. "Nggak," jawabnya. "Aku baru balik syuting."
"Sinetron?"
"Bukan. Film."
"Pasti film pertama," tebak saya tanpa malu.
"Yang ke-empat."
"Ooooohhhh...."

Saya agak ragu-ragu. Semenit kemudian saya pandangi wajahnya dan mencoba mencocokkan dengan wajah-wajah artis di benak saya. Kemudian saya pun teringat pernah menonton salah satu filmnya. "Saya ingat. Kamu... Dina Sastro, kan?
"Bukan. Dian," selanya membetulkan.
"Iya. Dian maksud saya. Saya pernah nonton film kamu. Apa, ya... Mmmm... ABCD atau apalah. Pokoknya film ngga terkenal kan?"
"AADC," selanya lagi. Dan kali ini saya dapat menangkap mimik memusuhi di wajahnya.
"Maaf... saya ngga bermaksud...," kata saya mencoba memperbaiki sikap.
Kami berdua terdiam lagi beberapa menit. Suaranya yang cukup merdu memecah kesunyian. "Siapa namanya?"
"Saya?"
"Siapa lagi?"
"Saya datang dengan teman sa..."
"Maksudnya, nama kamu siapa?" tanyanya dengan kesal.
"Andi. Maaf... bercanda, Dian."
"Kamu ikut audisi?"
"Ngga. Cuma nganter. Ehm... saya penulis novel," kata saya sedikit memberi penekanan pada dua kata terakhir.
"Waahhh... novel? Saya suka sekali baca novel. Terutama novel-novel Indonesia yang ditulis penulis-penulis muda. Tunggu... biar saya tebak. Novel kamu... Jomblo?"
"Bukan."
"GMC?"
"Bukan."
"Mmmm... Lovely Luna?"
"Bu... kan."
"Waduh. Apa, dong... Playboy Kaleng?"
"Bukan. Novel saya... always, Laila," kata saya mulai sedikit kesal.
"Always... apa tadi?"
"Always, Laila."
"Oohhh..."
"Sudah pernah baca?"
Dian Sastro menggeleng. "Belum. Baru, ya?"
"Sudah terbit enam bulan dan cetakan ke-empat."
"Maaf. Saya belum baca. Malah belum pernah denger," katanya sambil pamit pergi.

Senin, 25 April 2005

abituari

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa.

Ah..., seharusnya saya tahu sejak awal, sejak tujuh bulan lalu. Seandainya saja saya mau membuka mata dan sedikit mengerti, saya mungkin dapat mencegahnya. Gejala-gejala itu. Cat yang terkelupas. Flip yang patah. Sinyal yang perlahan-lahan berubah menjadi putus-putus. Seharusnya segera saya bawa dia ke tempat service. Atau, saya simpan untuk dipensiunkan. Tapi, itu semua tidak saya lakukan.

Mungkin memang benar dia sangat berguna buat saya. Bahkan mereka pernah mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang serasi. Saya selalu membawanya ke mana saya pergi. Juga kamar mandi dan tempat-tempat suci. Saya hanya tertawa sinis sewaktu dengar apa yang mereka bilang, sambil melemparnya begitu saja ke atas ranjang.

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa. Mungkin karena saya sudah mendapatkan gantinya - yang tentu lebih baik.

abituari

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa.

Ah..., seharusnya saya tahu sejak awal, sejak tujuh bulan lalu. Seandainya saja saya mau membuka mata dan sedikit mengerti, saya mungkin dapat mencegahnya. Gejala-gejala itu. Cat yang terkelupas. Flip yang patah. Sinyal yang perlahan-lahan berubah menjadi putus-putus. Seharusnya segera saya bawa dia ke tempat service. Atau, saya simpan untuk dipensiunkan. Tapi, itu semua tidak saya lakukan.

Mungkin memang benar dia sangat berguna buat saya. Bahkan mereka pernah mengatakan bahwa kami adalah pasangan yang serasi. Saya selalu membawanya ke mana saya pergi. Juga kamar mandi dan tempat-tempat suci. Saya hanya tertawa sinis sewaktu dengar apa yang mereka bilang, sambil melemparnya begitu saja ke atas ranjang.

Telah pergi - di Rabu kelabu - handphone tercinta. Mungkin untuk selama-lamanya. Tapi, saya tidak menangis. Tidak bisa. Entah kenapa. Mungkin karena saya sudah mendapatkan gantinya - yang tentu lebih baik.

Selasa, 19 April 2005

Ketika Penulis...

jatuh miskin... maka dia tidak akan mampu untuk membalas sms-sms, keluyuran, nonton bioskop, pacaran, ngewarnet, pulang kampung, bayar hutang dan tentu saja: ngeborong dvd-dvd bajakan. Tapi, justru pada saat seperti itulah proses saya dalam menulis novel jadi berjalan lancar. Lah wong ora ono kerjaan lain...

Dua bulan yang lalu, seorang pembaca pernah mengirim sms dengan isi kurang lebih kayak gini: "MAS, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR."

Dalam hati saya, "Ngga tau apa kalo ngga ada pulsa, Neng!"
Malah hampir hangus nomer hp saya. Kalo kirim sms, sertakan pula dengan pulsa balasan...


Tapi saya jadi teringat kejadian enam bulan yang lalu. Waktu itu, saya kirim sms kepada Dian Sastro untuk meminta dia menulis paper back comment novel saya. Saya berhasil mendapatkan nomor hp si Cantik ini dari temannya - temannya teman saya. Tiga nomor Hp sekaligus!!! Dan saya pun mengirim sms ke ketiga-tiganya.

Selama dua hari saya menunggu balasan dengan manis dan manja di kos-an. Hari ke-tiga, belum juga saya terima. Saya mulai gelisah. Kalau duduk, pantat saya selalu harus digoyang-goyang. Kemudian diputuskanlah untuk mengirim sms lagi. Tapi tetap sama, sms saya tidak dibalas.

Akhirnya, pada malam itu juga saya sms lagi si Cinta ini dengan kata-kata: "MBA, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR!"


(atau jangan2... Dian Sastro lagi ngga punya pulsa juga?)

Ketika Penulis...

jatuh miskin... maka dia tidak akan mampu untuk membalas sms-sms, keluyuran, nonton bioskop, pacaran, ngewarnet, pulang kampung, bayar hutang dan tentu saja: ngeborong dvd-dvd bajakan. Tapi, justru pada saat seperti itulah proses saya dalam menulis novel jadi berjalan lancar. Lah wong ora ono kerjaan lain...

Dua bulan yang lalu, seorang pembaca pernah mengirim sms dengan isi kurang lebih kayak gini: "MAS, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR."

Dalam hati saya, "Ngga tau apa kalo ngga ada pulsa, Neng!"
Malah hampir hangus nomer hp saya. Kalo kirim sms, sertakan pula dengan pulsa balasan...


Tapi saya jadi teringat kejadian enam bulan yang lalu. Waktu itu, saya kirim sms kepada Dian Sastro untuk meminta dia menulis paper back comment novel saya. Saya berhasil mendapatkan nomor hp si Cantik ini dari temannya - temannya teman saya. Tiga nomor Hp sekaligus!!! Dan saya pun mengirim sms ke ketiga-tiganya.

Selama dua hari saya menunggu balasan dengan manis dan manja di kos-an. Hari ke-tiga, belum juga saya terima. Saya mulai gelisah. Kalau duduk, pantat saya selalu harus digoyang-goyang. Kemudian diputuskanlah untuk mengirim sms lagi. Tapi tetap sama, sms saya tidak dibalas.

Akhirnya, pada malam itu juga saya sms lagi si Cinta ini dengan kata-kata: "MBA, BALAS DONG SMS-SMS SAYA. HARGAI PENGGEMAR!"


(atau jangan2... Dian Sastro lagi ngga punya pulsa juga?)

cape

selama ini...
kubawa-bawa hatiku sendirian
berat tahu!
cape-cape kutata hati ini buat kamu
eh..., kamu berantakin lagi...

cape

selama ini...
kubawa-bawa hatiku sendirian
berat tahu!
cape-cape kutata hati ini buat kamu
eh..., kamu berantakin lagi...

Jumat, 15 April 2005

Literacy Workshop 2005

HIMANI-HIMAHI UNPAR PRESENT:

Literacy Workshop 2005
Books for Life: Feed your Mind and Soul

One-day writing workshop with authors, journalist and publishers.
Friday, 22nd April 20059.30 am - onwards
Common Room
Kyai Gede Utama 8, Bandung

Spokepersons:
Fransisca Dewi Ria Utari (journalist of Tempo)
Isman H Suryaman (editor: Advance Publisher, the author of Bertanya atau Mati)
Andi Eriawan (the author of Always Layla)

Fee: Rp. 30.000,-
(includes: snack, lunch,workshop kit and certificate)

Further information:
Himahi-Himani FISIP UNPAR
Osis-osis SMA
Yana: 08156102520
Novi: 08122079028
Ami: 08562187000
Tari: 08122170284

Limited seats!!!

Literacy Workshop 2005

HIMANI-HIMAHI UNPAR PRESENT:

Literacy Workshop 2005
Books for Life: Feed your Mind and Soul

One-day writing workshop with authors, journalist and publishers.
Friday, 22nd April 20059.30 am - onwards
Common Room
Kyai Gede Utama 8, Bandung

Spokepersons:
Fransisca Dewi Ria Utari (journalist of Tempo)
Isman H Suryaman (editor: Advance Publisher, the author of Bertanya atau Mati)
Andi Eriawan (the author of Always Layla)

Fee: Rp. 30.000,-
(includes: snack, lunch,workshop kit and certificate)

Further information:
Himahi-Himani FISIP UNPAR
Osis-osis SMA
Yana: 08156102520
Novi: 08122079028
Ami: 08562187000
Tari: 08122170284

Limited seats!!!

Selasa, 12 April 2005

The Name of the Rose: Book vs Movie


Membaca novel Umberto Eco: The Name of the Rose ini seperti membaca sebuah manuskrip tua zaman Mesir kuno. Kaga ngarti. Meski saya percaya bahwa si penulis memang seorang ahli semiotika kelas dunia... tapi plis dong... membacanya saja sulit. Setidaknya, dua teman saya yang sudah membacanya, dan saya yakini mereka memiliki intelejensia di atas rata-rata pun menyatakan hal yang serupa. Apalagi, terbit pula buku panduan bagaimana membaca The Name of the Rose.

Kalau begitu, apa yang sudah membuat novel ini terjual sampai 50 juta copy??

Menurut teman saya yang lain, sebut saja namanya U. Si U ini bilang, bahwa memusingkannya sebuah novel berbanding lurus dengan angka penjualannya. Dengan kata lain, semakin novel itu njelimet dan memusingkan pembaca, maka semakin laku novel tersebut. Lihat saja Supernova...:p

Tapi ternyata....

Setelah bulanan novel itu saya simpan sebagai pajangan, tanpa sengaja, minggu lalu saya temukan The Name of the Rose dalam versi film-nya. Diperankan dengan baik oleh Sean Connery dan Christian Slater, The Name of the Rose tidak lagi menjadi cerita njlimet dan memusingkan. Malahan, saya nilai bobot konflik cerita tidak berat sama sekali. Setidaknya, tidak saya temukan film panduan bagaimana menonton film The Name of the Rose...:p

The Name of the Rose: Book vs Movie


Membaca novel Umberto Eco: The Name of the Rose ini seperti membaca sebuah manuskrip tua zaman Mesir kuno. Kaga ngarti. Meski saya percaya bahwa si penulis memang seorang ahli semiotika kelas dunia... tapi plis dong... membacanya saja sulit. Setidaknya, dua teman saya yang sudah membacanya, dan saya yakini mereka memiliki intelejensia di atas rata-rata pun menyatakan hal yang serupa. Apalagi, terbit pula buku panduan bagaimana membaca The Name of the Rose.

Kalau begitu, apa yang sudah membuat novel ini terjual sampai 50 juta copy??

Menurut teman saya yang lain, sebut saja namanya U. Si U ini bilang, bahwa memusingkannya sebuah novel berbanding lurus dengan angka penjualannya. Dengan kata lain, semakin novel itu njelimet dan memusingkan pembaca, maka semakin laku novel tersebut. Lihat saja Supernova...:p

Tapi ternyata....

Setelah bulanan novel itu saya simpan sebagai pajangan, tanpa sengaja, minggu lalu saya temukan The Name of the Rose dalam versi film-nya. Diperankan dengan baik oleh Sean Connery dan Christian Slater, The Name of the Rose tidak lagi menjadi cerita njlimet dan memusingkan. Malahan, saya nilai bobot konflik cerita tidak berat sama sekali. Setidaknya, tidak saya temukan film panduan bagaimana menonton film The Name of the Rose...:p

Sabtu, 09 April 2005

My 1st...

Hari Selasa kemarin, saya ikut numpang acara workshop-nya Pondok Kreasi-Common Room di SMA 5 Bandung. Dengan mengambil tema bahwa "Menulis Itu Asik", kita bagi2 sharing pengalaman menulis sama anak2 sma. Ada beberapa pertanyaan yang agak sulit dijawab waktu itu. Salah satunya adalah, "Bagaimana antisipasinya kalau ide mentok?"
Semua kompak menyatakan bahwa hal itu hampir sering dialami semua orang, dan sulit mencari solusinya. Mungkin itu juga sebabnya kenapa diambil tema: "Menulis Itu Asik", bukan... "Menulis Itu Gampang"
Tapi gara2 acara itu, jadi teringat tulisan2 pertama saya, yang waktu itu masih merasa "Menulis Itu Asik". Ngga perlu EYD dan ngga perlu Editor. Waktu itu, saya baru kelas 2 SMA, sering menulis jurnal di luslif dan digilir untuk dibaca temen2 (ngga ada blog kalo dulu). Jurnal tentang kejadian di sekolah, yang kebanyakan lagi musim tawuran. Dan... waktu itu punya nama pena pula. Selamat Baca!
------------------------------
Bandung, 7 April 1997 (1)

Edan! Edan! Everybody was edan!
SMA 5 sedang mengalami masa-masa panas. Peristiwa-demi peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya adalah tragedi Underlamp (2). Hal negatif yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita masing-masing menghadapi suatu masalah dengan kepala dingin. Hanya karena salah paham, emosi dikobarkan. Hanya karena tatapan, mengapa darah harus ditumpahkan? Mengapa persatuan yang harus kita junjung, tecerai-berai di sekolah kita sendiri? Anjing teh, bagong pisan maneh! Goblok!
Bagaimana kita harus melawan seteru kita (3) kalau dalam diri sendiri kita harus berkobar. Bagaimana tanggung jawab kita pada Pak Supomo (4), orangtua, Pak Bahrudin (5)? Dan pada diri kita sendiri? Maukah kita dicap sebagai Pemuda Urakan Namun Kreatif (6)? Tidak adalah jawabannya. Setelah susah payah datang ke SMA 5, ada yang dari Cianjur, Jakarta, Surabaya, Brebes, Wonosobo, Ujungberung, tapi malah begini hasilnya. Tawuran. Pertengkaran. Permusuhan. Bagaimana mengenai BHINEKA TUNGGAL IKA? Bukankah sesama muslim adalah saudara maka damikanlah permusuhan saudaramu itu? Kendalikan emosi kalian, Bung! Ingat, Pemilu diambang pintu! Pergunakan hak pilih Saudara. Hal itu adalah bukti kepedulian terhadap negara! Jangan permasalahkan Irian Barat dan Timor Timur yang merupakan utopia yang basi! Pikirkan diri sendiri, tapi jangan egois. Sebab dalam pada itu terdapat hak-hak anak yatim, janda-janda tua dan para manula (7). Ingat, kita tinggal dua bulan lagi di kelas 2. Karena itu, puas-puaskanlah ke Bu Tata dan waktu sholatmu (8)! Hanya satu pesanku: Be your self in reality, don’t be another personality. Masih ada langit di atas langit. Masih ada gunung di balik gunung.

“dari suara hati yang tidak bersuara”
Notes:
(1) waktu itu kelas 2 sma, menjelang pemilu orba terakhir
(2) tempat nongkrong depan sma 5
(3) waktu itu lagi musuhan dengan SMA 2
(4) kepsek
(5) wali kelas
(6) PUNK
(7) lagi ngetren iklannya KH Zainudin, MZwaktu itu kelas 2 masuknya siang, jadi kalau mau bolos tinggal bilng mau solat, padahal ke kantin Bu Tata
Bandung, 11 April 1997
Gelo bangbang pispot! Akhirnya, meledak juga apa yang selama ini memanasi jiwa-jiwa yang tergadai!! Hal itu terjadi pada hari Selasa di Kantin Biru ujung, tempat mangkal keluarga buah-buahan (Toge dan Cau bersaudara, kelas tiga-red). Tokoh utama pada tragedi berbenjol itu mengalami kekalahan yang dilihat tinggi sebelah antara korban dan dan pelaku penamparan (sekitar 20 senti).
Sungguh saya merasa sedih, terharu, sengsara sekaligus bangga (naon, deuih!). Sungguh disayangkan, hal demikian harus terjadi. Perpecahan dan kesenjangan sosial sudah jelas-jelasnya hinggap di bumi parahyangn ini, khususnya SMA 5 yang katanya berdisiplin tinggi. Malahan… ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja memisahkan diri dari pergaulan kita. Seperti KASUS (nama kelas 2K-red)!!! Apa itu?? Bukankah kita sama-sama orang Indonesia? Lalu kenapa mesti muncul geng-geng yang katanya mempunya paham dan pandangan yang berbeda. Untung saja ada KECUTE (kelas saya-red), yang berani tampil beda tanpa malu-malu dan ngga tahu malu, yang berani membela yang CUTE dan melawan yang FUNKY dan COOL (naon, anjing teh!). Tapi saya simpati dengan apa yang mereka perjuangkan, yaitu menegakkan hak-hak orang boni. Apalagi sekarang ada peraturan baru yang malah dapat merangsang siswa bolos, yaitu Jum’at bersih (semakin tidak nyambung, Bung! Kita stop saja sampai di sini).
“dari suara hati yang tuli”
Bandung, 16 April 1997
Sekoah yang dirintis sudah bertahun-tahun, apakah harus hancur sekarang setelah mencapai titik akumulasi? Apalagi Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning” (Golkar-red) sedang giat-giatnya membangun kelas dan masjid baru. Sayang, sungguh sayang!! Masa persaudaraan yang tadinya begitu erat harus terpupus dan putus oleh generasi kita? Apa tega kita melihat tanah Belitung (nama jalan-red) bersimbah darah akibat peperangan antar saudara sependidikan?
Mungkin para pembaca bingung atas apa yang ditulis di atas. Tapi… ketahuilah! Belitung… di ambang perpecahan! (ayo baca 7 kali). Sungguh ironi, 2 sekolah (SMA 3 dan 5) yang dianggap panutan, teladan bagi sekolah-sekolah di Jawa Barat, bahkan Timor Timur, WC-nya bau dan jorok (eh, maaf… ini kritik buat yang suka pipis dan buat Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning”). Tapi, mohon kendalikan emosi kita bila mendengar selentingan yang bisa bikin mata melotot, telinga mendelik, jantung copot, lidah kelu, hati pilu, keringat bercucuran, ketombe dan belek berhamburan. Tahan! Salurkan emosi dan energi agar jangan terbuang. Bila ingin berkelahi, tahan!!! Jangan diumbar! Salurkan bakat dan minatmu ke tempatnya yang cocok, seperti beladiri. Bila ingin berteriak, tahan!! Jangan sampai meneriaki orang. Ikuti saja lomba adzan. Kalau menang dapat hadiah dan pahala. Bila ingin menangis, tahan!! Salurkan tangisanmu ke film India. Selain tidak sia-sia juga dapat uang. Apabila perpecahan terjadi jua, siapa yang harus dikambinghitamkan? Andi? Dia hitam, tapi bukan kambing. Atau Doni? Dia seperti kambing tapi tidak hitam. Apakah Akhmad? Akhmad hitam tapi buaya, bukan kambing. Apakah kita harus menunggu Idul Adha untuk mendapatkan kambing hitam? Tidak, Saudara!!! Jangan mengkambinghitamkan Andi hanya karena dia hitam. Jangan menghitamkan Doni hanya karena dia kambing. Jangan membuayahitamkan Akhmad hanya karena Akhmad buaya. Tapi kita harus bertakbir, karena Idul Adha sebentar lagi! Ingat, besok malam takbiran. Siapkan kopi karena kita akan begadang!
“dari teriakan hati”

My 1st...

Hari Selasa kemarin, saya ikut numpang acara workshop-nya Pondok Kreasi-Common Room di SMA 5 Bandung. Dengan mengambil tema bahwa "Menulis Itu Asik", kita bagi2 sharing pengalaman menulis sama anak2 sma. Ada beberapa pertanyaan yang agak sulit dijawab waktu itu. Salah satunya adalah, "Bagaimana antisipasinya kalau ide mentok?"
Semua kompak menyatakan bahwa hal itu hampir sering dialami semua orang, dan sulit mencari solusinya. Mungkin itu juga sebabnya kenapa diambil tema: "Menulis Itu Asik", bukan... "Menulis Itu Gampang"
Tapi gara2 acara itu, jadi teringat tulisan2 pertama saya, yang waktu itu masih merasa "Menulis Itu Asik". Ngga perlu EYD dan ngga perlu Editor. Waktu itu, saya baru kelas 2 SMA, sering menulis jurnal di luslif dan digilir untuk dibaca temen2 (ngga ada blog kalo dulu). Jurnal tentang kejadian di sekolah, yang kebanyakan lagi musim tawuran. Dan... waktu itu punya nama pena pula. Selamat Baca!
------------------------------
Bandung, 7 April 1997 (1)

Edan! Edan! Everybody was edan!
SMA 5 sedang mengalami masa-masa panas. Peristiwa-demi peristiwa yang tidak diharapkan terjadi. Contohnya adalah tragedi Underlamp (2). Hal negatif yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita masing-masing menghadapi suatu masalah dengan kepala dingin. Hanya karena salah paham, emosi dikobarkan. Hanya karena tatapan, mengapa darah harus ditumpahkan? Mengapa persatuan yang harus kita junjung, tecerai-berai di sekolah kita sendiri? Anjing teh, bagong pisan maneh! Goblok!
Bagaimana kita harus melawan seteru kita (3) kalau dalam diri sendiri kita harus berkobar. Bagaimana tanggung jawab kita pada Pak Supomo (4), orangtua, Pak Bahrudin (5)? Dan pada diri kita sendiri? Maukah kita dicap sebagai Pemuda Urakan Namun Kreatif (6)? Tidak adalah jawabannya. Setelah susah payah datang ke SMA 5, ada yang dari Cianjur, Jakarta, Surabaya, Brebes, Wonosobo, Ujungberung, tapi malah begini hasilnya. Tawuran. Pertengkaran. Permusuhan. Bagaimana mengenai BHINEKA TUNGGAL IKA? Bukankah sesama muslim adalah saudara maka damikanlah permusuhan saudaramu itu? Kendalikan emosi kalian, Bung! Ingat, Pemilu diambang pintu! Pergunakan hak pilih Saudara. Hal itu adalah bukti kepedulian terhadap negara! Jangan permasalahkan Irian Barat dan Timor Timur yang merupakan utopia yang basi! Pikirkan diri sendiri, tapi jangan egois. Sebab dalam pada itu terdapat hak-hak anak yatim, janda-janda tua dan para manula (7). Ingat, kita tinggal dua bulan lagi di kelas 2. Karena itu, puas-puaskanlah ke Bu Tata dan waktu sholatmu (8)! Hanya satu pesanku: Be your self in reality, don’t be another personality. Masih ada langit di atas langit. Masih ada gunung di balik gunung.

“dari suara hati yang tidak bersuara”
Notes:
(1) waktu itu kelas 2 sma, menjelang pemilu orba terakhir
(2) tempat nongkrong depan sma 5
(3) waktu itu lagi musuhan dengan SMA 2
(4) kepsek
(5) wali kelas
(6) PUNK
(7) lagi ngetren iklannya KH Zainudin, MZwaktu itu kelas 2 masuknya siang, jadi kalau mau bolos tinggal bilng mau solat, padahal ke kantin Bu Tata
Bandung, 11 April 1997
Gelo bangbang pispot! Akhirnya, meledak juga apa yang selama ini memanasi jiwa-jiwa yang tergadai!! Hal itu terjadi pada hari Selasa di Kantin Biru ujung, tempat mangkal keluarga buah-buahan (Toge dan Cau bersaudara, kelas tiga-red). Tokoh utama pada tragedi berbenjol itu mengalami kekalahan yang dilihat tinggi sebelah antara korban dan dan pelaku penamparan (sekitar 20 senti).
Sungguh saya merasa sedih, terharu, sengsara sekaligus bangga (naon, deuih!). Sungguh disayangkan, hal demikian harus terjadi. Perpecahan dan kesenjangan sosial sudah jelas-jelasnya hinggap di bumi parahyangn ini, khususnya SMA 5 yang katanya berdisiplin tinggi. Malahan… ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja memisahkan diri dari pergaulan kita. Seperti KASUS (nama kelas 2K-red)!!! Apa itu?? Bukankah kita sama-sama orang Indonesia? Lalu kenapa mesti muncul geng-geng yang katanya mempunya paham dan pandangan yang berbeda. Untung saja ada KECUTE (kelas saya-red), yang berani tampil beda tanpa malu-malu dan ngga tahu malu, yang berani membela yang CUTE dan melawan yang FUNKY dan COOL (naon, anjing teh!). Tapi saya simpati dengan apa yang mereka perjuangkan, yaitu menegakkan hak-hak orang boni. Apalagi sekarang ada peraturan baru yang malah dapat merangsang siswa bolos, yaitu Jum’at bersih (semakin tidak nyambung, Bung! Kita stop saja sampai di sini).
“dari suara hati yang tuli”
Bandung, 16 April 1997
Sekoah yang dirintis sudah bertahun-tahun, apakah harus hancur sekarang setelah mencapai titik akumulasi? Apalagi Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning” (Golkar-red) sedang giat-giatnya membangun kelas dan masjid baru. Sayang, sungguh sayang!! Masa persaudaraan yang tadinya begitu erat harus terpupus dan putus oleh generasi kita? Apa tega kita melihat tanah Belitung (nama jalan-red) bersimbah darah akibat peperangan antar saudara sependidikan?
Mungkin para pembaca bingung atas apa yang ditulis di atas. Tapi… ketahuilah! Belitung… di ambang perpecahan! (ayo baca 7 kali). Sungguh ironi, 2 sekolah (SMA 3 dan 5) yang dianggap panutan, teladan bagi sekolah-sekolah di Jawa Barat, bahkan Timor Timur, WC-nya bau dan jorok (eh, maaf… ini kritik buat yang suka pipis dan buat Pak Pomo dengan sponsornya “si kuning”). Tapi, mohon kendalikan emosi kita bila mendengar selentingan yang bisa bikin mata melotot, telinga mendelik, jantung copot, lidah kelu, hati pilu, keringat bercucuran, ketombe dan belek berhamburan. Tahan! Salurkan emosi dan energi agar jangan terbuang. Bila ingin berkelahi, tahan!!! Jangan diumbar! Salurkan bakat dan minatmu ke tempatnya yang cocok, seperti beladiri. Bila ingin berteriak, tahan!! Jangan sampai meneriaki orang. Ikuti saja lomba adzan. Kalau menang dapat hadiah dan pahala. Bila ingin menangis, tahan!! Salurkan tangisanmu ke film India. Selain tidak sia-sia juga dapat uang. Apabila perpecahan terjadi jua, siapa yang harus dikambinghitamkan? Andi? Dia hitam, tapi bukan kambing. Atau Doni? Dia seperti kambing tapi tidak hitam. Apakah Akhmad? Akhmad hitam tapi buaya, bukan kambing. Apakah kita harus menunggu Idul Adha untuk mendapatkan kambing hitam? Tidak, Saudara!!! Jangan mengkambinghitamkan Andi hanya karena dia hitam. Jangan menghitamkan Doni hanya karena dia kambing. Jangan membuayahitamkan Akhmad hanya karena Akhmad buaya. Tapi kita harus bertakbir, karena Idul Adha sebentar lagi! Ingat, besok malam takbiran. Siapkan kopi karena kita akan begadang!
“dari teriakan hati”

Kamis, 31 Maret 2005

rindu

ada yang merindukanmu
diantara derik jangkrik
tangis gerimis
dan senja yang manja

rindu

ada yang merindukanmu
diantara derik jangkrik
tangis gerimis
dan senja yang manja

always, Laila: a novel



Laila mengira telah berhasil menepiskan mimpi buruk kehidupan pribadinya, sampai datang sepucuk surat di hari ulang tahunnya yang ke duapuluh lima. Surat itu berisikan untaian kata dari seorang lelaki yang tengah terluka, marah dan berusaha keras menutupinya. Dan tanpa terduga, surat tersebut telah membuat Laila harus kembali menggali masa lalunya yang selama ini coba ia kubur. Masa-masa selama hampir sembilan tahun bersama Pram, lelaki yang telah membuat hari-harinya luar biasa.

Sambil melacak kembali jejak-jejak yang pernah mereka tinggalkan, Laila mulai menyadari tentang kebahagiaan utama dalam hidupnya yang harus ia raih. Dan kali ini, ia tak mau melepaskan kesempatan itu.


----------------------------------------

Awalnya pengen nulis cerita komedi romantis. Mungkin biar... penulisnya ngga sirik, jadilah endingnya seperti itu...:p

always, Laila: a novel



Laila mengira telah berhasil menepiskan mimpi buruk kehidupan pribadinya, sampai datang sepucuk surat di hari ulang tahunnya yang ke duapuluh lima. Surat itu berisikan untaian kata dari seorang lelaki yang tengah terluka, marah dan berusaha keras menutupinya. Dan tanpa terduga, surat tersebut telah membuat Laila harus kembali menggali masa lalunya yang selama ini coba ia kubur. Masa-masa selama hampir sembilan tahun bersama Pram, lelaki yang telah membuat hari-harinya luar biasa.

Sambil melacak kembali jejak-jejak yang pernah mereka tinggalkan, Laila mulai menyadari tentang kebahagiaan utama dalam hidupnya yang harus ia raih. Dan kali ini, ia tak mau melepaskan kesempatan itu.


----------------------------------------

Awalnya pengen nulis cerita komedi romantis. Mungkin biar... penulisnya ngga sirik, jadilah endingnya seperti itu...:p

Sabtu, 19 Maret 2005

flash of wind

“Kau seperti ilalang….
Walau dikelilingi batu sebesar apa pun
Kau tetap tumbuh melewati celah yang sempit
Dan aku…
Ingin menjadi angin,” katamu sekali waktu,
“Lalu terbang ke langit biru.”

Sepertinya, aku hanyalah rumput liar
yang memandang ke langit sambil berayun-ayun… selamanya
Tapi, itu sudah cukup.

“Kau memang seperti angin, tak pernah bisa aku pegang,” kataku.

Aku hanya rumput liar yang berayun dengan perasaan galau
tanpa bisa mengikuti angin yang bertiup kencang.


Kata mereka, “Dia itu angin, ya…
Kalau begitu, kau bisa menjadi rumput yang berayun lebih keras
dari lainnya kan?”

Angin pun punya warna dan bentuk
Saat rumput mulai berayun, kita tahu
bahwa di sana ada angin
Jika tak ada rumput
angin pun kehilangan dirinya

“Karena itu, kau harus berayun lebih keras…!”
Jadilah rumput yang memberitahukan angin,“Di sinilah tempatmu berada.“



---------------------

disadur dari komik Flash of Wind

flash of wind

“Kau seperti ilalang….
Walau dikelilingi batu sebesar apa pun
Kau tetap tumbuh melewati celah yang sempit
Dan aku…
Ingin menjadi angin,” katamu sekali waktu,
“Lalu terbang ke langit biru.”

Sepertinya, aku hanyalah rumput liar
yang memandang ke langit sambil berayun-ayun… selamanya
Tapi, itu sudah cukup.

“Kau memang seperti angin, tak pernah bisa aku pegang,” kataku.

Aku hanya rumput liar yang berayun dengan perasaan galau
tanpa bisa mengikuti angin yang bertiup kencang.


Kata mereka, “Dia itu angin, ya…
Kalau begitu, kau bisa menjadi rumput yang berayun lebih keras
dari lainnya kan?”

Angin pun punya warna dan bentuk
Saat rumput mulai berayun, kita tahu
bahwa di sana ada angin
Jika tak ada rumput
angin pun kehilangan dirinya

“Karena itu, kau harus berayun lebih keras…!”
Jadilah rumput yang memberitahukan angin,“Di sinilah tempatmu berada.“



---------------------

disadur dari komik Flash of Wind

Minggu, 13 Maret 2005

hujan

dan hujan pun takkan mampu mematahkan tekad untuk menemuimu
bahkan kita dapat menghitung bersama curahnya
lalu, sesekali cahaya kilat menyapa wajah kita
kau akan takut, mendekat dan sedikit merapat
setidaknya, aku merasa seorang jagoan untuk saat seperti itu...

hujan

dan hujan pun takkan mampu mematahkan tekad untuk menemuimu
bahkan kita dapat menghitung bersama curahnya
lalu, sesekali cahaya kilat menyapa wajah kita
kau akan takut, mendekat dan sedikit merapat
setidaknya, aku merasa seorang jagoan untuk saat seperti itu...