Rabu, 28 September 2005

Mitos, Legenda dan Mistis

“Kamu percaya Sangkuriang?” Teman saya yang paling saya harapkan menghilang dari muka bumi itu bertanya sekali waktu, tanpa malu-malu dan sedikit belagu.

“Tentu saja tidak!” jawab saya ketus, melemparnya dengan tutup kakus. “Saya lebih percaya pada Dayang Sumbi.”

Mungkin karena terbiasa dengan sikap saya yang demikian, dia hanya tersenyum, menangkis lemparan tutup kakus saya dengan tutup drum. “Bukan itu maksud pertanyaan saya. Tapi, apa kamu percaya dengan keberadaan mereka?”

Saya tertegun, berdiri terpaku di hadapannya dengan berbagai macam isi pikiran, berusaha menebak ke arah mana pembicaraan. “Saya percaya,” jawab saya setelah merasa yakin bahwa teman saya tidak main-main.

Tiba-tiba saja teman saya itu terbahak-bahak. Sangat keras. Keras sekali. Bahkan saya sampai perlu menutup kedua telinga dengan tutup kakus dan drum.

“HAHAHAHAHAHAHA!! Dan sundal bolong? Kamu percaya dengan adanya sundal bolong?”
Tanpa ragu saya menjawab, “Tentu saja! Saya pernah melihatnya di bioskop dan tivi. Tetangga saya pun pernah bercerita melihatnya di kebun jagung dekat kampung.”

Teman saya kembali terbahak-bahak, melambaikan tangannya meremehkan saya.

“Apa itu salah?” saya bertanya dengan pertanyaan paling bodoh sedunia.

“Tidak… tidak… bukan kamu yang salah,” katanya di sela tawa. “Fiuuhhh. Capek juga. Sudah begitu lama saya tidak tertawa seperti ini.”

Saat itulah saya benar-benar merasa tersinggung. Benar-benar tersinggung. Dia… telah menertawaan saya. Saya! Saya, yang selama ini… ditertawakan oleh dia. Dia! Dia, yang hanya…
Dengan langkah tegap tak berirama, saya dekati dia hingga jarak kami cukup dekat. Cukup dekat sehingga orang-orang yang melihat akan mengira kami sedang berhomo ria. “Kenapa kamu tertawa?” tanya saya dingin dengan tatapan menusuk. Tutup kakus dan tutup drum yang saya genggam saya sembunyikan di belakang punggung.

Teman saya terdiam sesaat. Kilatan matanya meredup menandakan penyesalan mendalam. “Sa… ya,” katanya terbata, “hanya tidak mengira… kamu yang memiliki intelegensi tinggi dan sombong itu ternyata… percaya mitos, legenda, dan mistik murahan.”

Akibatnya, “Daaannnggggggggggggg!” Saya gabungkan tutup kakus dan drum dengan kepala teman saya diantaranya.
-------------

Itulah awal dari keraguan saya terhadap keberadaan Sangkuriang dan sundal bolong. Juga akhir dari keberadaan teman saya itu yang berasal dari Malangbong. Satu persatu, apa yang sebelumya saya percaya, luluh lantah. Saya jadi menganggap bahwa segala hal yang belum pernah saya lihat secara langsung hanyalah mitos, legenda, dan mistik belaka. Dan percaya pada hal-hal demikian adalah dosa besar.

“Jadi, kamu ngga percaya dengan adanya… rektor kampus?” tanya teman saya nomor dua.

“Tentu saja tidak. Saya belum pernah melihatnya. Kamu juga kan? Dia adalah makhluk ghaib.” Saya lalu berdiri di meja kelas. “Kalian semua! Ada yang pernah melihat rektor?”

Semuanya tertegun, menggeleng.

“Tapi…,” kata seseorang yang saya tidak ingat siapa namanya, “desas-desusnya, memang ada rektor itu. Hanya saja, perlu waktu. Untuk bisa melihatnya, kita harus menyelesaikan kuliah dulu.”

“Mereka, yang pernah bertemu dan bersalaman dengan rektor, tak pernah lagi kembali ke kampus ini. Itu salah satu tanda bahwa rektor kampus adalah makhluk gaib,” saya menjelaskan dengan bijaksana.

Tanpa disangka-sangka, seseorang mengangkat tangan, yang ternyata perempuan cantik rupawan. “Saya setuju dengan kamu, bahwa sebenarnya rektor itu tidak pernah ada. Bahkan, di kampus tetangga, Unpad, rektornya benar-benar mistis. Sampai lulus pun para wisudawan tidak diperkenankan melihat dan menjabat tangannya. Hanya mereka, yang lulus cumlaude saja, yang diberi kesempatan.”

Agak mengembang dada ini, merasa mendapat dukungan dari si cantik itu. “Ehm. Nama kamu siapa?”

“Apalah artinya nama?” Dia balik bertanya, seperti seorang pujangga pernah berkata.

Saya turun dari meja dan mendekatinya. “Tentu besar artinya. Atau kamu ingin saya panggil ‘Eh’ dan kadang-kadang ‘Hei’?”

Si cantik tertunduk malu dan pura-pura membaca buku. Pada saat saya hendak mengajak dia makan siang, seorang teman yang ke sekian datang mengganggu tanpa diundang. Namanya Agus Suragus, anaknya Dadang Suradang.

“Bagaimana kabar Dadang, Gus? Anakmu itu sudah bisa berdiri?” tanya saya sekedar basa-basi.

“Plakkk!!” Dia menampar saya tiba-tiba. “Saya sudah melihatnya!”

“Siapa???”

“SBY!”

“Kamu…,” saya terbata, “Yakin? Sudah pegang dia?”

“Ya! Saya jabat tangannya. Kenyal berdaging dan keras bertulang. Bukan hantu, boneka, hollogram atau trik kamera seperti yang selama ini kamu bilang!”

Keyakinan saya mulai goyah. Saya melotot dan mencengkram kerah kemejanya. “Kamu tidak sedang mempermainkan saya kan?”

“Dalam masalah ini, saya tidak pernah bercanda. Bahkan, saya mendengar dia berbicara. Suaranya sama dengan suara manusia seperti kita. Hanya berlogat Jawa.”

“Plakkk!” saya tampar dia. “Jangan sembarangan menggunakan kata ‘kita’!!!” Lalu, saya pergi, membawa berbagai macam pertanyaan dan kebingungan.

Sampai hari kemarin, jawaban itu akhirnya saya peroleh. Minggu, 25 September 2005, Jakarta. Saya menghadiri resepsi pernikahan kawan lama. Orang nomor satu itu muncul ketika saya sedang menghabiskan bebek panggang dan kambing guling porsi ke tiga. Jarak kami hanya lima atau enam meter saja. Saya terpaku. Diakah orangnya, si RI-1? Tidak terkesan angker dan tak tercium bau menyan. Saya pun mendengar derap langkahnya yang menandakan orang itu bukan trik kamera atau hollogram.

Untuk memuaskan rasa penasaran, saya berlari mendekat dengan membawa dua tutup panci, menembus barisan Paspampres yang siap mati. Saya berhasil mendekatinya. Kata saya, “Jadi, elo yang namanya SBY?”

Dan memang benar, beliau SBY. Maka, "Daaaaaannnngggg!"

Mitos, Legenda dan Mistis

“Kamu percaya Sangkuriang?” Teman saya yang paling saya harapkan menghilang dari muka bumi itu bertanya sekali waktu, tanpa malu-malu dan sedikit belagu.

“Tentu saja tidak!” jawab saya ketus, melemparnya dengan tutup kakus. “Saya lebih percaya pada Dayang Sumbi.”

Mungkin karena terbiasa dengan sikap saya yang demikian, dia hanya tersenyum, menangkis lemparan tutup kakus saya dengan tutup drum. “Bukan itu maksud pertanyaan saya. Tapi, apa kamu percaya dengan keberadaan mereka?”

Saya tertegun, berdiri terpaku di hadapannya dengan berbagai macam isi pikiran, berusaha menebak ke arah mana pembicaraan. “Saya percaya,” jawab saya setelah merasa yakin bahwa teman saya tidak main-main.

Tiba-tiba saja teman saya itu terbahak-bahak. Sangat keras. Keras sekali. Bahkan saya sampai perlu menutup kedua telinga dengan tutup kakus dan drum.

“HAHAHAHAHAHAHA!! Dan sundal bolong? Kamu percaya dengan adanya sundal bolong?”
Tanpa ragu saya menjawab, “Tentu saja! Saya pernah melihatnya di bioskop dan tivi. Tetangga saya pun pernah bercerita melihatnya di kebun jagung dekat kampung.”

Teman saya kembali terbahak-bahak, melambaikan tangannya meremehkan saya.

“Apa itu salah?” saya bertanya dengan pertanyaan paling bodoh sedunia.

“Tidak… tidak… bukan kamu yang salah,” katanya di sela tawa. “Fiuuhhh. Capek juga. Sudah begitu lama saya tidak tertawa seperti ini.”

Saat itulah saya benar-benar merasa tersinggung. Benar-benar tersinggung. Dia… telah menertawaan saya. Saya! Saya, yang selama ini… ditertawakan oleh dia. Dia! Dia, yang hanya…
Dengan langkah tegap tak berirama, saya dekati dia hingga jarak kami cukup dekat. Cukup dekat sehingga orang-orang yang melihat akan mengira kami sedang berhomo ria. “Kenapa kamu tertawa?” tanya saya dingin dengan tatapan menusuk. Tutup kakus dan tutup drum yang saya genggam saya sembunyikan di belakang punggung.

Teman saya terdiam sesaat. Kilatan matanya meredup menandakan penyesalan mendalam. “Sa… ya,” katanya terbata, “hanya tidak mengira… kamu yang memiliki intelegensi tinggi dan sombong itu ternyata… percaya mitos, legenda, dan mistik murahan.”

Akibatnya, “Daaannnggggggggggggg!” Saya gabungkan tutup kakus dan drum dengan kepala teman saya diantaranya.
-------------

Itulah awal dari keraguan saya terhadap keberadaan Sangkuriang dan sundal bolong. Juga akhir dari keberadaan teman saya itu yang berasal dari Malangbong. Satu persatu, apa yang sebelumya saya percaya, luluh lantah. Saya jadi menganggap bahwa segala hal yang belum pernah saya lihat secara langsung hanyalah mitos, legenda, dan mistik belaka. Dan percaya pada hal-hal demikian adalah dosa besar.

“Jadi, kamu ngga percaya dengan adanya… rektor kampus?” tanya teman saya nomor dua.

“Tentu saja tidak. Saya belum pernah melihatnya. Kamu juga kan? Dia adalah makhluk ghaib.” Saya lalu berdiri di meja kelas. “Kalian semua! Ada yang pernah melihat rektor?”

Semuanya tertegun, menggeleng.

“Tapi…,” kata seseorang yang saya tidak ingat siapa namanya, “desas-desusnya, memang ada rektor itu. Hanya saja, perlu waktu. Untuk bisa melihatnya, kita harus menyelesaikan kuliah dulu.”

“Mereka, yang pernah bertemu dan bersalaman dengan rektor, tak pernah lagi kembali ke kampus ini. Itu salah satu tanda bahwa rektor kampus adalah makhluk gaib,” saya menjelaskan dengan bijaksana.

Tanpa disangka-sangka, seseorang mengangkat tangan, yang ternyata perempuan cantik rupawan. “Saya setuju dengan kamu, bahwa sebenarnya rektor itu tidak pernah ada. Bahkan, di kampus tetangga, Unpad, rektornya benar-benar mistis. Sampai lulus pun para wisudawan tidak diperkenankan melihat dan menjabat tangannya. Hanya mereka, yang lulus cumlaude saja, yang diberi kesempatan.”

Agak mengembang dada ini, merasa mendapat dukungan dari si cantik itu. “Ehm. Nama kamu siapa?”

“Apalah artinya nama?” Dia balik bertanya, seperti seorang pujangga pernah berkata.

Saya turun dari meja dan mendekatinya. “Tentu besar artinya. Atau kamu ingin saya panggil ‘Eh’ dan kadang-kadang ‘Hei’?”

Si cantik tertunduk malu dan pura-pura membaca buku. Pada saat saya hendak mengajak dia makan siang, seorang teman yang ke sekian datang mengganggu tanpa diundang. Namanya Agus Suragus, anaknya Dadang Suradang.

“Bagaimana kabar Dadang, Gus? Anakmu itu sudah bisa berdiri?” tanya saya sekedar basa-basi.

“Plakkk!!” Dia menampar saya tiba-tiba. “Saya sudah melihatnya!”

“Siapa???”

“SBY!”

“Kamu…,” saya terbata, “Yakin? Sudah pegang dia?”

“Ya! Saya jabat tangannya. Kenyal berdaging dan keras bertulang. Bukan hantu, boneka, hollogram atau trik kamera seperti yang selama ini kamu bilang!”

Keyakinan saya mulai goyah. Saya melotot dan mencengkram kerah kemejanya. “Kamu tidak sedang mempermainkan saya kan?”

“Dalam masalah ini, saya tidak pernah bercanda. Bahkan, saya mendengar dia berbicara. Suaranya sama dengan suara manusia seperti kita. Hanya berlogat Jawa.”

“Plakkk!” saya tampar dia. “Jangan sembarangan menggunakan kata ‘kita’!!!” Lalu, saya pergi, membawa berbagai macam pertanyaan dan kebingungan.

Sampai hari kemarin, jawaban itu akhirnya saya peroleh. Minggu, 25 September 2005, Jakarta. Saya menghadiri resepsi pernikahan kawan lama. Orang nomor satu itu muncul ketika saya sedang menghabiskan bebek panggang dan kambing guling porsi ke tiga. Jarak kami hanya lima atau enam meter saja. Saya terpaku. Diakah orangnya, si RI-1? Tidak terkesan angker dan tak tercium bau menyan. Saya pun mendengar derap langkahnya yang menandakan orang itu bukan trik kamera atau hollogram.

Untuk memuaskan rasa penasaran, saya berlari mendekat dengan membawa dua tutup panci, menembus barisan Paspampres yang siap mati. Saya berhasil mendekatinya. Kata saya, “Jadi, elo yang namanya SBY?”

Dan memang benar, beliau SBY. Maka, "Daaaaaannnngggg!"

Rabu, 14 September 2005

Kolam Spirtus

Terlalu menyedihkan rasanya setiap kali orang yang sangat istimewa bagi kita akan pergi jauh. Apalagi, bagi saya yang masih menganggap bahwa surat, kabel, sinyal GSM, CDMA ataupun GPRS belum mampu menggantikan kehadiran dan suara sang teristimewa tersebut. Apalagi, argo pulsa yang bergerak cepat seperti kuda, bisa membuat gajian tanggal satu habis tanggal dua.

"Maksud kamu... kamu ngga bisa pacaran jarak jauh?" tiba-tiba teman saya yang, maaf, belum cukup umur itu bertanya.

"Apakah saya barusan mengatakan... kata 'pacaran'?" tanya saya tersinggung, menatapnya penuh nanar.

"Jadi... kamu sedih perempuan itu akan pergi?" tanya dia lagi, tidak sopan.

"Tentu saja! Apakah kamu pernah mendengar kata kesepian? Dan, sesuatu itu semakin berharga justru karena hilang, kan?" cerocos saya sambil mencengkram kerah kemejanya dan mendorongnya pada dinding.

Dengan kalem, teman saya itu menepiskan cengkraman saya. "Sampai kapan kamu akan terus kekanak-kanakan begini?"

Dikatai seperti itu, darah muda saya bergejolak ria. Jotosan pun terlepas dari tangan saya ke wajahnya yang, maaf, sangat berjerawat. Kemudian tendangan. Cekikan. Teman saya itu tidak juga membalas. Malah terus menyebut saya seperti anak kecil, bau kencur, abege dan anak kemarin sore. Hampir saja saya menceburkannya ke kolam bensin dan melemparkan korek api. Tapi, tiba-tiba saya sadar bahwa harga BBM saat ini sangat mahal.

"Puas?" tanya dia setelah saya berhenti menyiksanya.

Napas saya naik turun, karena capek dan emosi. "Kenapa? Kenapa kamu ngga berpihak pada saya?!"

Teman saya yang hidungnya mulai mimisan, menggeleng. "Saya berada di pihak kamu. Tapi, kamu bodoh!"

Darah saya naik lagi. "Bodoh? Kamu menyebut saya bodoh? Dengan IPe tiga koma alhamdulillah kamu menyebut saya bodoh?"

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka mata. Tidakkah kamu sadar, perempuan cantik ada di mana-mana? Bukan cuma dia!"

"..."

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka hati. Padahal, kamu bisa jatuh cinta kapan saja, di mana saja. Tidak terbatas dimensi ruang dan waktu."

"^...^"

"Ya. Kamu bodoh! Padahal kamu bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti."

"(^...^)"

"Ya. Kamu bodoh! Karena kamu memilih untuk berpura-pura mengerti dan tidak terluka."

Akhirnya, kesabaran saya habis juga. Saya cemplungkan saja dia ke kolam spirtus dan melemparkan sisa puntung rokok saya yang masih membara.

"Byaaarrrr."

Setelah memastikan tubuhnya hangus terbakar dan menjadi abu, saya pulang. Tapi justru di dalam kamar kata-katanya tadi kembali terngiang dan mulai saya pikirkan. Ah, saya sungguh bodoh! Padahal saya bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti.

"Memangnya, apa yang hendak kamu tawarkan pada dia?" tanya teman saya nomor dua, yang tiba-tiba muncul dari kolong kasur. "Kamu hanya seorang biasa, baik tingkah mau pun rupa. Kamu hanya seorang miskin yang sombong. Kamu memang lelaki baik-baik, tapi kamu tidak gentle. Kamu butuh waktu dua tahun untuk sekedar tahu nama lengkap perempuan itu dan membutuhkan setahun lagi untuk tahu kapan ulang tahunnya. Kamu membutuhkan waktu lama untuk tahu apa yang dia suka dan tidak. Bahkan sampai saat ini, yang kamu tahu hanyalah bagaimana membuat dia marah."

Pada teman yang satu ini, saya hanya bisa menunduk, membenarkan kata-katanya. "Kamu benar," desah saya. "Tapi..."

Teman nomor dua ini tiba-tiba menampar saya dengan keras. Plakk!

"Tapi apa???!!" bentaknya.

"Tapi..."

Sekali lagi beliau menampar saya. Bahkan dengan bonus tiga buah tendangan. "Tapi apa??? Cepat jawab, waktu saya tidak banyak!"

Saya menengadah dan memberanikan diri menatapnya. "Tapi... saya... cinta dia."

Akibat jawaban itu, saya menerima siksaan bertubi-tubi. Tendangan, jotosan, pitingan tak terhitung jumlahnya tanpa saya berani membalas. Hidung saya mimisan, kepala benjol, airmata berlinang, lidah saya kelu dan seluruh badan pegel linu.

"Jangan...!! Jangan sekali-kali kamu mengatakan kata itu!! Kamu... sungguh belum pantas!" kata beliau geram. Lalu beliau berbalik dan pergi, meninggalkan saya babak belur sendiri. Namun, beberapa detik kemudian teman saya nomor dua itu kembali dan berdiri di dekat pintu.

Katanya pelan, "Cinta itu bukan milik arjuna atau cleopatra. Tapi milik ayah-ibu atau kakek-nenek kita. Saat rambut mulai memutih, dan berjalan mulai tertatih, barulah cinta sudah lulus teruji. Dan yang dipertengkarkan hanyalah... siapa yang lebih mencintai siapa."

Kali ini, beliau pergi dan benar-benar tidak pernah kembali. Ah, teman saya yang satu itu, selalu saja membuat saya tenggelam dalam ketidakmengertian.





(suatu ketika di kosan, saat mengantri mandi)
(untuk teman-teman saya yang sudah dan berencana menikah)




Kolam Spirtus

Terlalu menyedihkan rasanya setiap kali orang yang sangat istimewa bagi kita akan pergi jauh. Apalagi, bagi saya yang masih menganggap bahwa surat, kabel, sinyal GSM, CDMA ataupun GPRS belum mampu menggantikan kehadiran dan suara sang teristimewa tersebut. Apalagi, argo pulsa yang bergerak cepat seperti kuda, bisa membuat gajian tanggal satu habis tanggal dua.

"Maksud kamu... kamu ngga bisa pacaran jarak jauh?" tiba-tiba teman saya yang, maaf, belum cukup umur itu bertanya.

"Apakah saya barusan mengatakan... kata 'pacaran'?" tanya saya tersinggung, menatapnya penuh nanar.

"Jadi... kamu sedih perempuan itu akan pergi?" tanya dia lagi, tidak sopan.

"Tentu saja! Apakah kamu pernah mendengar kata kesepian? Dan, sesuatu itu semakin berharga justru karena hilang, kan?" cerocos saya sambil mencengkram kerah kemejanya dan mendorongnya pada dinding.

Dengan kalem, teman saya itu menepiskan cengkraman saya. "Sampai kapan kamu akan terus kekanak-kanakan begini?"

Dikatai seperti itu, darah muda saya bergejolak ria. Jotosan pun terlepas dari tangan saya ke wajahnya yang, maaf, sangat berjerawat. Kemudian tendangan. Cekikan. Teman saya itu tidak juga membalas. Malah terus menyebut saya seperti anak kecil, bau kencur, abege dan anak kemarin sore. Hampir saja saya menceburkannya ke kolam bensin dan melemparkan korek api. Tapi, tiba-tiba saya sadar bahwa harga BBM saat ini sangat mahal.

"Puas?" tanya dia setelah saya berhenti menyiksanya.

Napas saya naik turun, karena capek dan emosi. "Kenapa? Kenapa kamu ngga berpihak pada saya?!"

Teman saya yang hidungnya mulai mimisan, menggeleng. "Saya berada di pihak kamu. Tapi, kamu bodoh!"

Darah saya naik lagi. "Bodoh? Kamu menyebut saya bodoh? Dengan IPe tiga koma alhamdulillah kamu menyebut saya bodoh?"

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka mata. Tidakkah kamu sadar, perempuan cantik ada di mana-mana? Bukan cuma dia!"

"..."

"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka hati. Padahal, kamu bisa jatuh cinta kapan saja, di mana saja. Tidak terbatas dimensi ruang dan waktu."

"^...^"

"Ya. Kamu bodoh! Padahal kamu bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti."

"(^...^)"

"Ya. Kamu bodoh! Karena kamu memilih untuk berpura-pura mengerti dan tidak terluka."

Akhirnya, kesabaran saya habis juga. Saya cemplungkan saja dia ke kolam spirtus dan melemparkan sisa puntung rokok saya yang masih membara.

"Byaaarrrr."

Setelah memastikan tubuhnya hangus terbakar dan menjadi abu, saya pulang. Tapi justru di dalam kamar kata-katanya tadi kembali terngiang dan mulai saya pikirkan. Ah, saya sungguh bodoh! Padahal saya bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti.

"Memangnya, apa yang hendak kamu tawarkan pada dia?" tanya teman saya nomor dua, yang tiba-tiba muncul dari kolong kasur. "Kamu hanya seorang biasa, baik tingkah mau pun rupa. Kamu hanya seorang miskin yang sombong. Kamu memang lelaki baik-baik, tapi kamu tidak gentle. Kamu butuh waktu dua tahun untuk sekedar tahu nama lengkap perempuan itu dan membutuhkan setahun lagi untuk tahu kapan ulang tahunnya. Kamu membutuhkan waktu lama untuk tahu apa yang dia suka dan tidak. Bahkan sampai saat ini, yang kamu tahu hanyalah bagaimana membuat dia marah."

Pada teman yang satu ini, saya hanya bisa menunduk, membenarkan kata-katanya. "Kamu benar," desah saya. "Tapi..."

Teman nomor dua ini tiba-tiba menampar saya dengan keras. Plakk!

"Tapi apa???!!" bentaknya.

"Tapi..."

Sekali lagi beliau menampar saya. Bahkan dengan bonus tiga buah tendangan. "Tapi apa??? Cepat jawab, waktu saya tidak banyak!"

Saya menengadah dan memberanikan diri menatapnya. "Tapi... saya... cinta dia."

Akibat jawaban itu, saya menerima siksaan bertubi-tubi. Tendangan, jotosan, pitingan tak terhitung jumlahnya tanpa saya berani membalas. Hidung saya mimisan, kepala benjol, airmata berlinang, lidah saya kelu dan seluruh badan pegel linu.

"Jangan...!! Jangan sekali-kali kamu mengatakan kata itu!! Kamu... sungguh belum pantas!" kata beliau geram. Lalu beliau berbalik dan pergi, meninggalkan saya babak belur sendiri. Namun, beberapa detik kemudian teman saya nomor dua itu kembali dan berdiri di dekat pintu.

Katanya pelan, "Cinta itu bukan milik arjuna atau cleopatra. Tapi milik ayah-ibu atau kakek-nenek kita. Saat rambut mulai memutih, dan berjalan mulai tertatih, barulah cinta sudah lulus teruji. Dan yang dipertengkarkan hanyalah... siapa yang lebih mencintai siapa."

Kali ini, beliau pergi dan benar-benar tidak pernah kembali. Ah, teman saya yang satu itu, selalu saja membuat saya tenggelam dalam ketidakmengertian.





(suatu ketika di kosan, saat mengantri mandi)
(untuk teman-teman saya yang sudah dan berencana menikah)