Terlalu menyedihkan rasanya setiap kali orang yang sangat istimewa bagi kita akan pergi jauh. Apalagi, bagi saya yang masih menganggap bahwa surat, kabel, sinyal GSM, CDMA ataupun GPRS belum mampu menggantikan kehadiran dan suara sang teristimewa tersebut. Apalagi, argo pulsa yang bergerak cepat seperti kuda, bisa membuat gajian tanggal satu habis tanggal dua.
"Maksud kamu... kamu ngga bisa pacaran jarak jauh?" tiba-tiba teman saya yang, maaf, belum cukup umur itu bertanya.
"Apakah saya barusan mengatakan... kata 'pacaran'?" tanya saya tersinggung, menatapnya penuh nanar.
"Jadi... kamu sedih perempuan itu akan pergi?" tanya dia lagi, tidak sopan.
"Tentu saja! Apakah kamu pernah mendengar kata kesepian? Dan, sesuatu itu semakin berharga justru karena hilang, kan?" cerocos saya sambil mencengkram kerah kemejanya dan mendorongnya pada dinding.
Dengan kalem, teman saya itu menepiskan cengkraman saya. "Sampai kapan kamu akan terus kekanak-kanakan begini?"
Dikatai seperti itu, darah muda saya bergejolak ria. Jotosan pun terlepas dari tangan saya ke wajahnya yang, maaf, sangat berjerawat. Kemudian tendangan. Cekikan. Teman saya itu tidak juga membalas. Malah terus menyebut saya seperti anak kecil, bau kencur, abege dan anak kemarin sore. Hampir saja saya menceburkannya ke kolam bensin dan melemparkan korek api. Tapi, tiba-tiba saya sadar bahwa harga BBM saat ini sangat mahal.
"Puas?" tanya dia setelah saya berhenti menyiksanya.
Napas saya naik turun, karena capek dan emosi. "Kenapa? Kenapa kamu ngga berpihak pada saya?!"
Teman saya yang hidungnya mulai mimisan, menggeleng. "Saya berada di pihak kamu. Tapi, kamu bodoh!"
Darah saya naik lagi. "Bodoh? Kamu menyebut saya bodoh? Dengan IPe tiga koma alhamdulillah kamu menyebut saya bodoh?"
"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka mata. Tidakkah kamu sadar, perempuan cantik ada di mana-mana? Bukan cuma dia!"
"..."
"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka hati. Padahal, kamu bisa jatuh cinta kapan saja, di mana saja. Tidak terbatas dimensi ruang dan waktu."
"^...^"
"Ya. Kamu bodoh! Padahal kamu bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti."
"(^...^)"
"Ya. Kamu bodoh! Karena kamu memilih untuk berpura-pura mengerti dan tidak terluka."
Akhirnya, kesabaran saya habis juga. Saya cemplungkan saja dia ke kolam spirtus dan melemparkan sisa puntung rokok saya yang masih membara.
"Byaaarrrr."
Setelah memastikan tubuhnya hangus terbakar dan menjadi abu, saya pulang. Tapi justru di dalam kamar kata-katanya tadi kembali terngiang dan mulai saya pikirkan. Ah, saya sungguh bodoh! Padahal saya bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti.
"Memangnya, apa yang hendak kamu tawarkan pada dia?" tanya teman saya nomor dua, yang tiba-tiba muncul dari kolong kasur. "Kamu hanya seorang biasa, baik tingkah mau pun rupa. Kamu hanya seorang miskin yang sombong. Kamu memang lelaki baik-baik, tapi kamu tidak gentle. Kamu butuh waktu dua tahun untuk sekedar tahu nama lengkap perempuan itu dan membutuhkan setahun lagi untuk tahu kapan ulang tahunnya. Kamu membutuhkan waktu lama untuk tahu apa yang dia suka dan tidak. Bahkan sampai saat ini, yang kamu tahu hanyalah bagaimana membuat dia marah."
Pada teman yang satu ini, saya hanya bisa menunduk, membenarkan kata-katanya. "Kamu benar," desah saya. "Tapi..."
Teman nomor dua ini tiba-tiba menampar saya dengan keras. Plakk!
"Tapi apa???!!" bentaknya.
"Tapi..."
Sekali lagi beliau menampar saya. Bahkan dengan bonus tiga buah tendangan. "Tapi apa??? Cepat jawab, waktu saya tidak banyak!"
Saya menengadah dan memberanikan diri menatapnya. "Tapi... saya... cinta dia."
Akibat jawaban itu, saya menerima siksaan bertubi-tubi. Tendangan, jotosan, pitingan tak terhitung jumlahnya tanpa saya berani membalas. Hidung saya mimisan, kepala benjol, airmata berlinang, lidah saya kelu dan seluruh badan pegel linu.
"Jangan...!! Jangan sekali-kali kamu mengatakan kata itu!! Kamu... sungguh belum pantas!" kata beliau geram. Lalu beliau berbalik dan pergi, meninggalkan saya babak belur sendiri. Namun, beberapa detik kemudian teman saya nomor dua itu kembali dan berdiri di dekat pintu.
Katanya pelan, "Cinta itu bukan milik arjuna atau cleopatra. Tapi milik ayah-ibu atau kakek-nenek kita. Saat rambut mulai memutih, dan berjalan mulai tertatih, barulah cinta sudah lulus teruji. Dan yang dipertengkarkan hanyalah... siapa yang lebih mencintai siapa."
Kali ini, beliau pergi dan benar-benar tidak pernah kembali. Ah, teman saya yang satu itu, selalu saja membuat saya tenggelam dalam ketidakmengertian.
(suatu ketika di kosan, saat mengantri mandi)
(untuk teman-teman saya yang sudah dan berencana menikah)
"Maksud kamu... kamu ngga bisa pacaran jarak jauh?" tiba-tiba teman saya yang, maaf, belum cukup umur itu bertanya.
"Apakah saya barusan mengatakan... kata 'pacaran'?" tanya saya tersinggung, menatapnya penuh nanar.
"Jadi... kamu sedih perempuan itu akan pergi?" tanya dia lagi, tidak sopan.
"Tentu saja! Apakah kamu pernah mendengar kata kesepian? Dan, sesuatu itu semakin berharga justru karena hilang, kan?" cerocos saya sambil mencengkram kerah kemejanya dan mendorongnya pada dinding.
Dengan kalem, teman saya itu menepiskan cengkraman saya. "Sampai kapan kamu akan terus kekanak-kanakan begini?"
Dikatai seperti itu, darah muda saya bergejolak ria. Jotosan pun terlepas dari tangan saya ke wajahnya yang, maaf, sangat berjerawat. Kemudian tendangan. Cekikan. Teman saya itu tidak juga membalas. Malah terus menyebut saya seperti anak kecil, bau kencur, abege dan anak kemarin sore. Hampir saja saya menceburkannya ke kolam bensin dan melemparkan korek api. Tapi, tiba-tiba saya sadar bahwa harga BBM saat ini sangat mahal.
"Puas?" tanya dia setelah saya berhenti menyiksanya.
Napas saya naik turun, karena capek dan emosi. "Kenapa? Kenapa kamu ngga berpihak pada saya?!"
Teman saya yang hidungnya mulai mimisan, menggeleng. "Saya berada di pihak kamu. Tapi, kamu bodoh!"
Darah saya naik lagi. "Bodoh? Kamu menyebut saya bodoh? Dengan IPe tiga koma alhamdulillah kamu menyebut saya bodoh?"
"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka mata. Tidakkah kamu sadar, perempuan cantik ada di mana-mana? Bukan cuma dia!"
"..."
"Ya. Kamu bodoh! Kamu tidak pernah membuka hati. Padahal, kamu bisa jatuh cinta kapan saja, di mana saja. Tidak terbatas dimensi ruang dan waktu."
"^...^"
"Ya. Kamu bodoh! Padahal kamu bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti."
"(^...^)"
"Ya. Kamu bodoh! Karena kamu memilih untuk berpura-pura mengerti dan tidak terluka."
Akhirnya, kesabaran saya habis juga. Saya cemplungkan saja dia ke kolam spirtus dan melemparkan sisa puntung rokok saya yang masih membara.
"Byaaarrrr."
Setelah memastikan tubuhnya hangus terbakar dan menjadi abu, saya pulang. Tapi justru di dalam kamar kata-katanya tadi kembali terngiang dan mulai saya pikirkan. Ah, saya sungguh bodoh! Padahal saya bisa mencegahnya pergi. Mengutarakan semua dan menawarkan pada dia hal yang lebih berarti.
"Memangnya, apa yang hendak kamu tawarkan pada dia?" tanya teman saya nomor dua, yang tiba-tiba muncul dari kolong kasur. "Kamu hanya seorang biasa, baik tingkah mau pun rupa. Kamu hanya seorang miskin yang sombong. Kamu memang lelaki baik-baik, tapi kamu tidak gentle. Kamu butuh waktu dua tahun untuk sekedar tahu nama lengkap perempuan itu dan membutuhkan setahun lagi untuk tahu kapan ulang tahunnya. Kamu membutuhkan waktu lama untuk tahu apa yang dia suka dan tidak. Bahkan sampai saat ini, yang kamu tahu hanyalah bagaimana membuat dia marah."
Pada teman yang satu ini, saya hanya bisa menunduk, membenarkan kata-katanya. "Kamu benar," desah saya. "Tapi..."
Teman nomor dua ini tiba-tiba menampar saya dengan keras. Plakk!
"Tapi apa???!!" bentaknya.
"Tapi..."
Sekali lagi beliau menampar saya. Bahkan dengan bonus tiga buah tendangan. "Tapi apa??? Cepat jawab, waktu saya tidak banyak!"
Saya menengadah dan memberanikan diri menatapnya. "Tapi... saya... cinta dia."
Akibat jawaban itu, saya menerima siksaan bertubi-tubi. Tendangan, jotosan, pitingan tak terhitung jumlahnya tanpa saya berani membalas. Hidung saya mimisan, kepala benjol, airmata berlinang, lidah saya kelu dan seluruh badan pegel linu.
"Jangan...!! Jangan sekali-kali kamu mengatakan kata itu!! Kamu... sungguh belum pantas!" kata beliau geram. Lalu beliau berbalik dan pergi, meninggalkan saya babak belur sendiri. Namun, beberapa detik kemudian teman saya nomor dua itu kembali dan berdiri di dekat pintu.
Katanya pelan, "Cinta itu bukan milik arjuna atau cleopatra. Tapi milik ayah-ibu atau kakek-nenek kita. Saat rambut mulai memutih, dan berjalan mulai tertatih, barulah cinta sudah lulus teruji. Dan yang dipertengkarkan hanyalah... siapa yang lebih mencintai siapa."
Kali ini, beliau pergi dan benar-benar tidak pernah kembali. Ah, teman saya yang satu itu, selalu saja membuat saya tenggelam dalam ketidakmengertian.
(suatu ketika di kosan, saat mengantri mandi)
(untuk teman-teman saya yang sudah dan berencana menikah)
6 komentar:
hiks.. jadi sedih! *lhoh, kok melo* hehehehe....
hiks.. iya ya.. gitu ya cinta?
lah... mas andi klo ngepost aja melowwww
tapi asli nya ????
ahahahahhha
Dalem banget.....seperti yg g alami saat ini. Hik...hik...
Looking for information and found it at this great site... » »
Where did you find it? Interesting read »
Posting Komentar