Kamis, 11 Juni 2009

Monyet!





Luar negeri itu begitu memikat, ya. Menawan hati sebagian besar orang. Dari mulai ingin kuliah, bekerja, sampai dipinang bule dan diboyong untuk tinggal di sana.

Di luar negeri itu, kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa. Begitulah cerita mereka sepulang dari luar negeri.

Lalu, bagaimana dengan saya?

Hmm.

Sejak menjelang kelulusan dulu, nyaris semua orang-orang terdekat menganjurkan saya untuk melanjutkan sekolah di luar. Luar negeri, bukan di luar rumah. Ada yang menganjurkan ke Belanda, Jepang, Jerman, sampai ke Korea. Korea bagian selatan, tentunya. Kalau yang di utara, itu bagi mereka yang hendak kuliah di akhirat. Atau menguji kekebalan tubuh.

Dengan gagahnya waktu itu saya menolak. Menampik. Bukan. Bukan karena takut ditolak oleh para calon pemberi beasiswa. Bukan pula karena TOEFL saya rendah (bahkan, saya belum pernah ikut test TOEFL). Dan meski kemungkinannya memang ditolak, tapi bukan karena itu.

Saya sendiri awalnya kebingungan. Seorang saya yang sejak kecil senang sekali menuntut ilmu, dan bercita-cita amat luhur, kenapa tidak tertarik untuk melanjutkan kuliah di luar negeri asing. Di kampus-kampus terbaik di dunia. Di negeri-negeri yang kotanya bagus. Bangunannya bagus-bagus. Jalannya rapi. Ah, tidak seperti Indonesia. Masyarakatnya pun tertib. Tidak ada yang buang sampah sembarangan. Dan teknologinya maju sekali. Pelayanan masyarakatnya pun luar biasa.

Kenapa, ya, saya tidak tertarik?

Kenapa?

Kenapa, wahai diri, kenapa?

Begitu saya bertanya-tanya dalam hati selama beberapa tahun ke belakang. Bertahun-tahun, lho. Lama, itu. Selama bertahun-tahun, saya memikirkan hanya itu dan itu saja. Yang lain tidak. Kamu juga tidak.

Dan, sampai saat ini pun, jawaban itu belum saya temukan. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa… tidak usahlah saya memikirkan hal yang tidak-tidak. Masih banyak hal lain dalam hidup yang harus dipikirkan benar-benar. Misalkan, bagaimana mengatasi masalah celana saya yang melorot semua akibat sukses berolahraga. Atau, lagu-lagu apa yang harus saya nyanyikan di acara karaoke mendatang. Atau, menyelesaikan perhitungan luas dan vektor normal persegi sembarang.




Ya. Mungkin karena saya begitu terikat dengan negeri ini, bumi dan manusianya.
(Aih. Indahnya gaung kata-kata itu.)




Bandung,
setengah jam menjelang
tengah malam
sehabis menyimak
mimpi seseorang









“Hindia adalah rimba belantara dan aku hanya salah satu dari jutaan monyetnya.”
[Minke]






9 komentar:

Monique mengatakan...

Maung Bandung ?

Anonymous mengatakan...

mimpi seseorang gurih dengan MSG - nya masing masing . celana .

Andi Eriawan mengatakan...

terlalu banyak MSG dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan...

Anonymous mengatakan...

semua yang terlalu banyak juga ber-epek sumping atuh

Ipal mengatakan...

Minke itu siapa kang? Knp dari sekian banyak makhluk rimba dia memilih jadi monyet?

Enno mengatakan...

kalo sinyo minke merasa jadi monyet, sinyo andi merasa jadi apa?

:P

Andi Eriawan mengatakan...

@Rival: kamu ngga tau minke? hati2 dilempar celana sama 'anonymous'..

@Enno: ah... maung bandung aja...

Nina Ardianti mengatakan...

maung bandung apa sih, kang Andi?
Eh, beneran, ga mau sekolah lagi (ke luar negeri?) huehuehu :D

Andi Eriawan mengatakan...

nina ga tau maung bandung yg langganan juara liga sepakbola indonesia itu???

*sekolah laginya ntar kalo indonesia dan malaysia udah berdamai*